Menekan Kerentanan dan Risiko Bencana Melalui Mitigasi
Indonesia dilanda 3.058 bencana sepanjang 2021. Banyaknya kejadian bencana menunjukkan pentingnya mitigasi dan kesiapsiagaan sebagai ukuran kapasitas pemulihan masyarakat.
Bencana masih mengancam Indonesia di 2022. Selain karena berada di wilayah rentan bencana, risiko ini semakin membesar tiap tahun seiring masifnya intervensi manusia terhadap sistem ekologi dan kurangnya kesiapan mitigasi. Perbaikan manajemen bencana harus menjadi prioritas bagi pemerintah.
Perubahan sistem ekologi berkaitan dengan segala bentuk aktivitas manusia yang menghasilkan polusi dan bahan pencemar lain. Salah satu dampaknya adalah perubahan iklim yang membuat kejadian bencana makin sering terjadi dengan kualitas yang meningkat pula.
Dokumen Asia-Pasific Disaster Report 2021 dan Global Risk Report 2021 turut menegaskan bahwa kondisi ekologi saat ini menuju ke arah yang jauh lebih rapuh, sehingga berpeluang menciptakan banyak bencana tak terduga di masa mendatang.
Sebagai negara yang rentan bencana, Indonesia perlu mengambil sikap dan melakukan banyak perubahan besar dalam manajemen kebencanaan. Langkah pertamanya adalah memastikan sumber-sumber bencana terdeteksi, sembari diiringi penelitian lanjutan untuk melihat potensi bencana berikutnya.
Dalam sebulan terakhir Indonesia dilanda banyak bencana besar, seperti erupsi Gunung Semeru dan gempa bumi NTT. Erupsi Gunung Semeru menjadi salah satu bencana yang mengagetkan publik, sebab sebelum kejadian tidak ada peringatan atau kenaikan status gunung api.
Sedikitnya 51 orang dinyatakan meninggal dunia dan lebih dari 10.000 jiwa mengungsi. Jumlah titik pengungsian tersebar di 410 lokasi. Sementara gempa bumi NTT magnitudo 7,4 turut menyebabkan lebih dari 300 rumah rusak dengan sejumlah korban luka-luka.
Bangsa Indonesia perlu belajar dari dua bencana besar yang telah terjadi, sebab ada hal penting yang belum terpantau maksimal dari pengelolaan bencana nasional. Pertama, dari bencana erupsi Gunung Semeru, terlihat bahwa ada gap mitigasi bencana yang besar, sebab tahap kesiapsiagaan dan tanggap darurat belum berjalan.
Tahap kesiapsiagaan ialah fase kritis sesaat sebelum bencana terjadi. Dalam kasus erupsi gunung api, maka masa kesiapsiagaan bermula saat gunung api menunjukkan tanda-tanda peningkatan aktivitas yang mengarah ke proses erupsi. Sedangkan tanggap darurat adalah fase penanggulangan sesaat setelah bencana terjadi.
Hal kedua adalah dari bencana gempa bumi NTT. Kejadian ini mengingatkan masih kurangnya informasi sumber kebencanaan nasional. Sumber gempa di Laut Flores ternyata belum pernah terpetakan. Hal ini menjadi tantangan bagi para ahli kebumian untuk mengidentifikasi lebih detail, sehingga dapat melengkapi peta sumber dan bahaya gempa di Indonesia.
Terdeteksi
Selain dua bencana besar yang terjadi dalam kurun waktu sebulan terakhir, Indonesia masih harus dihadapkan situasi krisis bencana lainnya. Selama satu dekade terakhir, jumlah bencana yang terdeteksi ternyata makin bertambah. Rata-rata kenaikan bencana tahunan secara nasional sebesar 14 persen.
Catatan kematian yang disebabkan oleh bencana mencapai 852 orang setiap tahunnya. Sementara jumlah penduduk yang terdampak dan harus mengungsi mencapai 3,95 juta orang tiap tahun. Besarnya kerusakan infrastruktur tahunan akibat bencana sebanyak 90.000 unit.
Apabila didetailkan ke data terbaru 2021 saja, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, Indonesia telah dilanda 3.058 bencana sejak 1 Januari hingga 28 Desember 2021. Jenis bencana yang terjadi sangatlah beragam, mulai dari kebencanaan geologi, seperti gempa bumi, hingga hidrometeorologi, seperti banjir dan cuaca ekstrem.
