Daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste terus didorong menjadi sentra pertanian. Bendungan dan pendidikan tinggi yang menunjang pengembangan pertanian dibangun demi visi swasembada dan ekspor ke negara tetangga.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN, KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Jumat (8/7/2022) pagi, Thobias Mau (82) membersihkan hama yang tumbuh di antara celah tanaman padi berumur sekitar dua pekan. Tanaman itu tumbuh subur, membentang hingga ke sisi talud penahan air Sungai Malibaka, garis batas wilayah Indonesia dan Timor Leste di Desa Maumutin, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Melihat aliran air tersendat, Thobias bergegas membersihkan saluran yang terhalang timbunan lumpur dan dedaunan. Tangan liatnya masih bertenaga kendati tak segesit saat masih muda dulu, ketika mulai bercocok tanam di tempat itu tahun 1981. Fisiknya masih bisa bertahan di bawah terik yang menikam kepala mulai pukul 08.00 sampai menjelang pukul 11.30.
Tanaman yang baru tumbuh itu merupakan musim tanam gelombang kedua. Musim tanam pertama sudah dipanen dengan hasil 12 karung. Satu karung sekitar 50 kilogram gabah kering atau sekitar 30 kilogram beras.
”Satu tahun dua kali panen. Jadi, dari dulu jarang sekali beli beras. Belum pernah kekurangan beras,” katanya.
Lahan milik Thobias hanyalah satu dari ratusan lahan pertanian masyarakat yang berderet di perbatasan negara itu. Sebagian lahan terbentang di sisi jalan dari Atambua, ibu kota Kabupaten Belu hingga Turiskain, titik perlintasan tradisional antara Indonesia dan Timor Leste. Ada pula yang terletak agak ke tengah hutan.
Setiap pagi petani hilir mudik dengan sepeda motor dari rumah ke kebun. Mobil bak terbuka juga keluar masuk kebun, mengangkut berbagai sayuran untuk dijual ke pasar di Atambua dan beberapa kabupaten terdekat, seperti Malaka dan Timor Tengah Utara.
Ada yang bahkan diangkut sampai ke Kota Kupang yang berjarak sekitar 310 kilometer dari tempat itu.
Contohnya, tahun 2020, produksi cabai rawit di Kecamatan Raihat mencapai 6.889 ton atau lebih dari separuh total produksi tingkat Kabupaten Belu. Daerah itu hampir tidak kekurangan sayuran. Sementara beras juga berlimpah.
Lumbung penyimpanan
Di hampir setiap rumah ada lumbung penyimpanan gabah. ”Anak mahasiswa dari sini kalau kuliah di Kupang, mereka bawa beras berkarung-karung,” kata Martin Lelo (30), warga Maumutin.
Pertanian di daerah perbatasan itu berkembang berkat keberadaan Bendungan Maumuku yang menjadi sumber pengairan. Musim tanam hampir sepanjang tahun.
Selain itu, akses jalan ke perbatasan yang kini sudah bagus membuat mobilitas komoditas pertanian ke pasar kian lancar. Dulu, waktu tempuh dari Maumutin ke Atambua, Ibu kota Kabupaten Belu, bisa lebih dari dua jam, tetapi kini kurang dari satu jam.
Pemerintah pusat terus mendorong daerah itu menjadi sentra pertanian. Pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo meresmikan Bendungan Rotiklot di Desa Fatuketi, Kecamatan Kakukut Mesak, Kabupaten Belu.
Daya tampung bendungan itu sebesar 3,30 juta meter kubik. Bendungan hadir membawa solusi atas krisis air di sana.
Tahun 2022, Presiden kembali ke sana meresmikan lahan jagung untuk program food estate atau lumbung pangan seluas 55 hektar. Sumber pengairan berasal dari Bendungan Rotiklot.
Kini, semakin banyak lahan baru yang dibuka oleh warga setempat. Tak hanya jagung, mereka juga menanam padi, hortikultura, serta usaha peternakan dan perikanan air tawar.
Selain infrastruktur, pemerintah pusat juga menghadirkan Politeknik Ben Mboi, masih di wilayah Kecamatan Kakuluk Mesak. Kampus di bawah Universitas Pertahanan itu membuka program pertanian lahan kering.
