Dukungan untuk Warga Lansia agar Tetap Terus Berdaya
Kerap dianggap sebagai warga kelas dua, warga lansia bukan berarti tidak bisa apa-apa. Sebagai warga senior, mereka tetap bisa memberikan contoh baik di tengah pesatnya perkembangan zaman dan potensi mutasi Covid-19.
Masyarakat kelompok lanjut usia menjadi kelompok sangat rentan ketika pandemi Covid-19 meneror Indonesia. Berbagai keterbatasan membebani kehidupan mereka di usia senja. Kesulitan ekonomi, kesendirian, minimnya kemampuan literasi digital, hingga rentan terpapar berita bohong membuat mereka gamang mengakses layanan kesehatan.
Suherman (67) berangkat dari rumahnya di Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (26/7/2022) pagi. Ia berjalan kaki sejauh 3 kilometer menuju tempat vaksinasi Covid-19 di Grage City Mall. Topi bertuliskan ”Linmas” melindungi rambut putihnya dari terik matahari.
Setelah hampir setengah jam melangkah, Suherman akhirnya sampai di lokasi vaksinasi, sekitar pukul 09.00. Polisi hingga tenaga kesehatan sudah menanti.
”Bapak jalan kaki karena enggak punya ongkos. Hitung-hitung olahraga, melemaskan ini,” ucapnya sambil memijit kedua betisnya.
Agak membungkuk, petugas kebersihan di Blok Karangmulya, Pegambiran, itu lalu mengantre bersama warga lainnya untuk divaksin Covid-19. ”(Saya) ini mau vaksin (dosis) ketiga. Ini (untuk) jaga kesehatan,” ucap warga lanjut usia tersebut.
Suherman mengetahui acara Gebyar Vaksinasi Covid-19 tersebut dari ketua RW di lingkungannya. Ia tak punya akses informasi di media sosial, seperti yang dimiliki anak milenial umumnya. Jangankan akun medsos, telepon pintar pun ia tak punya.
Mengenakan pakaian terbaik, batik lengan panjang biru, Suherman membawa kantong berlogo tempat penjualan sepatu. Isinya kartu keluarga, fotokopi identitas, dan kartu vaksin. Beberapa kali ia salah tempat duduk dan tampak bingung mengikuti tahapan vaksinasi. Polisi pun mengarahkannya.
Boleh jadi dia tidak mudah mengikuti prosedur yang dibuat. Namun, di tengah segala keterbatasannya, Suherman tetap bisa menjadi contoh. Saat masih ada banyak pihak yang ragu, dia yakin suntikan vaksin dosis ketiga bisa menguatkan kekebalannya di tengah pandemi Covid-19 yang kembali menyebar di Cirebon. Saat ini, 38 orang positif Covid-19 di kota berpenduduk 340.000 jiwa itu. Padahal, akhir Mei lalu, tidak tercatat kasus positif aktif.
Dalam dua tahun terakhir, kasus Covid-19 di kota seluas 39 kilometer persegi itu mencapai 16.139 orang. Sebanyak 15.533 orang di antaranya sembuh dan 568 orang lainnya meninggal. Sekitar 10 persen dari korban meninggal merupakan warga usia 60 sampai 79 tahun.
Suherman memahami, warga lansia seperti dirinya rentan terpapar Covid-19. Cakupan vaksinasi ketiga dalam kelompok lansia di Cirebon juga masih rendah, yakni 32 persen dari target 25.784 orang.
”Saya enggak sakit setelah disuntik. Malah saya minta warga juga divaksin,” katanya.
Selain kesehatan, ia juga mengkhawatirkan dampak Covid-19 terhadap pendapatannya. ”Waktu Covid-19 kemarin, hampir setahun enggak ada hajatan, enggak ada pemasukan. Soalnya, tugas saya sebagai linmas itu mengamankan kalau ada hajatan,” ucapnya tersenyum.
Sebagai petugas kebersihan, ia juga mendapat penghasilan sekitar Rp 300.000 per bulan atau Rp 10.000 per hari. Dana itu jelas tidak cukup. Apalagi, Suherman harus mencari obat dan makanan bergizi untuk istrinya yang sakit lambung parah. ”Istri saya sudah meninggal 100 hari,” katanya.