Ribuan bencana tersebut didominasi oleh banjir, yaitu 42,1 persen dari total bencana secara nasional. Selain banjir, bencana lainnya yang turut mendominasi adalah cuaca ekstrem (25,9 persen) dan tanah longsor (20,4 persen).
Apabila dikelompokkan berdasarkan faktor pemicu bencana, maka bencana hidrometeorologi paling banyak terjadi, yaitu lebih dari 80 persen. Hal ini disebabkan oleh periodisasi bencana hidrometeorologi terjadi sepanjang tahun karena ditentukan oleh karakteristik cuaca dan iklim, seperti intensitas curah hujan.
Dari sisi sebarannya, lima provinsi dengan jumlah kejadian bencana terbanyak adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Aceh, dan Kalimantan Selatan. Kondisi ini menggambarkan wilayah Jawa merupakan disaster area yang harus terus diwaspadai tingkat kerusakan ekologinya.
Dampak dari kejadian bencana terbilang sangat besar. Sepanjang tahun 2021 sedikitnya 665 orang meninggal dunia karena bencana alam dan 8,42 juta jiwa harus mengungsi dari tempat tinggalnya. Jumlah kerusakan rumah dan fasilitas umum juga sangat banyak.
Sedikitnya 141.000 rumah rusak, sementara 13,5 persen di antaranya rumah berat dan harus dibangun ulang. Selain itu, hampir 1.500 fasilitas pendidikan juga rusak parah, demikian pula 1.846 rumah ibadah dan 359 fasilitas kesehatan lainnya.
Risiko
Dampak bencana yang teramat besar menuntut perbaikan manajemen bencana secara nasional yang melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah pusat hingga masyarakat. Dalam siklus manajemen bencana, titik krusialnya terletak pada mitigasi bencana.
Mitigasi bencana menentukan keberhasilan tahapan lain dalam manajemen bencana, seperti kesiapan pemerintah dan masyarakat di tengah perburukan situasi (kesiapsiagaan), manajemen tanggap darurat, hingga proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Sebagai contoh, apabila tahap rekonstruksi dilakukan tanpa dasar risiko bencana, maka pemilihan lokasi baru untuk pembangunan rumah dan fasilitas umum lainnya akan tetap rawan bencana. Penempatan lokasi yang kurang tepat hanya akan membawa masyarakat dari risiko bencana satu ke bencana lainnya.
Dasar penentuan lokasi akan tepat apabila area tersebut memiliki peta bahaya bencana. Sebagai catatan, data tingkat bahaya suatu wilayah termasuk dalam tahapan mitigasi bencana. Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa perencanaan mitigasi bencana yang baik akan berdampak besar pada keberhasilan menekan dampak bencana di masa mendatang.
Secara global, perencanaan manajemen bencana disepakati dalam dokumen the Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030. Ada empat aksi prioritas dalam dokumen the Sendai Framework for Disaster Risik Reduction 2015-2030. Aksi pertama adalah memahami risiko bencana, artinya, penelitian lanjutan terkait sumber bencana yang telah dan belum terdeteksi harus dilakukan secara berkelanjutan.
Aksi kedua adalah penguatan kemampuan pemerintah dalam manajemen risiko bencana. Sinergi tata kelola risiko bencana di tingkat nasional dan global sangat penting untuk pengelolaan dampak bencana di banyak sektor. Selain itu, tata kelola risiko bencana juga dapat memastikan koherensi kerangka hukum dan kebijakan publik.
Baca juga: Pelajaran Mitigasi Bencana dari Erupsi Gunung Semeru
Aksi ketiga berpusat pada investasi pengurangan risiko bencana demi resiliensi publik. Investasi dalam kebencanaan memiliki posisi penting untuk meningkatkan ketahanan ekonomi, sosial, kesehatan, dan budaya. Secara jangka panjang, investasi mampu menjamin proses pemulihan dan rehabilitasi secara efektif.
Aksi terakhir adalah menyiapkan langkah mitigasi dan kesiapsiagaan untuk respon bencana yang lebih efektif, terlebih dalam proses pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruki. Banyaknya pengalaman bencana menunjukkan bahwa mitigasi dan kesiapsiagaan mampu menjadi ukuran kapasitas pemulihan masyarakat. Negara-negara di dunia termasuk Indonesia dapat menerapkan aksi-aksi prioritas dalam dokumen tersebut yang dapat dimodifikasi sesuai karakteristik masing-masing wilayah. Ini perlu dilakukan untuk mengurangi dampak bencana yang mematikan bagi kehidupan manusia. (LITBANG KOMPAS)