Mengapungkan Harapan di Kampung Terapung Bajo Torosiaje
Masyarakat suku Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, mempertahankan perkampungan di atas laut. Warga bahkan kini mengembangkan wisata.
Lebih dari seabad lamanya masyarakat suku Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, hidup di atas permukaan laut. Mereka menjaring ikan, membangun rumah, hingga kini mengundang wisatawan. Harapan warga agar hidup sejahtera mengapung di air.
Pohon mangrove menyambut kedatangan pengunjung di dermaga Torosiaje, Kamis (14/7/2022). Biru langit sore itu melepas lelah setelah perjalanan sekitar tujuh jam atau 250 kilometer lebih dari Kota Gorontalo. Pemandangan lahan tebu dan jagung sebelumnya kini berganti lautan.
Torosiaje, antara lain, bisa dicapai dengan menyewa mobil pelat hitam. Tarif sewa satu mobil berkisar Rp 700.000, termasuk biaya bensin dan sopir. Jalurnya mengikuti jalan Trans-Sulawesi ke arah Sulawesi Tengah.
Setiba di dermaga, pengunjung harus menyeberangi laut sejauh sekitar 700 meter dengan perahu bertarif Rp 5.000 per orang untuk menuju Torosiaje. Dari kejauhan, rumah kayu berdinding warna-warni, keramba, perahu nelayan, hingga bangunan sekolah berdiri di atas laut. Inilah perkampungan terapung suku Bajo Torosiaje.
Permukiman di atas air itu menjadi magnet bagi wisatawan. Seperti malam Jumat, Jootje Repi (79) dengan berat hati menolak permintaan pengunjung untuk menginap di rumahnya. Empat kamar di homestay Mutiara Laut miliknya telah ludes dipesan hingga tiga malam ke depan.
Tarif homestay ituRp 150.000 per kamar per hari. Ruangan sekitar 3,5 meter x 3 meter itu berisi kasur, meja, kipas angin, dan cermin. Seprai dan sarung bantalnya harum. Dua kamar mandi yang tersedia juga lantainya berkeramik dan bersih, tanpa lumut.
Baca juga: Wisata Perkampungan Terapung Suku Bajo Torosiaje Terus Dikembangkan
Jootje mendesain rumah terapung berukuran 11 meter x 20 meter itu sebagai homestay pada 2012 silam. Kala itu, kepala desa Torosiaje periode 2005-2011 itu diminta oleh pejabat Kementerian Pariwisata agar menyediakan penginapan. ”Tidak perlu mewah, yang penting bersih,” ucapnya.
Ketika wisata Torosiaje berkembang tahun 2018, pemerintah daerah dan masyarakat menyiapkan 11 rumah sebagai homestay. Sebagaimana homestay, pengunjung juga tinggal bersama pemilik rumah. Jootje, misalnya, punya satu kamar untuk keluarganya di belakang.
Pengunjung bisa berbincang dengan warga di teras, ruang tamu, ruang tengah, menonton televisi, mencuci baju, atau memasak. Wisatawan bisa ke dapur jika lapar tengah malam. ”Ibu Gubernur (Idah Rusli Habibie) pernah makan di dapur,” ucap Jootje sambil menunjuk meja makan kayu.
Sayangnya, kini tersisa dua rumah warga yang dijadikan penginapan. Selain Jootje, ada juga rumah Mikson Yapanto berkapasitas 4 kamar plus kamar mandi di dalamnya. Tarifnya Rp 250.000–Rp 400.000 per malam, sesuai ukurannya. Namun, pemilik rumah tak tinggal di sana.
Menurut Jootje, sebagian besar homestay berguguran karena belum semua pemilik rumah siap, terutama terkait fasilitas. Dalam satu rumah, masih tinggal lebih dari satu keluarga. Pemerintah daerah sebenarnya juga punya tempat penginapan. ”Tapi, (kayunya) sudah goyang-goyang,” katanya.
Kalau libur Lebaran, saya bisa dapat Rp 300.000 per hari.
