Intensifikasi Jadi Kunci Pengembangan Industri Kelapa Sawit
Produksi kelapa sawit dan produk olahannya perlu ditingkatkan melalui sejumlah upaya, seperti pemberdayaan petani, investasi industri hilir, hingga efisiensi industri.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produksi kelapa sawit dan produk olahannya perlu ditingkatkan melalui sejumlah upaya, seperti pemberdayaan petani, investasi industri hilir, hingga efisiensi industri. Peningkatan produktivitas di hulu dan hilir akan menjaga kontribusi industri sawit terhadap perekonomian nasional.
Di hulu, peningkatan hasil perkebunan kelapa sawit krusial karena diperkirakan total areal perkebunan sawit yang saat ini sekitar 16 juta hektar tidak akan bertambah. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 memastikan moratorium pemberian izin baru perkebunan sawit berlaku untuk korporasi atau perkebunan skala besar.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengatakan, produksi kelapa sawit baik dalam bentuk CPO (crude palm oil/minyak kelapa sawit) dan PKO (palm kernel oil/minyak inti kelapa sawit) akan stagnan karena kebijakan tersebut bila tak ada intensifikasi.
Sepanjang 2020 sampai saat ini, produksi CPO nasional baru mencapai 34,411 juta ton dan PKO sebanyak 3,31 juta ton. Sementara pada 2019, produksi CPO mencapai 47,18 juta ton dan PKO mencapai 4,64 juta ton.
”Untuk tahun ini dan 2021, kita memperkirakan produksi akan meningkat, tetapi tidak banyak,” katanya saat menjadi pembicara dalam konferensi World Palm Virtual Expo, Rabu (25/11/2020).
Sementara itu, permintaan akan produksi minyak kelapa sawit dan olahannya terus meningkat. Hal ini didukung oleokimia atau bahan kimia dari lemak dan minyak sawit untuk konsumsi dan produk bahan bakar.
Kebutuhan bahan bakar biodiesel 40 persen (B40) yang diprogramkan pemerintah tahun depan menjadi salah satu pengungkit kebutuhan minyak kelapa sawit. Penggunaan bahan bakar nabati lain untuk diesel, bensin, dan avtur akan didorong untuk diintensifikasikan.
”Diperkirakan tidak ada perluasan wilayah yang signifikan sehingga peningkatan hasil jadi tumpuan. Untuk itu, kita perlu mengintensifkan penelitian untuk pengembangan industri hilir dan hasil tanam yang lebih tinggi,” ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemicals Indonesia (Apolin) Rapolo Hutabarat menyoroti peningkatan permintaan produk industri oleokimia sawit, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.
Dibandingkan semester I-2019, konsumsi dalam negeri pada semester I-2020 meningkat 600.000 ton menjadi 1,6 juta ton. Pada periode sama, volume ekspor oleokimia sawit mencapai 1,8 juta ton dengan nilai 1,2 miliar dollar AS.
Jumlah ekspor sampai paruh pertama tahun ini dinilai fantastis dibandingkan total volume ekspor sepanjang 2019 yang sekitar 3,2 juta ton dengan nilai 2 miliar dollar AS.
Untuk memenuhi permintaan yang tinggi, Rapolo mengatakan, Indonesia masih membutuhkan tambahan investasi. Pasalnya, sejak 2016 hingga 2020, kapasitas produksi industri oleokimia Indonesia masih sekitar 11 juta ton.
”Kami mengharapkan lebih banyak pengusaha berinvestasi di Indonesia, terlebih saat ini pengurusan izin investasi sangat mudah,” ujarnya. Kemudahan berinvestasi itu didukung berbagai kebijakan pemerintah, mulai dari pengurangan pajak dan pembebasan pajak (tax holiday).
Kontribusi sawit dalam membangun ekonomi Indonesia juga cukup besar, terutama dari ekspor CPO. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2019, Indonesia mengekspor 29,55 juta ton CPO dengan nilai ekspor mencapai 15,57 miliar dollar AS. Ini lebih besar dibandingkan ekspor komoditas migas ataupun barang nonmigas lainnya.
Perkebunan dan industri sawit juga membuka banyak lapangan kerja untuk petani, pekerja pabrik, dan tenaga kerja lainnya. Tenaga kerja lain yang terlibat langsung mencapai 4,2 juta orang dan yang tidak terlibat langsung mencapai 12 juta orang.
Derom Bangun menyoroti pentingnya partisipasi petani dan pengusaha kecil. Diperkirakan total ada 2,6 juta pengusaha kecil yang memberdayakan 4,3 juta orang. Mereka berkontribusi mengelola 41 persen perkebunan kelapa sawit.
”Petani sekarang mewariskan perkebunan mereka kepada generasi kedua dan ketiga mereka yang lebih teredukasi. Mereka cenderung memiliki keahlian ekonomi dan manajemen yang lebih baik untuk meningkatkan produktivitas,” tuturnya.