Ironi Petani Sawit Jambi Panen Raya Tanpa Diserap Pasar
Selama puluhan tahun industri sawit Jambi berkembang sebatas memproduksi dan mengekspor minyak sawit mentah. Industri hilir tak kunjung dikembangkan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
IRMA TAMBUNAN
Pengepul sawit mengumpulkan hasil panen di wilayah Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Kamis (23/6/2022). Harga buah sawit kini menyentuh Rp 700 per kilogram, anjlok dibandingkan dengan April yang masih Rp 3.000 per kg.
Kebun-kebun sawit rakyat di Jambi seperti sia-sia. Di tengah musim panen raya, tandan-tandan buah yang menguning tak layak dipanen. Bukan karena hama atau kurang pupuk, melainkan pabrik-pabrik pengolahan sedang tak menerima buah sawit dari petani.
”Kalau dipanen, mau dijual ke mana? Tidak ada industri yang menampung. Pabrik-pabrik masih stop menerima buah sawit kami,” keluh Rahman, petani di Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Senin (27/6/2022).
Harga tandan buah segar (TBS) sawit yang sebelumnya Rp 3.000 per kilogram (kg) seketika anjlok sejak munculnya larangan ekspor dari pemerintah. Larangan itu berlaku sebulan lamanya dan telah dicabut pada Mei 2022.
Ekspor minyak sawit dan produk turunannya memang telah dibuka pemerintah. Akan tetapi, produsen sawit telanjur kehilangan pasar akibat berlakunya larangan ekspor pada April lalu.
Namun, pencabutan tak serta-merta memulihkan harga sawit. TBS hanya dihargai Rp 1.000 per kg. Bahkan, sepekan terakhir, harga terus turun mendekati titik terendah Rp 500 hingga Rp 700 per kg.
Dengan situasi itu, Rahman nyaris kehilangan akal. Jika sawit tetap dipanen, petani malah terbebani biaya produksi. Padahal, hasil panen itu pun tidak tahu mau dibawa ke mana. ”Setiap pagi kami terus bertanya kapan pabrik akan kembali menerima sawit petani,” ucapnya.
IRMA TAMBUNAN
Petani menunggu pedagang pengepul membeli buah sawitnya yang baru dipanen di wilayah Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Kamis (23/6/2022). Harga buah sawit kini menyentuh Rp 700 per kilogram. Pasar minyak sawit mentah belum pulih sejak larangan ekspor CPO dicabut Mei.
Pengepul buah sawit, Edwar, mengatakan, pabrik telah menyetop suplai sawit petani sejak awal pekan. Pemberitahuan itu ia peroleh dua hari sebelumnya. Dalam surat itu tertulis, ”Untuk sementara waktu, pabrik tidak menerima TBS (tandan buah segar) petani”. Ketentuan itu berlaku sampai waktu yang belum dapat ditentukan.
Penyetopan itu membuat para pengepul sawit turut menganggur. Angkutan pikap yang biasanya digunakan untuk menjemput hasil panen di kebun-kebun, sepekan terakhir, hanya terparkir tanpa orderan.
Ketua Asosiasi Kelapa Sawit Provinsi Jambi Kasriwandi mengatakan, jika kondisi itu terus berlarut, dampaknya akan meluas. Jika industri terpuruk, hal itu akan berdampak pada lesunya harga TBS petani. Saat ini ada 600.000 petani di Provinsi Jambi menggantungkan hidup pada budidaya sawit.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah segera mengatasi. Pemerintah perlu duduk bersama produsen minyak sawit untuk mendapatkan solusi. ”Kalau sampai semua pabrik sawit tutup, ratusan ribu petani yang turut terdampak,” katanya.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Provinsi Jambi Tidar Bagaskara menjelaskan, para pelaku industri sawit kini menghadapi persoalan baru. Ekspor minyak sawit dan produk turunannya memang telah dibuka oleh pemerintah. Akan tetapi, produsen sawit telanjur kehilangan pasar akibat berlakunya larangan ekspor pada April.