Baginya, Homestay Mutiara Laut, yang berarti cahaya dari masyarakat, membantu perekonomiannya. Sebelumnya, ia hanya berharap uang pensiun sebesar Rp 2,6 juta per bulan. Namun, kini ia meraup penghasilan tambahan dari penginapan. Apalagi, saat September-Desember, musim ”puncak” kunjungan wisatawan.
”Itu hampir setiap minggu ada yang menginap. Mungkin karena masa akhir (penyerapan) anggaran,” ucapnya sembari tertawa. Pelanggannya umumnya dari dinas aparatur sipil negara dalam dan luar Gorontalo. Bulan lalu, katanya, ada pula pengunjung asal China menginap di sana.
Kehadiran homestay mengungkit usaha warga, dari warung makan hingga ojek perahu. ”Kalau libur Lebaran, saya bisa dapat Rp 300.000 per hari. Biaya bensin Rp 20.000. Kalau tangkap ikan, modalnya Rp 100.000,” ucap Aman Latif (40), warga Torosiaje Jaya, desa tetangga Torosiaje.
Identitas laut
Kali pertama ke Torosiaje, Kustami (50), warga Sragen, Jawa Tengah, takjub dengan perkampungan terapung itu. ”Saya penasaran, masak ada kampung di atas laut. Saya pikir cuma sedikit, ternyata banyak rumah,” ucap wisatawan yang datang bersama sembilan anggota keluarganya itu.
Ahmad Ikram (39), menantu Kustami, mengatakan, warga di Torosiaje ramah terhadap tamu. Bahkan, empat anaknya sempat menolak pulang. ”Di sini dorang (mereka) jaga kita. Aman. Kalau di darat, dulu ada permusuhan antarkampung,” ucap Ikram yang sudah dua kali datang.
Baca juga: Pulihkan Pariwisata Pascapandemi, Gorontalo Tetapkan 8 Destinasi Prioritas
Laut membuat hubungan antarwarga kian melekat. Ketika membangun rumah, mereka bergotong royong mengangkut dan memasang kayu. Saat hajatan, warga meminjam peralatan serta papan tetangga, gratis. Jika terjadi perselisihan, warga menyelesaikan secara kekeluargaan, kecuali soal pidana.
”Bagaimanapun, sikap orang Bajo disebut Sama Bajo atau kerja sama-sama,” ucap Husain Onte, tokoh masyarakat setempat. Tidak heran, 13 suku juga telah berbaur dengan warga. Mulai dari Bugis, Makassar, Jawa, higga keturunan Tionghoa menjadikan desa itu rumah mereka. Mereka kini menjadi keluarga.
Husain mengatakan, eratnya kekeluargaan suku Bajo juga tecermin dalam makna kata torosiaje. ”Ada yang mengatakan, Torosiaje berasal dari bahasa bugis a’korro sijita, artinya ’di sana ada keluarga kita’” katanya. Orang Bugis dan Bajo memang dikenal sebagai pelaut ulung.
Versi lain menyebutkan, Torosiaje berasal dari dua kata, yakni toro yang berarti tanjung dan siaje, julukan untuk orang yang bergelar haji. Artinya, tanjung yang ditemukan oleh seorang haji. ”Haji ini juga bisa jadi sebutan untuk orang yang ilmu agamanya tinggi,” ungkap Husain.
Baca juga: Warga Bajo Torosiaje Menjaga Gurita untuk Masa Depan
Suku Bajo, katanya, sudah mendiami Torosiaje sejak 1901 atau 121 tahun silam. Awalnya, mereka hidup di atas perahu. Daerah di Teluk Tomini itu dilindungi pulau berbentuk U sehingga aman dari badai. Kemudian, warga mulai bermukim di atas laut meski tidak jauh dari daratan.
Menurut Husain, perkampungan terapung merupakan identitas suku Bajo, bukan perumahan di darat. Mata pencarian mereka juga berasal dari laut. Kini, Torosiaje dihuni 437 keluarga atau 1.489 jiwa. Mereka mendiami 347 rumah yang berjejer di atas air dan membentuk huruf U.
