Pemerintah perlu melakukan pemetaan dan analisis produktivitas lansia. Data bisa digunakan seluruh pemangku kepentingan antara lain untuk memperpanjang usia pensiun maupun menciptakan wirausaha lansia.
Oleh
VAISAL AMIR
·5 menit baca
Pencanangan 29 Mei sebagai Hari Lanjut Usia Nasional atau HLUN oleh pemerintah tak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan RI tahun 1945 ketika pada 29 Mei 1945 sidang BPUPKI yang dipimpin Dr KRT Radjiman Widyodiningrat, yang saat itu tercatat sebagai sosok paling sepuh, mencetuskan gagasan pentingnya filosofis negara Indonesia.
Sayangnya, banyak dari kita lupa atau bahkan tak mengetahui adanya peringatan HLUN. Seberapa peduli kita pada nasib warga lansia yang dihadapkan pada berbagai macam persoalan hidup? Keengganan kita untuk peduli terhadap nasib warga lansia pada akhirnya akan kian memperberat jalan pembangunan Indonesia, terutama di sisi ekonomi dan sosial.
Saat ini Indonesia telah memasuki periode penuaan penduduk ( ageing population).
Menuju penuaan penduduk
Saat ini Indonesia telah memasuki periode penuaan penduduk (ageing population). Berdasarkan proyeksi Kementerian Kesehatan, pada 2035 jumlah penduduk Indonesia yang memasuki usia lanjut diperkirakan 48,2 juta jiwa atau sekitar 15,77 persen dari total keseluruhan populasi Indonesia.
Hal ini selaras dengan angka harapan hidup Indonesia yang meningkat tiap tahun. Menurut BPS, pada 2021 angka harapan hidup masyarakat Indonesia untuk laki-laki 69,67 tahun dan perempuan 73,55 tahun.
Dalam struktur kependudukan, warga lansia merupakan kelompok usia ”beban” yang berarti memiliki ketergantungan terhadap kelompok usia produktif. Jumlahnya yang kian banyak, secara tak langsung, memiliki dampak sosial dan ekonomi, baik bagi individu, keluarga, maupun lingkungan sosial.
Warga lansia juga merupakan kelompok penduduk yang rentan. Menurut Bloom et al, sedikitnya ada tiga faktor utama yang menyebabkan kelompok lansia rentan, yaitu tidak lagi produktif secara ekonomi, masalah kesehatan, dan membutuhkan pendamping sebagai pengasuh.
Selain itu, di balik keberhasilan peningkatan umur harapan hidup, nyatanya juga ada tantangan yang harus dihadapi, yaitu Indonesia akan menghadapi triple burden. Ketiga beban itu adalah meningkatnya angka kelahiran, beban penyakit (menular dan tak menular), dan meningkatnya angka ketergantungan penduduk kelompok usia tak produktif terhadap kelompok usia produktif.
Berdasarkan data BPS tahun 2021, rasio ketergantungan warga lansia terus meningkat dari 14,02 (2017) menjadi 16,76 (2021).
Indeks pensiun rendah
Salah satu hal yang juga dapat menjadi penyebab tingginya angka ketergantungan warga lansia adalah nilai kompensasi jaminan hari tua dan pensiun yang belum dapat mencukupi kebutuhan lansia secara layak.
Berdasarkan data Mercer Global Pension Index, nilai indeks pensiun Indonesia dari 2019 hingga 2021 terus mengalami penurunan, dari 52,2 pada 2019, 51,4 pada 2020, dan 50,4 pada 2021. Nilai indeks pensiun ini secara konsisten menempatkan Indonesia dalam grade C bersama Arab Saudi.
Apabila sistem pensiun yang ada di Indonesia tak segera diperbaiki, bukan tak mungkin indeks pensiun Indonesia turun di bawah 50, yang berarti Indonesia kembali masuk grade D. Penurunan indeks pensiun ini pada dasarnya juga disebabkan oleh meningkatnya angka harapan hidup masyarakat Indonesia yang pada akhirnya akan memengaruhi keberlanjutan sistem pensiun yang ada.
Dengan masyarakat Indonesia memiliki umur lebih lama, itu berarti dana yang perlu disiapkan penyelenggara dana pensiun juga bertambah panjang. Dalam menyusun indeks ini, Mercer Global Pension Indeks menggunakan tiga subindeks yang terdiri dari kecukupan, keberlanjutan, dan integritas. Tiga subindeks ini diturunkan lagi ke dalam 17 indikator.
Bonus demografi kedua
Penuaan penduduk pada dasarnya tidak hanya dihadapi oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara di seluruh dunia. Merespons hal ini, WHO mengeluarkan kerangka kerja yang disebut sebagai penuaan aktif.
Penuaan aktif (active ageing) merupakan kerangka kerja yang digunakan oleh WHO (2002) yang memandang usia tua sebagai kesempatan untuk menjadi sehat, berpartisipasi di masyarakat, dan aman (termasuk aman secara ekonomi). Fenomena penuaan penduduk sebetulnya bisa dimanfaatkan sebagai bonus demografi kedua.
Hal ini tentunya dengan syarat para lansia masih produktif dan dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian negara, salah satunya dengan mewujudkan penuaan aktif.
Untuk mewujudkan ini setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, menyiapkan sistem jaminan sosial yang bagus saat masyarakat masih bekerja. Pada tahap ini, pemerintah membuat regulasi yang komprehensif terkait penyiapan jaminan sosial pekerja di mana regulasi ini menyentuh seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pekerja, pemberi kerja, pemerintah, sektor pekerjaan informal hingga pengelola dana.
Ini perlu dilakukan karena risiko pengelolaan dana jaminan sosial berada pada level sedang hingga tinggi dan pada akhirnya juga akan berpengaruh pada keberlanjutan sistem jaminan sosial yang dijalankan.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah perbaikan sistem penggajian dan sistem pensiun yang ada untuk pekerja formal. Bagi pekerja informal, pemerintah juga perlu menjamin mereka memiliki jaminan sosial yang baik. Ini bisa dilakukan dengan memberikan bantuan sistem jaminan sosial melalui instansi terkait, mengingat sektor informal masih memberi kontribusi terbesar dalam penyediaan lapangan kerja.
Kedua, yang dapat dilakukan pemerintah adalah menciptakan ekosistem penuaan aktif yang mumpuni. Dalam hal ini pemerintah bisa melakukan dua hal. Pertama, memperpanjang umur pensiun pekerja yang tentunya melalui regulasi yang juga mempertimbangkan kesehatan dan kemampuan lansia, dan kedua, menciptakan wirausaha lansia.
Pada tahap ini pemerintah perlu melakukan pemetaan dan analisis produktivitas lansia sehingga pemerintah perlu selalu memperbarui data dan analisis lansia. Data analisis dan pemetaan ini bisa digunakan oleh seluruh pemangku kepentingan untuk memperpanjang usia pensiun maupun menciptakan wirausaha lansia. Langkah ini juga perlu didukung dengan peningkatan literasi dan inklusi keuangan, terutama untuk para perempuan lansia, mengingat tingkat kerentanan perempuan lansia lebih tinggi daripada laki-laki lansia, padahal angka harapan hidup perempuan lansia lebih tinggi daripada laki-laki.
Berdasarkan data BPS tahun 2021, jumlah laki-laki lansia 47,68 persen di mana 71,91 persennya bekerja, sedangkan jumlah perempuan lansia 52,32 persen dan hanya 41,41 persennya yang bekerja.