Isu agraria diharapkan bisa diadopsi dalam W-20 dan dibawa dalam G-20 mengingat akses terhadap lahan adalah kekuatan perempuan di perdesaan dalam memproduksi pangan dan menjaga kehidupan anak-anaknya.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·3 menit baca
PARAPAT, KOMPAS — Isu agraria terutama perampasan lahan yang dikelola perempuan petani di kawasan perdesaan dan adat dinilai belum masuk dalam agenda W-20. Isu ini diharapkan bisa diadopsi dalam W-20 dan dibawa dalam G20 mengingat akses terhadap lahan adalah kekuatan perempuan di perdesaan dalam memproduksi pangan dan menjaga kehidupan anak-anaknya.
Koordinator Forum Perempuan Tani dan Adat Sumut Delima Silalahi, Rabu (7/20/2022), mengatakan, ketidakadilan jender perempuan kelas menengah bawah berbeda dengan perempuan di kelas atasnya. Ketidakadilan jender bagi perempuan tani dan adat secara umum terjadi karena ketidakadilan yang terstruktur akibat pembangunan yang tidak berpihak pada isu jender.
Perampasan lahan merupakan dampak dari pembangunan model itu. Berbagai investasi bahkan secara sistematis mengambil alih lahan produktif dan hutan yang dikelola perempuan.
Investasi yang datang di Danau Toba pun dinilai meminggirkan perempuan. Investasi pada industrialisasi pangan yang terjadi di Toba, misalnya, tidak hanya merusak hutan yang menjadi sandaran hidup perempuan perdesaan dan adat, tetapi juga merusak sistem pangan lokal.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ada 132 perempuan yang mengalami diskriminasi dan kekerasan selama lima tahun terakhir karena mempertahankan lahannya. Oleh karena itu, lanjut Delima, pihaknya berharap reformasi agraria bisa masuk dalam agenda G20.
Selain itu, pihaknya juga berharap adanya komitmen para anggota G20 untuk tidak memberi peluang pada investasi yang menyingkirkan perempuan tani dan adat yang hanya selama ini mengelola lahan semata-mata untuk menjaga kehidupan keluarga.
Pihaknya juga berharap ada harmonisasi berbagai macam kebijakan dalam bidang pertanian dan penyediaan pangan demi keadilan jender dan kedaulatan pangan. Juga kemudahan bagi perempuan tani dan adat mengakses layanan keuangan, pelatihan untuk meningkatkan produk pertaniannya, dan keberlanjutan lingkungan.
Lusiana Silalahi (48), perempuan warga Desa Parsuratan, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samsosir, yang ditemui Kompas saat pembukaan W-20 di Hotel Niagara, sehari sebelumnya mengatakan, dirinya senang perempuan desa dibahas dalam forum yang terhormat W-20. Ia berharap forum bisa membuat perempuan-perempuan mendapat banyak pelatihan untuk bisa meningkatkan perekonomian keluarga.
”Selain ke sawah, saya juga menjual makanan untuk sarapan. Saya senang sekali kalau para perempuan di desa bisa mendapat kesempatan mengikuti pelatihan-pelatihan dengan mudah,” kata Lusiana.
Pada Rabu pagi, sejumlah organisasi masyarakat di Sumut dan Greenpeace membentangkan kain di permukaan Danau Toba bertuliskan ”Perempuan Sumatera Utara Lawan Deforestasi”. Mereka menyampaikan pesan kepada para partisipan W-20 Summit di Parapat betapa pentingnya menjaga hutan dan hak-hak masyarakat adat, khususnya perempuan adat dari ancaman deforestasi dan eksploitasi lahan.
Rocky Pasaribu, perwakilan dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), mengatakan, meskipun Presiden Jokowi telah menyerahkan 4 SK Hutan Adat di Danau Toba pada awal Februari 2022, hal itu belum menjawab persoalan masyarakat adat di Danau Toba. ”Masih banyak konflik agraria yang belum diselesaikan dengan serius,” kata Rocky.
Ia berharap, negara anggota G20 yang merupakan forum ekonomi utama dunia memiliki posisi strategis bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan penanganan krisis iklim.
Masih banyak konflik agraria yang belum diselesaikan dengan serius.
Indonesia sebagai pemegang Presidency G20 harus memastikan bahwa ada kesepakatan yang lebih ambisius yang harus dicapai untuk mengedepankan model pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dengan beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan, dan menghentikan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang berbasis lahan yang mendorong deforestasi, merampas hak-hak masyarakat adat dan petani, serta hanya menguntungkan golongan tertentu.