Pentingnya Manajemen Multibencana di Indonesia
Mempertimbangkan kompleksitas bencana alam dan bencana non-alam yang terjadi, mitigasi berbasis multibencana dapat dipertimbangkan menjadi strategi dalam menekan risiko bencana.
Bencana datang silih berganti di Indonesia. Ragam bencana yang muncul seharusnya menjadi titik perubahan penanganan bencana di dalam negeri, yaitu berbasis multibencana.
Bencana alam dan pandemi mampu mengganggu kemajuan dan capaian pembangunan, khususnya yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan masyarakat.
Merujuk laporan The Global Risk Report 2021, kejadian bencana alam, penurunan kualitas lingkungan, dan penyakit menular menjadi ancaman terbesar umat manusia. Dampak yang dirasakan oleh peradaban manusia sangatlah besar.
Indonesia tak terkecuali, secara geologi dan hidrometeorologi merupakan area yang terancam oleh banyak tipe bahaya. Hingga Januari 2021 telah terjadi 263 kejadian bencana, termasuk pandemi Covid-19 dan jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182.
Berdasarkan laporan The World Risk Index 2020, negara ini berada di peringkat ke-40 dari 180 negara paling rentan bencana. Ragam bencana yang terjadi menuntut strategi penanganan bencana berbasis multibencana.
Penanganan dengan basis multibencana menggambarkan proses berkelanjutan dalam perencanaan, mulai dari tahap mitigasi hingga pemulihan pascabencana. Perspektif multibencana fokus pada penilaian risiko satu kejadian bencana dengan bencana turunan lain.
Kejadian bencana banjir bandang hingga empat kali di Gunung Mas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada 19 Januari 2021 lalu, misalnya, tidak terjadi secara alami semata karena intensitas hujan, tetapi dipicu adanya longsor di salah satu tebing Gunung Mas.
Apabila dilihat dari tahapan bencananya, banjir bandang termasuk bencana turunan yang dihasilkan dari curah hujan tinggi dan longsor tebing. Analisis multibencana dapat memperhitungkan potensi sebuah kejadian bencana yang mampu memicu bencana lain.
Bencana lain yang dapat memberikan gambaran adalah gempa bumi dan likuefaksi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, tahun 2018 silam. Secara alami, likuefaksi muncul karena kehilangan kekuatan struktur dan tekstur tanah akibat guncangan kuat.
Menggunakan perspektif multibencana, semua daerah yang berpotensi terjadi gempa bumi akan dimasukkan ke dalam daerah dengan kerawanan likuefaksi sehingga kesiapan menghadapi bencana tidak berfokus hanya pada satu kejadian gempa.
Pola penanganan bencana yang memperhitungkan banyak kejadian turunannya diharapkan mampu mendorong perencanaan kesiapsiagaan, mitigasi, tanggap darurat, rekonstruksi, hingga rehabilitasi dengan jangkauan lebih luas dan berkelanjutan.
Manajemen bencana
Kesiapan secara nasional terhadap kondisi multibencana juga mampu menekan risiko fiskal bagi APBN. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, rata-rata kerugian per tahun akibat bencana tahun 2000-2016 saja mencapai Rp 22,8 triliun. Bahkan, kerugian tahun 2019 mencapai Rp 80 triliun.
Sementara realisasi dana cadangan penanggulangan bencana dalam APBN periode 2005-2018 hanya sekitar Rp 2,5 triliun per tahun. Apabila dibandingkan besar kerugian dan penggantian oleh pemerintah, kerugian ekonomi akibat bencana akan terus meningkat, apalagi saat ini terjadi pandemi Covid-19.
Baca juga : Mengelola Anggaran di Negeri Bencana
Bencana non-alam berupa pandemi Covid-19 telah menelan anggaran terbesar sepanjang sejarah kebencanaan nasional. Biaya penanganan pandemi tahun 2020 dianggarkan sebesar Rp 695,2 triliun dan sebagian besar telah direalisasikan/digunakan.
