Terusir di Laut Sendiri, Nelayan Natuna Terpaksa Menangkap Ikan di Perairan Malaysia
Puluhan nelayan Natuna terpaksa menangkap ikan secara ilegal di perairan Malaysia. Tangkapan mereka merosot tajam karena intrusi kapal Vietnam semakin marak di Laut Natuna Utara.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Dalam dua bulan terakhir, puluhan kapal nelayan tradisional dari Natuna, Kepulauan Riau, menangkap ikan secara ilegal di perairan Malaysia. Mereka kesulitan menangkap ikan di Laut Natuna Utara karena semakin maraknya intrusi kapal Vietnam di perairan tersebut.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri, Senin (27/6/2022), mengatakan, ada sekitar 30 kapal nelayan setempat yang menangkap ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated/IUU Fishing) di perairan Malaysia. Hal itu sudah berlangsung setidaknya lebih kurang selama dua bulan terakhir.
”Nelayan di Natuna semakin sulit menangkap ikan di laut (Natuna Utara). Ikan habis dikeruk kapal-kapal pukat harimau dari Vietnam,” kata Hendri.
Menurut dia, pada medio Juni 2022, sejumlah nelayan lokal melapor bertemu ratusan kapal pukat Vietnam di perairan yang berjarak lebih kurang 30 mil laut (55,56 kilometer) dari Pulau Laut, Natuna. Kapal-kapal pukat itu terlihat beroperasi dengan dikawal sejumlah kapal patroli perikanan Vietnam.
Laporan nelayan tradisional Natuna itu sesuai dengan temuan peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Imam Prakoso. Ia mengatakan, intrusi kapal ikan asing di Laut Natuna Utara (LNU) memang meningkat tajam pada Mei 2022. Hal itu disimpulkan dari analisis citra satelit dan data perangkat identifikasi otomatis (automatic identification system/AIS).
Imam menambahkan, kapal patroli perikanan Vietnam juga terpantau hadir secara rutin di perbatasan perairan sengketa dengan Indonesia. Kapal-kapal patroli yang berukuran panjang lebih kurang 50 meter itu jumlahnya ada puluhan dan patroli secara bergantian.
”Mereka lebih banyak beroperasi di perbatasan perairan sengketa. Namun, sesekali juga masuk hingga 5-20 km ke zona ekonomi eksklusif (ZEE) RI yang tidak dalam sengketa dengan Vietnam,” ujar Imam.
Adapun Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim mengatakan, sejak lama pemerintah sudah memahami kerawanan IUU Fishing di LNU. Pemerintah seharusnya mengalokasikan anggaran yang memadai agar aparat dapat melakukan patroli secara rutin di sana.
Secara terpisah, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) Pung Nugroho Saksono mengatakan, pesawat patroli tengah dikerahkan untuk mengonfirmasi laporan nelayan mengenai peningkatan aktivitas kapal asing di LNU.
Sebenarnya, Direktorat PSDKP dapat memantau pergerakan kapal ikan asing melalui pusat kontrol (command center) di Jakarta. ”Namun, mereka tidak terpasang AIS jadi tidak (dapat) terpantau (dari pusat kontrol),” kata Pung melalui pesan Whatsapp.
Pada akhir April 2022, Pung mengatakan, PSDKP terkendala menggelar patroli laut secara optimal di tengah harga BBM yang melambung. Menurut dia, PSDKP hanya diberi anggaran membeli BBM dengan harga Rp 11.500 per liter.
Apalagi, kini PSDKP harus membeli BBM jenis pertamina dex dengan harga Rp 21.500 per liter. Besaran itu adalah harga dasar pertamina dex ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
”Intinya dalam hal patroli kami harus mengutamakan intercept (penyergapan). Dengan harga (BBM) yang segitu, kami tidak bisa melakukan ronda,” kata Pung, saat menghadiri diskusi daring Ancaman Keamanan laut dan IUU Fishing yang diselenggarakan IOJI, Rabu (27/4/2022).