Perkampungan itu membentang sekitar 3 kilometer. Ada sedikit daratan yang menjadi tempat olahraga warga. Air bersih telah mengalir di sana. Sekolah dasar dan menengah pertama, puskesmas pembantu, hingga lapangan bulu tangkis berlantai papan juga berdiri di sana.
Baginya, berbagai fasilitas di perkampungan terapung warga Bajo itu merupakan wujud kemerdekaan. ”Kami di Torosiaje ini sudah beberapa puluh tahun tidak merasakan listrik, air. Sekarang kami sudah rasakan,” ujar Husain yang membuat es pendingin ikan dari kulkasnya.
Kalau akhir pekan, hampir 100 orang berwisata ke Torosiaje. Libur Lebaran lebih banyak lagi.
Kepala Desa Torosiaje Uten Sairullah menambahkan, perkampungan terapung di desanya juga telah menarik wisatawan. Pihaknya juga mengembangkan Alo Cinta, jembatan kayu dengan panjang sekitar 300 meter yang bagian ujungnya berbentuk hati. Dermaga itu dicat warna-warni.
Pengunjung dapat menikmati matahari terbenam di sana. Pihaknya juga tengah mengembangkan spot menyelam (diving) dan melihat hiu. Lokasinya di Pulau Karang, sekitar satu jam dengan kapal cepat dari Torosiaje. Namun, belum ada penyewaan alat selam di sana.
”Kalau akhir pekan, hampir 100 orang berwisata ke Torosiaje. Libur Lebaran lebih banyak lagi,” ucapnya. Namun, infrastruktur di desa belum memadai. Jembatan kayu rusak di beberapa bagian. Peningkatan pasang laut juga nyaris merendam jembatan. Aliran air bersih kadang tak lancar.
Kiriman sampah rumah tangga dari daratan turut mengancam permukiman Torosiaje. Uten mengakui, warga setempat masih butuh edukasi terkait kelestarian lingkungan, meskipun tempat sampah sudah tersebar di berbagai titik. Ia memastikan, nelayan tak pakai bom untuk mendapatkan ikan.
Baca juga: Torosiaje Siapkan Peraturan Desa Terkait Pembatasan Penangkapan Gurita
Uten juga mengkritik pandangan pemerintah daerah yang menyamakan Torosiaje dengan daerah di darat. Misalnya, warga sempat diminta membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Padahal, mereka tinggal di laut dan belum memiliki sertifikat hak guna bangunan seperti masyarakat Bajo yang tinggal di permukiman terapung di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Gorontalo Rifli M Katili mengatakan, pemda telah membangun wisma penginapan di Torosiaje untuk mengembangkan wisata. Desa itu juga termasuk satu dari delapan lokasi wisata prioritas. Dukungan dana akan diberikan.
Lokasi lainnya, pengamatan hiu paus di Desa Botubarani, pemandian air panas Lombongo, Benteng Otanaha, dan Museum Pendaratan Soekarno, Desa Religi Bongo, Pantai Minanga, dan Pantai Bolihutuo. ”Kearifan lokal Torosiaje di laut tetap dipertahankan,” katanya.
Rasid Yunus, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Gorontalo yang meneliti Torosiaje, mengatakan, pada 1990-an, pemerintah sempat mendorong warga tinggal di darat. Rumah dan alat pertanian disiapkan. Namun, sebagian besar tak bertahan di darat dan kembali ke laut.
”Kalau budaya darat masuk, unsur kapitalisasinya besar sekali. Bangun rumah yang selama ini gotong royong nanti di darat pakai tukang dan butuh uang banyak. Kalau seperti ini, identitas suku Bajo bisa hilang. Jangan sampai desa dianggap maju kalau ada budaya darat,” ungkapnya.
Baca juga: Sertifikat Tanah Pun Menembus Tiang Pancang Rumah di Lautan