Jembatan Pemutus Keterisolasian Sikundo
Sikundo, sebuah desa terpencil di Kecamatan Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, telah keluar dari keterisolasian. Dana desa dan dana otonomi khusus membuat desa bisa diakses kendaraan roda empat.
Dua mobil hendak melintasi jembatan gantung di Desa Sikundo, Kecamatan Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, Kamis (21/7/2022). Dulu Sikundo adalah desa yang terisolasi. Namun, kini setelah jembatan gantung rampung, desa itu bisa diakses menggunakan kendaraan roda empat.
Dengan tekad warganya, dorongan publik, dana desa dan dana otonomi khusus, wajah Desa Sikundo, sebuah desa terpencil di Kecamatan Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, telah berubah. Dulu sepeda motor saja tidak bisa menuju ke sana, kini mobil pribadi pun dapat melenggang.
Sebuah jembatan gantung besi berwarna kuning membentang di atas Sungai Sikundo sepanjang 90 meter dan lebar 2,30 meter. Beberapa mobil pribadi dengan mulus melaju di atas jembatan itu. Pemandangan itu sebelumnya langka. Sebab, beberapa tahun lalu untuk menuju ke Sikundo, warga harus meniti seutas sling baja yang terbentang diatas jembatan.
Hari itu, Kamis (21/7/2022), Desa Sikundo lebih ramai dibandingkan hari biasanya. Beberapa mobil pribadi terlihat parkir di jalan desa. Di tepi sungai warga berkumpul. Mereka menggelar kenduri peresmian masjid baru sehari sebelum masjid digunakan.
Baca juga: Lampu Teplok dan Jembatan Baja di Sikundo
Rasa bahagia memancar dari wajah para warga. Mimpi memiliki sebuah masjid yang layak kini terwujud. Bangunan permanen itu menggantikan masjid desa sebelumnya yang terbuat dari kayu.
Masjid baru mampu menampung 500 anggota jemaah. Bagi warga Sikundo, itu sudah lebih dari cukup karena warganya berjumlah 200-an jiwa.
Satu kerbau jantan dipotong. Kerbau itu dibeli dengan uang hasil patungan dan sumbangan para pihak.
Menjelang siang, warga dan tamu berkumpul di tanah lapang di tepi Sungai Sikundo. Mereka makan siang dan berdoa bersama dengan khidmat. Kuah kari daging kerbau menjadi menu utama santapan siang itu.
”Besok (Jumat) menjadi hari bersejarah bagi Sikundo. Sebelum shalat berjemaah, masjid akan di-peusijuek (tepung tawar). Butuh waktu setahun, masjid ini baru rampung,” ujar Muhammad Jauhari, tokoh warga Sikundo yang juga mantan kepala desa setempat.
Baca juga: Pemprov Siapkan Rumah untuk Warga Pedalaman Aceh Barat
Sebelum tahun 2019, Sikundo, yang berjarak sekitar 80 kilometer dari Meulaboh, ibu kota Aceh Barat, atau 320 kilometer dari Banda Aceh itu, sukar diakses. Selain jalannya rusak, tidak ada jembatan untuk menyeberang Sungai Sikundo yang mengalir di pintu masuk desa. Sebagai gantinya, dua sling baja ukuran ibu jari dibentangkan di atas sungai. Satu utas sebagai pijakan dan satunya sebagai pegangan. Bertahun-tahun warga bertaruh nyawa di atas jembatan kabel untuk keluar-masuk desa yang berjarak 6 kilometer dari desa tetangga itu.
Jauhari yang saat itu menjabat kepala desa memberanikan diri menggunakan dana desa tahun 2015 hingga 2017 untuk memindahkan alur sungai yang berkelok-kelok agar jalan menuju ke desa lempang. Sebelum alur sungai dipindahkan, warga harus meniti empat jembatan kabel menuju desa.
Momen pembangunan terjadi awal 2019 saat Sikundo viral di media sosial. Foto anak-anak sekolah meniti jembatan kabel menyebar hingga Presiden Joko Widodo ikut berkomentar. Melalui akun Instagramnya, Presiden menyebutkan jembatan kabel di Sikundo adalah masa lalu. Sebuah foto jembatan gantung diunggah di halaman media sosial Presiden.
Pada Februari 2019, sebuah jembatan gantung yang dimaksud Presiden rampung. Jembatan itu dibangun menggunakan dana otonomi khusus sebesar Rp 2,7 miliar.
Menurut Jauhari, sejak jembatan gantung rampung, proses pembangunan Sikundo semakin cepat. Material pembangunan mudah diangkut. Warga juga kian mudah membawa hasil tani ke pasar kecamatan.
Baca juga: Wajah Aceh dalam Gelimang Dana Otonomi Khusus
”Dulu, hasil panen kami bawa ke pasar lewat sungai menggunakan ban mobil. Itu dulu, sekarang Sikundo sudah maju,” kenang Jauhari.
Terang benderang
Bukan hanya gampang diakses, Sikundo kini juga telah terang benderang. Tahun 2019, jaringan listrik masuk ke desa itu. Jaringan listrik dibangun oleh PT PLN Persero (Tbk) Wilayah Aceh, sedangkan pemasangan ampere pada rumah-rumah dibiayai dana otonomi khusus di bawah Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh.
Pemprov Aceh juga membangun sebanyak 39 rumah bantuan komunitas adat bagi warga Sikundo. Kini jumlah rumah di Sikundo mencapai 50 unit dengan jumlah warga lebih dari 200 jiwa. Beberapa warga baru datang dari kabupaten tetangga.
