Perusahaan Perusak Mangrove di Teluk Balikpapan Dinyatakan Bersalah, Aktivis Mempertanyakan Sanksi
Sejumlah aktivis menilai sanksi yang diberikan tak memberi efek jera bagi perusahaan nakal yang tak taat aturan.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bersalah kepada perusahaan yang membabat mangrove sebelum izin lingkungan terbit di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Tiga sanksi administratif diberikan kepada perusahaan pengolahan nikel tersebut. Walakin, sejumlah aktivis menilai sanksi yang diberikan tak memberi efek jera bagi perusahaan nakal yang tak taat aturan.
Sanksi administratif itu tercantum dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor SK.5132/MENLHK-PHLHK/PPSALHK/GKM.0/5/2022. Keputusan menteri itu tentang penerapan sanksi administratif paksaan perintah kepada PT Mitra Murni Perkasa (MMP) yang ditetapkan pada 30 Mei 2022.
Di dalam surat keputusan, PT MMP dinilai melanggar atau tidak taat terhadap perizinan berusaha. Sebab, perusahaan pengolahan nikel itu sudah membabat mangrove seluas 14,4 hektar di Teluk Balikpapan, padahal belum memiliki persetujuan lingkungan.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum LHK Rasio Ridho Sani, yang menandatangani surat tersebut, pada poin ketiga memberikan paksaan kepada PT MMP. Ada tiga paksaan yang ditujukan kepada PT MMP. Pertama, PT MMP dipaksa menghentikan kegiatan pembangunan industri pengolahan nikel beserta fasilitas penunjang lainnya sampai memiliki persetujuan lingkungan.
Perusahaan itu juga dipaksa memiliki persetujuan lingkungan paling lama 30 hari. Terakhir, PT MMP dipaksa untuk ”Melakukan rehabilitasi mangrove seluas 14,4 hektar dengan berkoordinasi kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK serta Dinas Lingkungan Hidup Kota Balikpapan paling lama 30 hari,” katanya dalam surat tersebut.
Meskipun demikian, menurut sejumlah aktivis dan pengamat hukum, paksaan pemerintah itu tidak mencerminkan sanksi kepada perusahaan nakal yang tak menaati peraturan. Oleh karena itu, Kelompok Kerja (Pokja) Pesisir, organisasi non-pemerintahan yang fokus pada isu pesisir, menyiapkan langkah hukum untuk menanggapi surat keputusan tersebut.
”Mengambil langkah yang tepat dan strategis agar kasus ini betul-betul kita tuntaskan sampai ke akarnya. Tujuannya sebenarnya bagaimana praktik yang selama ini sudah menjadi budaya tidak berulang. Kedua, bagaimana kita bisa menjaga lingkungan agar lebih baik,” ujar Direktur Eksekutif Pokja Pesisir Mappaselle dalam diskusi daring, Jumat (22/7/2022).
Tujuannya sebenarnya bagaimana praktik yang selama ini sudah menjadi budaya tidak berulang. Kedua, bagaimana kita bisa menjaga lingkungan agar lebih baik.
Husen yang juga dari Pokja Pesisir mempertanyakan sanksi yang dikeluarkan pemerintah kepada PT MMP yang berani melanggar aturan untuk merusak lingkungan. Menurutnya, penyetopan aktivitas dan rehabilitasi bukanlah sanksi.
”Melakukan usaha tanpa izin lingkungan, sanksinya apa? Penyetopan oleh Dinas Lingkungan Hidup bukanlah sanksi. Selain itu, menghancurkan dan menimbun mangrove, sanksinya apa? Pemusnahan dan penghilangan mangrove tak akan mungkin ada rehabilitasi,” ujarnya.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasinoal Wahana Lingkungan Hidup Parid Raidwanudin mengingatkan pemerintah bahwa investasi ekstraktif memang mendatangkan manfaat ekonomi cepat. Namun, dalam jangka panjang masyarakat akan menanggung biaya sosial ekologis yang lebih mahal.
”Padahal, kalau berbicara investasi, yang dilakukan masyarakat dalam menjaga lingkungan melalui mekanisme gotong royong, kemudian muncul manfaat ekonomi, dan masyarakat mampu membayar pajak, itu satu bentuk investasi nyata dan berkelanjutan dibanding investasi yang datang dari dalam negeri maupun asing, tetapi setelahnya meninggalkan kerusakan,” katanya.
Sebelumnya, pada 2 Maret 2022, Koalisi Peduli Teluk Balikpapan yang terdiri dari sejumlah organisasi nirlaba melaporkan adanya dugaan perusakan mangrove, penutupan sungai, dan vegetasi di Teluk Balikpapan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kaltim.
Setelah adanya laporan, perwakilan DLH Kaltim, DLH Kota Balikpapan, serta tim KLHK melakukan verifikasi lapangan pada 31 Maret serta 3-4 April 2022. Hasilnya, pemerintah mendapati mangrove sudah dibuka sekitar 14 hektar tanpa ada persetujuan lingkungan.