Berbagai kasus kekerasan seksual yang dialami para siswa yang bersekolah di lembaga pendidikan berasrama harus menjadi alarm bagi para orangtua, pemerintah, dan masyarakat untuk meningkatkan perlindungan pada anak-anak.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
RUNIK SRI ASTUTI
Polisi berjaga di pintu masuk Pesantren Shiddiqiyah, Jombang, Kamis (7/7/2022). Ratusan personel dikerahkan untuk menangkap pelaku kekerasan seksual terhadap santri MSA yang merupakan putra pengasuh pondok
Kekerasan seksual terus terjadi di sejumlah lembaga pendidikan berasrama di Tanah Air. Ironisnya, pelaku tindak kejahatan kemanusiaan terhadap sejumlah siswa tersebut merupakan pengelola lembaga yang seharusnya bertanggung jawab melindungi para peserta didik. Situasi ini menjadi alarm untuk meningkatkan perlindungan anak dari kekerasan seksual.
Kendati korban terus berjatuhan, tidak mudah menyeret para pelaku tindak pidana kekerasan seksual. Kenyataan, meskipun sudah ada laporan dari korban, proses hukum dari kasus yang dilaporkan membutuhkan waktu yang panjang, untuk sampai pelaku ditahan, diproses hukum, dan diadili.
Karena itulah, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, menyerukan agar semua bentuk kekerasan seksual harus mendapat penanganan hukum yang sesuai. Tidak boleh lagi ada penyelesaian di luar pengadilan dan pihak-pihak yang menghalangi aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum.
“Saya tegaskan kembali, tidak ada kasus kekerasan seksual yang dapat ditoleransi. Siapa pun pelakunya, hukum harus ditegakkan dan diproses,” ujar Bintang Darmawati, Sabtu (9/7/2022), menanggapi penangkapan paksa oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur terhadap tersangka pelaku kekerasan seksual terhadap santriwati, di pondok pesantren di Jombang, Moch Subchi Azal Tsani atau MSA (42).
Meski demikian, penangkapan MSA oleh polisi dan langkah Kementerian Agama atas pencabutan izin operasional ponpes mendapat apresiasi. Proses hukum kasus tersebut harus segera berlanjut, agar ada kepastian hukum, pelaku dihukum dan korban mendapatkan keadilan.
Sebagaimana diberitakan, setelah melewati proses panjang dan berbelit, MSA, tersangka kekerasan seksual Pondok Pesantren (Ponpes) Shiddiqiyyah di Jombang, dijebloskan di Rutan Medaeng, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (9/7/2022). MSA menduduki jabatan sebagai wakil rektor di lembaga pendidikan pesantren Shiddiqiyyah.
Saya tegaskan kembali, tidak ada kasus kekerasan seksual yang dapat ditoleransi. Siapa pun pelakunya, hukum harus ditegakkan dan diproses.
Kasus kekerasan seksual di Ponpes Shiddiqiyyah Jombang adalah salah satu kasus yang menguras banyak energi, serta pengorbanan korban, untuk mendapatkan keadilan. Membutuhkan waktu sekitar empat tahun hingga akhir kasus ini benar-benar sampai pada titik saat ini. Padahal, kasus yang terjadi pada 2017 telah dilaporkan ke polisi oleh lima korban sejak 2018.
Meski ada laporan lagi pada 2019, hingga 2022, Polda Jatim belum berhasil memeriksa MSA, karena dia tidak pernah memenuhi panggilan. Beberapa kali upaya penjemputan secara paksa yang dilakukan oleh penyidik gagal karena dihalangi simpatisan dan para santri. Hingga akhirnya, pada Kamis (7/7/2022) lalu, polisi menjemput paksa MSA, dan membawa ke Rutan Medaeng.
AGUIDO ADRI
Kepala Kepolisian Resor Metro Depok Komisaris Besar Aziz Andriansyah berbincang kepada SM (45), pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, Senin (15/6/2020).
Tak hanya kasus di ponpes Jombang, pekan lalu, media sosial juga diramaikan oleh kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan, Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Jatim. Kasus kekerasan seksual mencuat ke publik, menyusul persidangan atas terdakwa Julianto Eka Putra (JEP), pemimpin Sekolah SPI yang diduga melakukan kekerasan seksual kepada sejumlah murid di sekolah tersebut.