Biaya tersebut digunakan untuk pendanaan sektor kesehatan, kebijakan jaring pengaman sosial, dukungan pada industri, dan dukungan pembiayaan program peningkatan ekonomi nasional. Hal itu menggambarkan risiko fiskal yang sangat besar di Indonesia.
Bencana alam tentu mempersulit masyarakat menghadapi pandemi Covid-19. Kesulitan tersebut, antara lain, karena ada penegakan protokol kesehatan, ancaman meningkatnya angka kematian, serta sulitnya distribusi bantuan di lokasi bencana.
Perumusan perspektif dan implementasi mitigasi multibencana perlu disusun dengan teliti dan melibatkan berbagai pihak. Sudut pandang yang digunakan tidak terbatas pada satu kejadian bencana, tetapi menginventarisasi faktor penyebab dan memproyeksikan kejadian bencana turunannya.
Mitigasi multibencana akan menghasilkan perhitungan presisi risiko bencana yang terdiri atas lima komponen, yaitu multibahaya, multisektoral, multilevel, multi-institusi, dan multifase. Setiap komponen membutuhkan kolaborasi kuat, bahkan dimulai saat fase kesiapsiagaan.
Indonesia perlu melakukan pembaruan manajemen kebencanaan yang dimulai dengan evaluasi peta risiko bencana dan peta evakuasi di seluruh wilayah. Pemerintah tidak perlu ragu untuk membuat simulasi terburuk sebuah bencana dan kejadian turunannya, termasuk mempertimbangkan munculnya wabah penyakit.
Dokumen penanganan bencana alam level nasional hingga daerah perlu disesuaikan dengan protokol kesehatan dalam situasi pandemi. Petugas penanganan bencana perlu pendampingan tenaga kesehatan atau minimal memiliki pengetahuan dasar tentang penyakit agar tidak membahayakan korban dan diri mereka sendiri.
Rekomendasi pemerintah
Demi menekan risiko yang muncul karena bencana alam dan pandemi Covid-19, setidaknya ada empat rekomendasi yang dapat dilakukan pemerintah dan masyarakat. Pertama, pemerintah perlu membuat regulasi penanganan multibencana. Kondisi saat ini, aturan hukum yang dibuat belum menyentuh penanganan bencana pada saat pandemi, terlalu terbatas pada sektor ekonomi dan kesehatan.
Kedua, penguatan kerja sama antara masyarakat sipil dan militer dalam penanganan situasi krisis. Pelatihan sukarelawan yang dibekali pengetahuan protokol kesehatan dan penanganan pasien dengan gejala Covid-19. Lembaga pemerintahan beserta TNI dan Polri perlu menguatkan komunikasi, baik secara horizontal maupun vertikal.
Perspektif multibencana fokus pada penilaian risiko satu kejadian bencana dengan bencana turunan lainnya.
Ketiga, inventarisasi ketangguhan bencana fasilitas publik, khususnya bidang kesehatan. Fasilitas publik yang tangguh bencana merupakan faktor kunci untuk perawatan korban bencana dan pandemi serta menjadi pusat pengungsian warga terdampak.
Terakhir, pemerintah bersama lembaga-lembaga penelitian, termasuk universitas, merumuskan skenario terburuk untuk multibencana yang berskala lebih besar. Dalam konteks kebencanaan, beberapa jenis bencana dengan daya rusak besar adalah tsunami dan kebakaran hutan.
Kejadian bencana alam tetap akan terus muncul mengikuti siklus alaminya yang saat ini cenderung makin sering terjadi. Mempertimbangkan kompleksitas wabah penyakit dan bencana alam, mitigasi berbasis multibencana dapat dipertimbangkan sebagai strategi utama dalam menekan risiko dan penanganannya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Meningkatnya Ancaman Bencana Alam Global