Begitu pula kapal-kapal pengangkut CPO yang telanjur dialihkan rutenya ke luar negeri. Akibatnya, ketika ekspor kembali dibuka, produsen sawit belum bisa mengekspor hasil CPO. Gonjang-ganjing ini mengakibatkan ekspor minyak sawit mentah (CPO) nasional jauh di bawah target. Dari 1 juta ton, ekspor CPO baru tercapai 20 persen. Imbasnya lalu merembet pada jatuhnya harga sawit petani.
Saat ini, ada 70-an pabrik kelapa sawit di Jambi. Sejumlah 30 pabrik terdaftar pada Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Jambi. Pihaknya mendata, dari jumlah itu, 25 persennya sudah dalam kondisi tangki pabrik penuh. Itu sebabnya, banyak pabrik membatasi pembelian sawit petani.
Tidar memperkirakan situasinya masih belum akan pulih sampai dengan Juli 2022. ”Karena para pengusaha masih kesulitan untuk mendapatkan kembali pasar yang telah beralih,” ujarnya.
IRMA TAMBUNAN
Pengepul sawit mengumpulkan hasil panen di wilayah Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Kamis (23/6/2022).
Terkait dengan ini, pihaknya berharap pemerintah turut membantu membukakan akses di pasar internasional. ”Pemerintah agar bisa memulihkan lagi kepercayaan pasar akan sawit Indonesia,” katanya.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Agu Rizal mengatakan telah ada harga kesepakatan buah sawit yang berlaku setiap dua pekan. Harga itu semestinya menjadi patokan para pengusaha. Saat ini harga ketetapan masih Rp 2.500 per kg.
Namun, ia mengakui sulit memaksakan industri membeli buah sawit petani di harga itu. ”Harga ini biasanya hanya dipatuhi oleh industri yang telah memiliki kelompok petani mitra. Sementara untuk petani yang tidak bermitra mendapatkan harga yang mengikuti mekanisme pasar,” katanya.
Sejauh ini, lanjutnya, gubernur dan bupati hanya dapat mengimbau perusahaan untuk membeli TBS sesuai harga ketetapan tim pokja. ”Tetapi, tidak ada sanksi bagi yang tidak bermitra,” ucapnya.
Lektor Kepala Program Studi Teknologi Industri Pertanian Universitas Jambi Sahrial mengatakan, persoalan yang dihadapi petani sawit saat ini dampak dari belum dibangunnya industri hilir di daerah. Padahal, budidaya sawit sudah tumbuh pesat sejak 20 tahun lalu. Sayangnya, potensi yang besar pada produksi sawit itu tak pernah diiringi tumbuhnya industri hilir. Berpuluh tahun Jambi jalan di tempat dengan sebatas memproduksi dan mengekspor dalam bentuk minyak sawit mentah.
Di sisi lain, ada peluang jauh lebih besar bagi sumber pendapatan daerah apabila sawit dikembangkan hingga menjadi produk-produk turunan. ”Nilai tambahnya jauh lebih besar,” katanya.
Ia melanjutkan, laporan Oil World (2002) telah memprediksi Indonesia menjadi produsen CPO terbesar di dunia pada tahun 2005 dan pada 2020 akan menguasai hampir 50 persen produksi CPO dunia. Oleh karena itu, dukungan pemerintah untuk mendorong perkembangan agroindustri kelapa sawit sangat penting.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Pekerja menyortir buah sawit berkualitas baik dari buah sawit berkualitas buruk yang dikirim pemasok ke pabrik kelapa sawit PTPN III Hapesong, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 4 Februari 2020. Kualitas buah sawit yang baik menjadikan pengolahan lebih efisien.
Seharusnya sudah ada investasi pengembangan riset yang menghasilkan teknologi yang dapat diadopsi menjadi sumber pertumbuhan usaha tani dan pengolahan hasil. ”Ini supaya pembangunan agroindustri kelapa sawit dapat segera memasuki tahap innovation-driven,” katanya.
Jika ini tak kunjung dikembangkan, fluktuasi harga dan kebuntuan pasar dipastikan akan selalu berulang: meredupkan harapan besar petani akan sejahtera.