Protes Tanggul Tambang Pasir, Tiga Warga Lumajang Jalan Kaki ke Istana Negara
Tiga warga Lumajang, Jawa Timur, berjalan kaki ke Istana Negara untuk menyampaikan protes terkait pembuatan tanggul di tengah sungai oleh perusahaan tambang pasir. Mereka berharap bisa bertemu Presiden Joko Widodo.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Tiga warga Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, melakukan aksi jalan kaki ke Istana Negara, DKI Jakarta, untuk menyampaikan protes terkait pembuatan tanggul di tengah sungai yang dilakukan perusahaan tambang pasir. Mereka berharap bisa bertemu Presiden Joko Widodo karena pengaduan ke pemerintah daerah tidak membuahkan hasil.
Tiga warga yang melakukan aksi jalan kaki itu adalah Supangat (52), Nur Holik (39), dan Masbud (36). Ketiganya merupakan warga Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Lumajang. Dari ketiganya, Supangat merupakan yang pertama berjalan kaki dari Lumajang.
Supangat berangkat dari desa tempat tinggalnya pada Selasa (21/6/2022). Sementara itu, Nur Holik dan Masbud bergabung di tengah jalan. Pada Senin (27/6), Supangat dan Masbud sampai di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sementara Nur Holik sampai sehari kemudian. Di Yogyakarta, mereka sempat bertemu dengan sejumlah warga yang bersimpati sebelum melanjutkan perjalanan pada Rabu (29/6) ini.
Nur Holik menjelaskan, ia dan dua temannya memprotes pembuatan tanggul yang melintang di tengah Sungai Regoyo di lereng Gunung Semeru. Pembuatan tanggul itu dilakukan perusahaan pertambangan pasir dengan tujuan menghambat dan menampung pasir yang terbawa banjir. Dengan begitu, proses penambangan pasir bisa lebih mudah dilakukan.
”Oknum petambang itu membuat tanggul melintang untuk menghambat aliran air. Itu sangat mengkhawatirkan bagi kami,” ujar Holik saat ditemui di kawasan Tugu Yogyakarta, Rabu.
Holik menuturkan, tanggul tersebut dibuat dengan menumpuk batu-batu besar dan pasir di tengah sungai. Ketinggian tanggul yang dibuat perusahaan tambang pasir itu sekitar 4-5 meter atau hampir sama dengan tanggul pengaman banjir yang dibangun pemerintah pada masa Orde Baru.
Menurut Holik, perusahaan itu juga membangun kantor dan tempat workshop di dalam daerah aliran sungai (DAS). Dia menuturkan, perusahaan tersebut mendapat izin untuk melakukan penambangan pasir sekitar tahun 2015. Sementara itu, pembuatan tanggul dimulai sekitar 2019.
Holik menyatakan, setelah pembuatan tanggul itu, warga Desa Sumberwuluh khawatir aliran lahar hujan Gunung Semeru yang mengalir ke Sungai Regoyo akan meluap ke permukiman warga. Warga menilai keberadaan tanggul itu berpotensi membelokkan aliran lahar hujan ke arah permukiman penduduk.
Oleh karena itu, pada 23 Februari 2021, perwakilan warga Sumberwuluh sempat melaporkan keberadaan tanggul tersebut ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lumajang dan pihak-pihak terkait. Namun, tanggul yang dibuat perusahaan pertambangan pasir itu tetap dibiarkan hingga akhirnya terjadi erupsi besar Gunung Semeru pada 4 Desember 2021.
Holik memaparkan, dalam erupsi tersebut, banjir lahan hujan dari Gunung Semeru meluap ke permukiman warga Desa Sumberwuluh. Akibat peristiwa tersebut, banyak rumah warga akhirnya tertimbun lahar hujan.
”Sebelum erupsi, kami sudah mengingatkan jangan dibuat tanggul dan jangan ada bangunan di dalam DAS. Namun, hal tersebut tidak diindahkan,” kata Holik yang merupakan Ketua Paguyuban Peduli Erupsi Semeru.