Warga pun mulai memasak menggunakan penanak nasi elektronik, menonton televisi, dan mengisi daya telepon genggam. Namun untuk komunikasi, mereka hanya dapat menggunakan telepon jenis global system for mobile (GSM).
Baca juga: Harapan Sejahtera saat 15 Tahun Perdamaian Aceh
Warga masih membutuhkan jaringan internet. Eli Irmawati (35), kader desa, menuturkan, saat harus mengirimkan data desa ke website kecamatan, ia terpaksa turun ke desa tetangga, yakni Desa Jambak, sejauh 6 kilometer karena belum ada jaringan internet di Sikundo. ”Kami berharap para pihak mau membangun tower internet untuk warga Sikundo,” ujar Eli. Karena jaringan internet tidak tersedia, mengisi token listrik pintar dan transaksi perbankan masih harus dilakukan di desa tetangga.
Warga meyakini Sikundo berasal dari kata bek keundo yang artinya jangan kendur atau jangan menyerah. Terdapat dua dusun di desa itu, yakni Dusun Sarah dan Durian dengan jumlah warga awalnya 39 keluarga atau 138 jiwa. Pekerjaan warganya antara lain bertani padi dan hortikultura. Sebagian lagi mencari ikan di sungai.
Karena keterisolasiannya, Sikundo pernah menjadi tempat persembunyian pahlawan nasional Cut Nyak Dhien bersama pasukannya dari kejaran tentara Belanda. Namun, di masa konflik Aceh berlangsung, Sikundo menjadi medan perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan militer.
Razali (45), salah warga Sikundo, mengatakan, ayahnya yang waktu itu menjabat kepala desa menjadi korban. Ayahnya tewas tanpa keluarga tahu alasannya hingga kini. Kondisi itu membuat warga ketakutan. Waktu itu, tahun 2002, warga mengungsi meninggalkan rumah dan kebunnya. Beberapa tahun Sikundo menjadi desa mati.
Saat GAM dan Pemerintah Indonesia sepakat damai pada 15 Agustus 2005, Razali tak henti berucap syukur. Warga pun berangsur-angsur pulang kembali ke desanya dan membangun desa.
Atas kematian ayahnya, Razali berusaha berdamai dengan peristiwa pilu itu dengan caranya sendiri. Ia tidak pernah mendapat program pemulihan pascatrauma. Semuanya dia kembalikan kepada Tuhan, sama seperti mayoritas warga Aceh yang menjadikan spiritualitas agama sebagai pemulih trauma dari konflik. ”Ini takdir Allah yang tidak bisa dilawan. Suatu saat kita semua juga akan mati, hanya caranya yang berbeda,” ujar Razali.
Baca juga: Tutup Celah Korupsi Dana Desa di Aceh
Warga Sikundo ingin melupakan masa-masa sulit itu dengan bahu-membahu membangun desa. Sikundo kini telah memiliki poliklinik desa dan seorang bidan desa. Warga yang mengalami sakit ringan langsung ditangani di sana tanpa harus ke desa tetangga.
Sekolah dasar yang bertahun-tahun tidak aktif kini difungsikan kembali, tetapi masih tahap uji coba dan dikhususkan bagi siswa kelas satu. Bangunan sekolah berada di Dusun Sarah di seberang Sungai Sikundo. Sayangnya, untuk menuju sekolah belum tersedia jembatan. Para siswa pun masih menggunakan sling kabel menuju sekolah.
Ema Malini (22), warga Sikundo, berharap pemerintah juga membangun jembatan gantung menuju sekolah. ”Kalau sudah ada jembatan, anak-anak Sikundo bisa sekolah di sini tanpa harus tinggal di desa tetangga,” kata Ema.
Memang sebagian warga Sikundo masih tinggal di Desa Jambak atau Desa Tambang sekitar 6 kilometer dari Sikundo. Biasanya suami-istri berbagi tugas. Suami pulang ke Sikundo untuk mencari nafkah, sedangkan istri dan anak tinggal di Jambak atau Tambang agar anak-anak bisa bersekolah. Menurut Ema, jika sekolah telah aktif, semua warga akan kembali menetap di Sikundo.
Sejauh ini, bantuan pemerintah, seperti jembatan gantung, rumah komunitas adat, listrik, hingga perbaikan jalan, sangat bermanfaat bagi warga. Namun, sebagai desa terpencil Sikundo masih butuh intervensi lebih besar. Di Aceh, data Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Pemprov Aceh menunjukkan jumlah desa sangat tertinggal di Aceh mencapai 206 desa.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Teuku Ahmad Dadek menuturkan, sebagai desa yang kini tidak lagi terisolasi, pihaknya mendorong pemerintahan desa berfokus untuk mengembangkan perekonomian warga. ”Dana desa harus dipakai untuk membangkitkan ekonomi warga,” kata Dadek.
Menurut Dadek, pemerintah tetap memberikan perhatian kepada Sikundo. Program pengembangan ekonomi berbasis pertanian akan dilaksanakan di Sikundo. Terkait permintaan pembangunan jembatan ke sekolah, pihaknya menganggap belum penting sebab jumlah siswa tidak banyak. Terkait kebutuhan jaringan komunikasi, Dadek berharap pihak operator mau membangun tower di Sikundo.
Di usia Republik Indonesia 77 tahun, Sikundo akhirnya merasakan pembangunan. Seperti kata Jauhari, Sikundo kini bukan lagi desa terisolasi. Mereka telah merdeka dari kegelapan dan keterisolasian.