Ancaman Kekerasan Seksual pada Anak di Tempat Umum
Kekerasan seksual terus terjadi dalam berbagai modus, bahkan tidak mengenal tempat. Pusat keramaian pun menjadi lokus kejadian kekerasan seksual. Maka, melawan kekerasan seksual harus menjadi gerakan bersama tanpa jeda.
Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual semakin mendesak menyusul berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Bahkan, kekerasan seksual terus terjadi dan membayangi anak-anak dan perempuan tanpa mengenal waktu dan menjadi momok bagi anak-anak di Tanah Air.
Beberapa kasus pun terhenti proses hukumnya atau tidak berlanjut ke ranah hukum. Kendati ada korban dan peristiwa dugaan kekerasan seksual terjadi, sering proses kasus tersebut tidak dilanjutkan karena perbedaan cara pandang atas kekerasan seksual.
Kasus terbaru terjadi pada Minggu (26/6/2022). Beberapa anak yang berada di Mall Bintaro Xchange diduga mengalami pelecehan seksual dari seorang pelaku. Perbuatan pelaku disaksikan seorang ibu yang melihat saat pelaku tiba-tiba memegang bagian perut bawah anaknya. Sang ibu langsung melaporkan kejadian tersebut kepada pihak Kepolisian Resor Tangerang Selatan.
Dari pemeriksaan sementara, kepolisian menyatakan pelaku sedang menjalani pengobatan akibat menderita gangguan mental berdasarkan keterangan dari pihak keluarganya, yang dibuktikan dengan hasil pemeriksaan di sebuah rumah sakit. Keluarga pelaku juga menjelaskan bahwa pelaku mengalami gangguan mental sejak dipecat dari pekerjaannya.
Proses hukum dugaan pelecehan seksual tersebut tidak berlanjut karena adanya mediasi antara keluarga pelaku dan keluarga pelapor. Kedua belah pihak sepakat bahwa pelaku akan dibawa ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan pengobatan.
Atas peristiwa tersebut, sejumlah organisasi memberikan catatan kritis. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), IJRS (Indonesia Judicial Research Society), dan Puskapa (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak) menyesalkan kasus itu dan meminta kepolisian memperbaiki mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual. Polisi dinilai memberi pemaknaan soal ”pelecehan seksual” dalam kasus tersebut.
”Kami sangat menyayangkan pernyataan Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Tangerang Selatan Inspektur Satu Suswanto yang menyebutkan bahwa apa yang dilakukan pelaku sebenarnya bukanlah pelecehan seksual secara fisik karena korban anak hanya dipegang di luar dan menjadi pelecehan seksual karena dilakukan di tempat umum,” ujar Maidina Rahmati, peneliti ICJR, Senin (4/7/2022).
Maidina menegaskan, kasus yang menimpa anak-anak tersebut sudah termasuk pelecehan seksual, terlepas dari bagian tubuh mana yang disentuh oleh pelaku, baik terjadi dalam ruang tertutup/privat maupun ruang publik.
”Hal ini didasarkan pada definisi yang menyebutkan bahwa perbuatan pelecehan seksual secara fisik adalah kontak seksual yang tidak dikehendaki dengan pelaku,” tegas Maidina.
Perbuatan tersebut termasuk menyentuh dengan sengaja, baik secara langsung atau melalui pakaian, pada alat kelamin, anus, selangkangan, payudara, paha bagian dalam, atau pantat siapa pun tanpa kehendak, atau orang tersebut tidak dapat berkehendak atau menolak.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Huruf a UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), TPKS adalah ”Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya....”
Rumusan tersebut, menurut Maidina, secara jelas menyatakan bahwa perbuatan seksual ”ditujukan terhadap tubuh, dan/atau organ reproduksi”, tidak ada pembedaan antara perabaan/persentuhan di dalam dan di luar pakaian.
Baca juga: Polisi Usut Dugaan Pencabulan terhadap Santriwati di Depok
Pada bagian lain, ICJR, IJRS, dan Puskapa juga memberikan catatan kritis tentang pentingnya memahami kompetensi anak dalam memberikan persetujuan. Sebab, dalam konteks hubungan seksual, unsur persetujuan atau consent menjadi aspek penting. Ketika dilakukan tanpa persetujuan, itu adalah kekerasan seksual.
