Ironi Hutan Mangrove Teluk Balikpapan yang Tak Terlindungi
Teridentifikasi titik perusakan hutan mangrove terbaru di Daerah Aliran Sungai Wain di Kota Balikpapan. Dari foto satelit dan tinjauan lapangan, hutan mangrove yang sudah dibabat diperkirakan lebih dari 30 hektar.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Foto udara bentang Jembatan Pulau Balang di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (10/03/2021). Jembatan ini menghubungkan Balikpapan dan Penajam Paser Utara melalui Teluk Balikpapan yang terdiri dari bentang panjang dan bentang pendek.
Dalam 10 tahun terakhir, setidaknya ada 200 hektar hutan mangrove yang dirusak di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Selain lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, kebijakan yang ada tak cukup melindungi kawasan penting ini.
Kelompok Kerja (Pokja) Pesisir, organisasi nirlaba yang fokus pada isu lingkungan pesisir di Kaltim, mengidentifikasi 100 hektar hutan mangrove rusak di sisi Kabupaten Penajam Paser Utara. Sekitar 100 hektar sisanya ada di sisi Kota Balikpapan. Terbaru, mereka menemukan enam titik perusakan mangrove dalam dua tahun terakhir.
”Dua titik perusakan di Kota Balikpapan, termasuk ada dua sungai yang ditimbun, yaitu di Berengak dan Tempadung. Sementara di sisi Penajam Paser Utara ada empat titik perusakan hutan mangrove,” ujar Direktur Eksekutif Pokja Pesisir Mappaselle dalam diskusi daring bertajuk ”Teluk Balikpapan Kembali Dirusak”, Sabtu (23/4/2022).
Koalisi Teluk Balikpapan yang terdiri dari Walhi Kaltim, Jatam Kaltim, dan Pokja Pesisir mengidentifikasi titik perusakan hutan mangrove teranyar berada di Daerah Aliran Sungai Wain, Kota Balikpapan. Dari foto satelit dan tinjauan lapangan, mereka memperkirakan hutan mangrove yang sudah dibabat lebih dari 30 hektar di titik itu.
Temuan itu sudah dilaporkan koalisi ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim pada 18 April 2022. Sebelumnya, hal serupa ditemukan oleh koalisi di Balikpapan, tepatnya di sekitar Sungai Tempadung, Kelurahan Kariangau.
Temuan itu sudah lebih dulu dilaporkan pada 2 Maret 2022 ke DLH Kaltim. Dari laporan tersebut, DLH Kaltim berkoordinasi dengan Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan.
Suasana bagian hutan mangrove yang dirusak meskipun belum mendapatkan izin lingkungan di Teluk Balikpapan, Kaltim, Kamis (31/3/2022).
Dari hasil tinjauan lapangan, pemerintah mendapati setidaknya 19,2 hektar mangrove sudah dibuka oleh PT Mitra Murni Perkasa (MMP) sebelum adanya persetujuan lingkungan. Saat itu, perusahaan baru mengantongi izin prinsip. Namun, izin lingkungan belum keluar, mereka sudah membuka lahan yang menurut rencana akan dijadikan pabrik pengolahan nikel (Kompas, 8/4/2022).
Pada 5 April 2022, pemerintah menghentikan sementara kegiatan PT MMP. Balai Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Kalimantan kemudian melakukan proses hukum dengan memeriksa PT MMP.
”Untuk PT MMP saat ini kasusnya sudah ditangani oleh Direktorat Jenderal Gakkum KLHK di Jakarta,” ujar Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan Eduward Hutapea, dihubungi dari Balikpapan.
Peraturan tak selaras
Dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan Nomor 12 Tahun 2012-2032, hutan mangrove di Teluk Balikpapan dinyatakan sebagai kawasan lindung yang harus dijaga kelestariannya. Namun, itu berbeda dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Kaltim Tahun 2021-2041.