Kini, Suherman yang tidak punya keturunan harus menghadapi masalah baru, yakni kesepian, sepeninggal istrinya. ”Sekarang, lagi sengsara, enggak ada yang urus. Cuci sendiri, masak sendiri. Yang penting saya waras. Kalau rezeki, insya Allah ada saja,” ungkapnya lirih.
Baca juga: Lansia dan Masa Depan Indonesia
Seperti Suherman, Tati (74), warga lansia asal Sukapura, Cirebon, juga khawatir dengan kesehatannya selama Covid-19. Itu sebabnya, ia menjalani vaksinasi hingga dosis kedua.
”Anak saya kader puskesmas. Jadi, selalu dapat info soal vaksinasi atau kegiatan lainnya,” ujarnya.
Sayangnya, ibu delapan anak dan nenek 12 cucu ini tak bisa mengikuti vaksinasi dosis ketiga karena punya penyakit varises. Kakinya tertatih berjalan. Badannya mulai membungkuk. Meski demikian, ia tetap berusaha menjaga kesehatan dan beraktivitas. Misalnya, ikut senam bersama.
”Ya, namanya juga orangtua. Saya biasa senam dengan ibu-ibu lansia juga. Ada delapan atau 10 orang,” ujar Tati. Ia berharap pemerintah daerah terus membuat kegiatan yang memberdayakan warga lansia.
Tulang punggung
Beragam masalah yang ditemui para warga lansia di usia senja ini tidak hanya terjadi Cirebon. Kejadian serupa ada di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dalam hasil Studi Nasional tentang Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Kelompok Lansia dengan pengumpulan data di lapangan selama Februari 2022.
Studi nasional ini dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bekerja sama dengan United Nation Population Fund (UNFPA), bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk bidang kependudukan. Aktivitas ini juga mendapatkan dukungan dari Pemerintah Jepang.
Pengumpulan data melibatkan sekitar 9.000 responden yang terdiri atas warga lansia berumur di atas 60 tahun dari 10 provinsi di tiga wilayah, yakni barat, tengah, dan timur.
Untuk wilayah barat, pengambilan data dari Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Di wilayah tengah, pengambilan data dilakukan di Bali, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Timur. Sementara untuk wilayah timur diwakili oleh Maluku.
Kepala Perwakilan UNFPA Indonesia Anjali Sen mengatakan, hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman bagaimana Covid-19 berdampak terhadap kehidupan warga lansia, termasuk warga lansia dengan disabilitas, dalam bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi selama pandemi.
Selain itu, dia berharap hasil analisis studi ini dapat menawarkan rekomendasi bagi perumusan kebijakan pemerintah terkait Covid-19 serta memberikan masukan untuk program pertumbuhan dan pembangunan yang inklusif.
Anjali juga menambahkan, lewat penelitian ini, dia juga hendak memastikan bahwa kebijakan-kebijakan di Indonesia selanjutnya tidak akan meninggalkan siapa pun, terutama para warga lansia, termasuk warga lansia dengan disabilitas, sebagai kelompok penduduk yang rentan.
Konsultan Nasional dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Lilis Heri Mis Cicih menjelaskan, pengambilan data di sejumlah daerah tersebut menunjukkan beragam masalah yang ditemui warga lansia di tengah pandemi Covid-19.
Studi tersebut menunjukkan berbagai temuan tentang apa yang dialami para warga lansia di tengah pandemi Covid-19. Beberapa temuan yang menjadi perhatian, yaitu kondisi ekonomi, keinginan untuk vaksinasi, hingga kesepian yang memengaruhi kesehatan mereka.
Lilis menunjukkan, pengaruh terbesar dari pandemi bagi para warga lansia adalah aspek ekonomi, terutama pendapatan. Sebanyak 51,4 persen warga lansia kesulitan memenuhi kebutuhan. Jumlah ini bertambah jika dibandingkan dengan sebelum pandemi sebesar 46,3 persen.
”Sebagian warga lansia masih memenuhi kebutuhan sendiri dan adanya pandemi membuat pergerakan mereka terbatas. Hal itu berdampak pada penghasilan mereka yang berkurang. Mereka juga takut bertemu dengan orang luar,” ujarnya.
Baca juga: Mengoptimalkan Peran Kakek-Nenek untuk Tumbuh Kembang Anak
Kabar bohong
Kekhawatiran para warga lansia ini, lanjut Lilis, bisa berdampak pada pikiran para warga lansia yang semakin terbebani. Apalagi, kabar bohong terkait vaksinasi yang beredar di luar membuat warga lansia mengurungkan niat untuk mengakses vaksinasi Covid-19.