Penyelesaian kasus kekerasan seksual juga tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan dan upaya musyawarah tidak dibenarkan. Tak hanya itu, hak korban juga harus dijamin. ”Dengan tidak diproses secara pidana, kami khawatir bahwa aparat penegak hukum dan berbagai pihak akan abai terhadap perlindungan dan pemulihan korban,” kata Maidina.
Dengan tidak diproses secara pidana, kami khawatir bahwa aparat penegak hukum dan berbagai pihak akan abai terhadap perlindungan dan pemulihan korban.
Perkuat sumber daya
Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pada Hari Bhayangkara 1 Juli 2022, mengapresiasi proses pembentukan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Unit PPA) menuju tingkat direktorat dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berbasis Teknologi Informatika (SPPT-TI). Komnas Perempuan juga memandang pentingnya penguatan kelembagaan Kepolisian Negara RI (Polri) terutama untuk melaksanakan tugas dan fungsinya yang dimandatkan UU TPKS.
Penguatan tersebut meliputi antara lain penguatan kapasitas polisi, khususnya menyangkut perspektif perempuan dan penyandang disabilitas dan penanganan perempuan korban kekerasan seksual; afirmasi peningkatan jumlah polisi wanita (polwan); serta penerbitan kebijakan-kebijakan internal sebagai pedoman pelaksanaan UU TPKS di institusi kepolisian.
”Komnas Perempuan juga mencatat, sumber daya polisi yang tersedia saat ini sebagai awak Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Unit PPA) masih belum dapat mengimbangi lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan di berbagai ranah dan kebutuhan penanganannya,” ujar komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi.
Padahal, Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022 merekam, pada tahun 2021 terdapat 454.772 kasus kekerasan terhadap perempuan, di antaranya 4.660 kasus kekerasan seksual.
Komnas Perempuan mengingatkan UU TPKS yang diundangkan pada 9 Mei 2022 menjadi hukum pidana khusus, baik pidana materiil maupun hukum acara pidananya. UU tersebut menetapkan sembilan perbuatan seksual, yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
”Perbuatan-perbuatan tersebut wajib diperiksa dan tidak dapat lagi menyatakan tidak adanya dasar hukum,” tegas Aminah.
Tak hanya kasus di Mall Bintaro Xchange, aktivis perlindungan perempuan, Sri Nurherwati, yang juga Ketua Yayasan Sukma, meminta publik mengawal kelanjutan kasus dugaan pencabulan dan persetubuhan pada anak di bawah umur yang bersekolah di sebuah pondok pesantren di Depok, Jawa Barat. Tiga anak yang telah melapor menjalani visum dan tes psikologis.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan, Kamis (30/5/2022), menyampaikan, pihaknya menerima laporan dari tiga korban yang merupakan perempuan anak di bawah umur. Ketiganya melapor sebagai korban perbuatan asusila dari pengajar mereka di sekolah.
Kepolisian tengah memeriksa pelapor dan visum korban karena korban ini anak-anak di bawah umur, mereka dibantu wali mereka. Subdit Renakta (Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita) Polda Metro Jaya juga sedang bekerja dan memeriksa saksi yang mengetahui kejadian di sekolah.
Baca juga: Pemulihan Korban Kekerasan Seksual Jadi Prioritas
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Nahar, tim Kementerian PPPA telah berkoordinasi dengan pihak terkait untuk mengawal kasus tersebut. Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati beberapa waktu lalu menemui 4 anak dari 11 anak korban dan menerima laporan langsung dari penasihat hukum, anak-anak, dan keluarganya.
”Kami berharap pihak kepolisian dapat memproses cepat kasus tersebut. Jika terbukti ada peristiwa hukum dan memenuhi unsur pidana persetubuhan dan pencabulan sebagaimana dimaksud dalam UU No 17 Tahun 2016, kepolisian dapat segera menetapkan tersangka pelakunya dan para korban mendapatkan penanganan secara komprehensif serta terpadu,” kata Nahar.
Tiada hentinya kasus kekerasan di masyarakat seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak bahwa kejahatan seksual harus dilawan. Sebab, siapa pun dan kapan saja bisa menjadi korban.