Anak mahasiswa dari sini kalau kuliah di Kupang bawa beras berkarung-karung. (Martin Lelo)
Mahasiswa yang direkrut diprioritaskan anak lokal agar nantinya setelah tamat langsung membangun pertanian di sana.
Kampus itu diresmikan oleh Presiden Joko Widodo sebagai simbol hadirnya pendidikan di perbatasan. Presiden seperti ingin menunjukkan, kampus itu sebagai upaya mencerdaskan masyarakat dari pinggiran. Ini sebagaimana Nawacita yang sering digaungkan Presiden. Salah satu poinnya adalah membangun dari pinggiran.
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan, target pemerintah adalah tercapai swasembada pangan di perbatasan. Selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, selebihnya bisa diekspor ke Timor Leste.
Beberapa tahun lalu, Kabupaten Malaka mengengekspor bawang merah ke Timor Leste. Langkah ini perlu didorong kembali.
Bentuk nyata dukungan pemerintah provinsi itu lewat program bertajuk ”Tanam Jagung-Panen Sapi”. Dalam program ini, petani didampingi mulai dari penyiapan lahan hingga pemasaran.
Pendampingan itu salah satunya lewat akses pinjaman melalui Bank NTT. Petani diberi modal untuk mengolah lahan mereka. Besaran pinjaman yang dipatok sebesar Rp 10 juta per hektar.
Produk jagung petani dibantu untuk proses penjualannya ke pasar, baik di dalam maupun ke luar NTT. Hasil penjualan akan diarahkan untuk membeli ternak sapi. Dengan demikian, dalam satu kali musim tanam diperoleh hasil jagung dan ternak sapi. Siklus itu akan terus berlanjut setiap tahun.
Jalur perdagangan
Pada saat yang sama, jalur perdagangan ke Timor Leste kini terbuka lebar dengan berdirinya sejumlah pos lintas batas terpadu seperti di Motaain. Jalur itu langsung terhubung ke Dili, ibu kota Timor Leste. Sejauh ini, banyak barang kebutuhan pokok asal Indonesia dipasok ke Dili.
”Peluang ini harus kita manfaatkan,” ucap Viktor dalam sejumlah kesempatan.
Keberadaan pasar perbatasan kedua negara juga akan dioptimalkan. Dua pasar di titik perlintasan, yakni Motaain dan Turiskain.
Di Motaain, pasar sudah kembali beroperasi, sedangkan pasar di Turiskain masih ditutup akibat pandemi Covid-19. Di setiap pasar, hasil pertanian, seperti beras dan sayur-sayuran, serta ternak, dijual masyarakat.
Namun, kendala yang dihadapi petani di perbatasan saat ini adalah ketersediaan pupuk. Mereka harus mencari pupuk sendiri dengan harga mahal. Padahal, ada pupuk gratis dan subsidi pupuk dari pemerintah. Pemerintah daerah lewat penyuluh pertanian belum berperan secara maksimal untuk mendampingi petani.
Perlu kolaborasi para pemangku kepentingan untuk memajukan daerah perbatasan. (Agus Winarna)
Oleh karena itu, kolaborasi berbagai pihak diperlukan untuk memajukan wilayah tapal batas yang selama satu dekade terakhir terus dibangun.
Dekan Politeknik Ben Mboi Brigadir Jenderal (TNI) Agus Winarna berpendapat, lintas sektor harus bergerak dan saling mendukung. Untuk urusan pertanian, berbagai sumber daya utama sudah dimiliki, seperti air dan lahan.
”Perlu kolaborasi para pemangku kepentingan untuk memajukan daerah perbatasan. Presiden Joko Widodo lewat kebijakannya memfokuskan wilayah perbatasan menjadi beranda depan negara yang sangat strategis untuk dikelola,” kata Agus, yang meneliti khusus terkait kerja kolaboratif itu.
Potensi pertanian di batas negara kini menanti dikembangkan. Sangat terbuka peluang menjadikan daerah itu maju dari sektor pertanian. Kini, semua ikhtiar sudah dimulai, tinggal konsistensi dan keberlanjutan yang menjadi penentu keberhasilan.