Keputusasaan
Karena tidak mendapat tanggapan yang memuaskan dari Pemkab Lumajang, sejumlah warga Desa Sumberwuluh akhirnya memutuskan berjalan kaki ke Istana Negara. Mereka berharap bisa bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo untuk mengadukan masalah ini.
”Jalan kaki ke Jakarta tentu berat dan ada risiko-risikonya, tetapi ini adalah bentuk keputusasaan kami sebagai warga yang tidak digubris,” ujar Holik.
Holik menambahkan, sebelum melakukan aksi jalan kaki itu, warga sudah menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan, misalnya mantel dan obat-obatan. Sementara itu, saat berjalan kaki, Holik dan dua temannya hanya memakai sandal jepit sebagai alas kaki.
Supangat menuturkan, saat erupsi pada 4 Desember 2021, rumahnya ikut tertimbun lahar hujan Gunung Semeru. Selain itu, rumah milik saudara-saudara Supangat juga ikut tertimbun. ”Rumah saya sekarang sudah saya bersihkan dan perbaiki sedikit demi sedikit, tetapi rumah-rumah warga yang tertimbun agak parah belum ada yang diperbaiki,” tuturnya.
Supangat menambahkan, dirinya memutuskan berjalan kaki dari Lumajang ke Istana Negara yang berjarak lebih dari 800 kilometer (km) karena pengaduannya ke Pemkab Lumajang tidak mendapat tanggapan yang memadai. Dengan berjalan kaki hingga ke Istana Negara, Supangat berharap bisa bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo.
”Saya berniat berjalan kaki karena putus asa karena saya menuntut keadilan di daerah kami enggak ada tanggapan. Jadi, lebih baik saya jalan kaki langsung bertemu Presiden. Semoga saja Bapak Presiden mendengarkan kata-kata saya,” ungkap Supangat yang sehari-hari bekerja sebagai petani.
Saat berjalan kaki dari Lumajang, Supangat mengaku sebenarnya merasa lelah. Apalagi, dalam perjalanan, kakinya juga sempat kram. ”Sebenarnya berjalan kaki ini saya sudah lelah, tetapi ini demi warga kami dapat keadilan. Biarpun saya lelah, asalkan bisa berjalan, saya tetap berjalan ke Jakarta untuk menemui Pak Presiden dan minta keadilan,” katanya.
Bupati Lumajang Thoriqul Haq mengaku telah berdialog dengan warga Desa Sumberwuluh terkait talut atau tanggul yang dipersoalkan itu. Dalam dialog itu, kata Thoriqul, ada warga yang berpendapat masuknya banjir lahar hujan Gunung Semeru ke Desa Sumberwuluh terjadi karena human error atau kesalahan manusia.
Pendapat ihwal human error itu muncul karena keberadaan tanggul di tengah Sungai Regoyo dinilai menjadi salah satu penyebab masuknya banjir lahar hujan Gunung Semeru ke Desa Sumberwuluh.
Namun, Thoriqul mengingatkan, dibutuhkan kajian ilmiah untuk memastikan apakah pendapat terkait human error itu benar atau tidak. Apalagi, selain Desa Sumberwuluh, banyak desa lain yang juga terkena dampak banjir lahar hujan Gunung Semeru. Bahkan, Jembatan Gladak Perak di Lumajang juga ikut hancur karena material vulkanik erupsi Gunung Semeru.
”Jembatan Gladak Perak itu kokohnya enggak karuan. Jembatan itu kokoh, kuat, dan besar, tetapi hancur karena adanya material erupsi Semeru yang begitu besar volumenya,” ujar Thoriqul saat dihubungi dari Yogyakarta, Rabu.
Thoriqul juga mengatakan, material erupsi Gunung Semeru mencapai jutaan meter kubik. Sementara itu, dia menyebut, tanggul di tengah sungai yang dipersoalkan tersebut hanya dibuat dari tumpukan pasir. Penumpukan pasir itu pun dinilai tidak bermasalah asalkan masih berada di dalam area izin pertambangan milik perusahaan.
”Selama itu, berada di area lokasi izin pertambangannya, ya, tidak masalah. Kalau dia numpuk pasir di luar area izin pertambangan pasir, ya, enggak boleh,” tutur Thoriqul.