Berdasarkan hasil survei, 34 persen warga lansia masih belum divaksinasi. Dari jumlah tersebut, 69,2 persen tidak melakukan vaksinasi karena masalah kesehatan.
Sementara itu, 21,8 persen lainnya tidak bersedia divaksinasi karena informasi yang beredar tidak tepat dan membuat mereka semakin khawatir. Sejumlah kecil lansia juga menyatakan tidak mengetahui informasi terkait pentingnya vaksinasi.
Menurut Lilis, kabar bohong yang beredar ini juga membuat pikiran para lansia semakin tertekan. Beban pikiran inilah yang berpotensi menurunkan daya hidup lansia karena kondisi kejiwaan berpengaruh terhadap kesehatan hingga nafsu makan yang bisa berdampak pada keinginan hidup yang menurun.
”Misinfromasi juga berpengaruh pada kesehatan mereka. Para lansia ini semakin takut bertemu orang luar. Kalau tidak diberikan informasi yang benar, bahkan tidak ada tempat konsultasi, itu bahaya,” ujarnya.
Kondisi ini diperparah dengan keluarga ataupun pihak-pihak yang tidak memperhatikan para lansia. Lilis berujar, kesendirian yang dialami lansia bisa membuat mereka merasa diabaikan sehingga membebani pikirannya.
Lansia yang tidak diperhatikan, lanjut Lilis, juga menambah risiko jatuh. Padahal, insiden jatuh ini menjadi penyebab utama kedua kematian akibat cedera yang tidak disengaja di seluruh dunia, dan yang paling fatal dialami oleh orang dewasa dengan usia lebih dari 60 tahun.
Jika dilihat dari hasil studi, prevalensi jatuh di antara peserta survei adalah 15,4 persen. Di antara yang jatuh, 37,9 persen di antaranya terluka. Bahkan, sebagian besar dari para lansia yang mengalami pengalaman jatuh akan berjalan lebih lambat karena khawatir jatuh kembali.
”Penyakit lansia tidak hanya jantung atau darah tinggi, tetapi juga pikiran. Kalau pikiran tidak bagus, otomatis mereka tidak semangat, bahkan memengaruhi daya hidupnya. Jika merasakan sendiri, mereka lebih merasa diabaikan dan tidak berdaya,” paparnya.
Baca juga: Apa Pun Bentuknya, Berbagi Saat Pandemi adalah Kemuliaan
Literasi digital
Selain itu, penerapan teknologi juga tidak bisa dilakukan maksimal oleh para lansia. Literasi digital lansia masih cukup rendah. Hal ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 yang menunjukkan tingkat pendidikan lansia masih didominasi rata-rata sekolah hanya sampai kelas V SD sebesar 67,51 persen.
Akses terhadap teknologi informasi, lanjut Lilis, juga rendah. Warga lansia yang mengakses teknologi informasi dan komunikasi melalui telepon genggam sebanyak 46,68 persen, internet 11,44 persen. Hanya sedikit lansia yang menggunakan komputer, yakni 1,47 persen.
”Kelompok ini (lansia) perlu mendapat perhatian dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memanfaatkannya,” ujar Lilis.
Hal ini berdampak pada pengambilan data yang belum maksimal karena dibantu oleh sukarelawan di setiap daerah. Padahal, BKKBN sudah mengembangkan aplikasi GoLantang. Perangkat lunak yang bisa diakses dari ponsel pintar ini memberikan layanan dan edukasi bagi para lansia terkait kesehatan dan kehidupan mereka.
”Pengambilan data oleh enumerator (petugas survei) dibutuhkan untuk menggali lebih dalam kepada para lansia. Ini menjadi evaluasi untuk ke depannya demi memaksimalkan peran petugas dan sukarelawan,” ujarnya.
Kerap dianggap sebagai warga kelas dua, lansia bukan berarti tidak bisa apa-apa. Sebagai warga senior, mereka tetap bisa memberikan contoh baik di tengah pesatnya perkembangan zaman dan potensi mutasi Covid-19. Namun, uluran tangan orang di sekitarnya tetap dibutuhkan agar mereka bisa tetap mulus menjalani di tengah kehidupan yang tidak mudah ini.
Baca juga: Warga Lansia Juga Berhak Berbahagia dan Bergembira