Pekan lalu, kasus kekerasan seksual oleh JEP menjadi perbincangan di media sosial, setelah tayangan wawancara dengan beberapa korban muncul di Youtube. Pengakuan para korban mengungkapkan kekerasan seksual yang dilakukan JEP dengan berbagai modus, mengundang reaksi dan kemarahan para netizen, yang menuntut tersangka diadili dan dihukum.
Kasus yang kini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Malang, pada 20 Juli mendatang, akan memasuki agenda pembacaan tuntutan pidana terhadap terdakwa. Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementeria PPPA, Nahar menyatakan ada 15 saksi korban telah diminta keterangannya. Namun diduga korban lebih dari jumlah tersebut.
Proses hukum terhadap JEP sempat mendapat sorotan publik, karena terdakwa tidak ditahan. Namun, pada Senin (11/7/2022) majelis hakim memerintahkan penahanan terdakwa di Lapas Kelas 1 Malang, Lowokwaru. “Kami meminta aparat penegakan hukum menggunakan UU Perlindungan Anak dalam kasus ini, khususnya yang terkait dengan pasal persetubuhan dan pencabulan terhadap anak,” ujar Nahar.
KOMPAS/TOTO SIHONO
ILUSTRASI Kekerasan seksual
Jaringan Perempuan Pembela Korban Kekerasan Seksual (JPPKKS), menyatakan keprihatinan mendalam atas kasus kekerasan seksual yang terus terungkap, yang tak kunjung berhenti. “
“Dalam sepekan ini kita dibuat seolah tak berdaya dalam amarah menyaksikan kasus-kasus TPKS dari berbagai penjuru wilayah Indonesia bermunculan. Bak laron yang tertangkap lampu saat musim hujan, kasus TPKS menarasikan kembali urgensi pentingnya UU TPKS,” ujar Anis Hidayah, dalam keterangan pers JPPKS, Senin pagi.
Berbagai hambatan terhadap perlindungan bagi korban terjadi, menunjukkan perilaku dan pola pikir pelaku dan masyarakat yang memberikan dukungan kepada pelaku. Padahal, lokasi kejadian di lembaga-lembaga pendidikan yang semestinya merupakan tempat bagi anak-anak perempuan mendapatkan pengetahuan dan dasar perilaku yang anti kekerasan seksual dan menjunjung tinggi nilai ajaran agama.
Narasi tersebut menegaskan tantangan terberat penegakan hukum karena pola relasi kuasa yang timpang dalam kasus kekerasan seksual. Proses hukum kasus TPKS masih berbelit, akibat relasi kuasa di mana pelakunya juga seorang pendidik dan pendiri SPI Malang, sekolah bagi anak-anak yatim dan tidak mampu.
"Kita miris (mendengar) kesaksian korban kejahatan seksual pada anak, yang harus menahan diri, menunggu menjadi alumni, baru bisa mengungkap kasus trauma berat dari kisah kelam yang dialaminya,” ujar Jasra Putra, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra.
Jasra mengungkapkan, santri mudah menjadi korban, karena sejumlah faktor. Selain rasio pengasuh dan peserta didik tidak sebanding. Anak anak yang jauh dari pengawasan orang tua, menjadi korban karena oranggtua percaya begitu saja menyerahkan anaknya, sehingga sering mendapat perlakukan salah, sampai akhirnya menjadi korban kejahatan seksual.
DEFRI WERDIONO
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait bersama Koalisi Children Protection Malang memberikan keterangan pers soal soal kasus dugaan kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan atau eksploitasi ekonomi di SMA SPI Batu. di Batu, Jawa Timur, Rabu (9/6/2021)
Luluk Nur Hamidah, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Kebangkita Bangsa menilai, berbagai kekerasan seksual yang terus terjadi menunjukkan betapa darurat kekerasan seksual. Hal itu perlu segera disikapi pemerintah dengan mempercepat aturan turunan dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Meskipun UU memberikan waktu hingga dua tahun dari sejak ditetapkannya sebagai UU, mengingat urgensi dan kedaruratan situasi dan kondisi kekerasan seksual di tanah air, mestinya pemerintah menyegerakan dan memprioritaskan peraturan pemerintah dan peraturan presiden tersebut. Sosialisasi atas UU tersebut harus dilakukan secara masif oleh pemerintah.
Mencuatnya berbagai kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berasrama, seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah dan pemangku kebijakan. Relasi kuasa yang sangat kuat dari para guru dan pemimpin lembaga pendidikan, membuat anak dirik rentan menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Para orangtua tidak bisa lagi bersikap pasif dan mempercayakan anaknya bersekolah di tempat itu. Pengawasan dan kontrol orangtua menjadi penting.