Di Tengah Kasus Kekerasan Seksual, Kegiatan Ponpes Shiddiqiyyah Diklaim Tidak Terganggu
Kegiatan pesantren dan proses pendidikan di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur, dipastikan tidak terganggu di tengah mencuatnya kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh salah satu pengasuh.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
JOMBANG, KOMPAS — Kegiatan pendidikan di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur, diklaim tidak terganggu di tengah mencuatnya kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan salah satu pengasuhnya. Proses hukum kasus pidana tersebut juga masih terus berjalan.
Ketua Umum Organisasi Shiddiqiyyah Joko Herwanto, Selasa (12/7/2022), mengatakan, kegiatan pesantren dan proses pendidikan sejauh ini belum berjalan karena masih libur menyambut tahun ajaran baru. Kegiatan belajar mengajar baru aktif kembali pada Senin (18/7/2022), seiring berakhirnya liburan dan dimulainya tahun ajaran baru.
”Alhamdulillah, kegiatan pesantren berjalan normal. Untuk kegiatan pendidikan saat ini masih libur dan hari Senin (para siswa) baru masuk kembali,” ujar Joko, Selasa (12/7/2022).
Joko mengatakan, pihaknya belum menerima surat resmi pencabutan dan pembatalan izin operasional pondok pesantren yang dikeluarkan Kementerian Agama. Polemik terkait dengan operasional pesantren dan kegiatan pendidikan di Shoddiqiyyah baru sebatas pemberitaan di media massa.
”Kami tidak mempersoalkan hal itu. Kami syukuri (pembatalan pencabutan izin operasional) dan berharap ke depan menjadi lebih baik,” kata Joko.
Sebelumnya, Kemenag mencabut izin operasional Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah, Jombang, terhitung sejak Kamis (7/7/2022). Pencabutan itu disampaikan oleh Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono dalam pernyataan resminya yang mengungkapkan jika nomor statistik dan tanda daftar pesantren Shiddiqiyyah telah dibekukan.
”Sebagai regulator, Kemenag memiliki kuasa administratif untuk membatasi ruang gerak lembaga yang di dalamnya diduga melakukan pelanggaran hukum berat,” ucap Waryono.
Tindakan tegas ini diambil karena salah satu pemimpinnya yang berinisial MSA merupakan DPO kepolisian dalam kasus pencabulan dan perundungan terhadap santri. Pihak pesantren juga dinilai menghalang-halangi proses hukum terhadap yang bersangkutan. Waryono mengatakan, pencabulan tidak hanya tindakan kriminal yang melanggar hukum, tetapi juga perilaku yang dilarang agama.
”Kemenag mendukung penuh langkah hukum yang telah diambil pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut,” ujarnya.
Beberapa hari kemudian, kebijakan pencabutan izin itu dibatalkan. Pembatalan itu disampaikan Menteri Agama Ad Interim Muhadjir Effendy. Alasan pembatalan itu, antara lain, demi kebaikan santri yang tengah belajar di pondok pesantren tersebut.
Kepala Bidang Pendidikan Diniyah Dan Pondok Pesantren Kemenag Jatim Muhammad As’adul Anam, Jumat (8/7/2022), mengatakan, jumlah santri dan peserta didik yang menempuh pendidikan di Ponpes Shiddiqiyyah lebih dari 1.000 orang. Adapun jenjang pendidikannya mulai roudlotul anfal atau setingkat taman kanak-kanak (TK) hingga madrasah aliyah atau setara SMA.
Terus berjalan
Sementara itu, proses hukum terhadap pelaku kekerasan seksual santri di Ponpes Shiddiqiyyah terus berjalan. Tersangka bernama Muhammad Subchi Azal Tsani atau MSAT (42) masih ditahan di Rumah Tahanan Medaeng, Sidoarjo. Pelaku dilaporkan oleh enam orang korban yang merupakan santrinya sendiri.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim Mia Amiati mengatakan, pihaknya telah menyiapkan 10 jaksa untuk menangani perkara kekerasan seksual terhadap santri tersebut. Kejati Jatim menyatakan siap menyusun dakwaan dan melaksanakan proses persidangan untuk mengadili MSAT. Waktunya tinggal menunggu penetapan jadwal sidang dari Pengadilan Negeri Surabaya.
Asisten Pidana Umum Kejati Jatim Sofyan mengatakan, tersangka bakal dikenai dakwaan berlapis, yakni Pasal 285 KUHP Juncto Pasal 65 KUHP dengan ancaman pidana selama 12 tahun penjara. Dakwaan kedua adalah Pasal 289 KUHP jo Pasal 65 KUHP dengan ancaman hukuman sembilan tahun penjara. Adapun dakwaan ketiga adalah Pasal 294 Ayat 2 KUHP jo Pasal 65 KUHP dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara.
Putra pengasuh Ponpes Shiddiqiyyah bernama Muhammad Subchi Azal Tsani atau MSAT (42) ditetapkan sebagai tersangka kekerasan seksual terhadap santrinya sendiri sejak 2019. Berkas perkara dinyatakan sudah lengkap dan memenuhi ketentuan untuk dilimpahkan ke Kejati Jatim untuk segera disidangkan di pengadilan pada awal 2022.
Akan tetapi, sejak awal proses penyidikan tersangka tidak pernah memenuhi panggilan penyidik. Polda Jatim telah melakukan upaya persuasif kepada keluarga pelaku. Dalam prosesnya terjadi beberapa kali kesepakatan, tetapi dia belum menepati waktu yang telah disepakati bersama. Sejak Februari, Maret, hingga April telah diterbitkan surat panggilan pertama dan kedua, tetapi MSAT tidak pernah hadir.
Polda Jatim kemudian menerbitkan surat perintah untuk membawa yang bersangkutan. Namun, dia juga menolak. Sejak Minggu (3/7/2022), tim Polda Jatim turun untuk menangkap pelaku. Polisi juga melakukan penjemputan tersangka untuk diserahkan ke kejaksaan.
Akan tetapi, MSAT kembali tidak mau menyerahkan diri sehingga pada Kamis (7/7/2022) dilakukan penggeledahan di Ponpes Shiddiqiyyah. Penggeledahan yang berlangsung sejak pukul 08.00 itu baru membuahkan hasil pukul 23.00. Pelaku langsung dijebloskan ke Rumah Tahanan Medaeng di Sidoarjo untuk menjalani pemeriksaan dalam upaya melengkapi barang bukti.