Di dalamnya ditetapkan wilayah perairan Teluk Balikpapan dari luar hingga ke dalam sebagai zona pelabuhan. Adapun kawasan hutan mangrove di sana berstatus area penggunaan lain.
Status tersebut berpotensi mengubah peruntukan kawasan mangrove Teluk Balikpapan. Apalagi, pemerintah berencana membangun ibu kota negara baru di bagian hulu Teluk Balikpapan. Diperkirakan akan banyak pembangunan yang mengalihfungsikan hutan mangrove di banyak titik Teluk Balikpapan untuk kawasan industri, permukiman, atau pelabuhan.
Padahal, Teluk Balikpapan menjadi kawasan penting bagi daerah di sekitarnya, yakni Balikpapan dan Penajam Paser Utara. Teluk itu merupakan muara dari 54 daerah aliran sungai dengan 32 pulau kecil di sekitarnya.
Mahmud (60), seorang nelayan, mendayung perahunya melewati pelabuhan batubara di perairan Teluk Balikpapan, Kaltim, Minggu (6/3/2022).
Teluk dengan kawasan mangrove seluas 16.800 hektar itu juga menjadi habitat dari beragam satwa kunci, seperti bekantan (Nasalis larvatus), pesut (Orcaella brevirostris), dugong, buaya muara, ratusan jenis burung, dan banyak jenis ikan.
Bagi masyarakat Kaltim, keberadaan mangrove di wilayah pesisir Teluk Balikpapan memiliki arti penting guna mencegah intrusi air laut dan abrasi hingga meredam badai. Selain itu, mangrove mampu menyerap karbon yang tinggi untuk menjaga kualitas udara bagi warga di sekitarnya.
Kalau ndak ada mangrove, habis sudah kepiting.
Bagi nelayan, tutupan mangrove yang baik sangat membantu nelayan tradisional. Mahmud (60), nelayan di Kelurahan Jenebora, Penajam Paser Utara, menganggap hutan mangrove adalah urat nadi kehidupan para nelayan.
Mereka memasang belat, bubu, dan rakang—alat tangkap tradisional nelayan sekitar Teluk Balikpapan—di kawasan mangrove. Alat-alat itu mudah ditemui di berbagai sudut hutan bakau di sekitar teluk.
”Kepiting itu bisa kita dapat, ya, di sekitar mangrove. Kalau ndak ada mangrove, habis sudah kepiting,” katanya.
KOMPAS/SUCIPTO
Nelayan bersiap mencari kepiting di sekitar hutan mangrove di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu (6/3/2022).
Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang berpendapat, publik perlu dilibatkan dalam berbagai kebijakan yang bersangkutan dengan Teluk Balikpapan. Sebab, secara langsung atau tidak, kualitas Teluk Balikpapan berpengaruh terhadap kehidupan warga di sekitarnya.
”Pentingnya partisipasi publik dalam hal penentuan kawasannya, apakah itu akan masuk dalam proyek ekstraksi atau tidak, untuk kepentingan pelestarian, dan wilayah kelolanya,” kata Rupang.
Mappaselle, yang banyak mendampingi masalah nelayan, mendorong Pemerintah Kota Balikpapan untuk membuat sistem pelaporan yang mudah, murah, aman, dan cepat respons. Sebab, selama ini masyarakat kesulitan dalam melaporkan temuan dugaan perusakan mangrove di lapangan.
Ia juga meminta pemerintah memberi sanksi tegas bagi pelaku perusakan lingkungan. Lebih jauh lagi, menurut dia, Teluk Balikpapan perlu dijaga sebagai daya dukung lingkungan. Ia meminta pemerintah tak lagi mengeluarkan izin alih fungsi lahan di kawasan mangrove. Sebab, kawasan mangrove di Teluk Balikpapan bukan kawasan lindung.
”Menurut kami, penting untuk meningkatkan status lindung kawasan mangrove yang ada di Teluk Balikpapan,” katanya.