Dibukanya kembali ekspor minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya tak serta-merta memulihkan persawitan. Produsen dalan negeri telanjur kehilangan pasar sejak larangan ekspor berlaku pada April lalu.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·2 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Industri kelapa sawit dalam negeri membutuhkan solusi dan terobosan cepat dari pemerintah untuk memulihkan pasar yang hilang akibat larangan ekspor, April 2022. Meskipun larangan itu sudah dicabut sejak Mei, produsen minyak sawit mentah telanjur kehilangan pasar.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Provinsi Jambi Tidar Bagaskara mengatakan, dibukanya kembali ekspor minyak sawit dan produk turunannya tidak serta-merta memulihkan bisnis sawit dalam negeri. Para produsen telanjur kehilangan pasar sejak larangan ekspor diberlakukan pada April lalu.
Kini, setelah ekspor dibuka, produsen sawit masih kesulitan mendatangkan kapal untuk mengangkut CPO. Beralihnya pasar sawit menyebabkan target ekspor minyak sawit mentah (CPO) nasional jauh di bawah target. Dari 1 juta ton, ekspor CPO baru tercapai 20 persen. Selain itu, para pelaku jasa angkutan minyak sawit turut mengalihkan rutenya dari pelabuhan-pelabuhan dalam negeri.
”Sewaktu larangan ekspor berlaku, negara-negara importir langsung mencari bahan baku minyak sawit alternatif dari negara lain,” ujarnya, Jumat (24/6/2022).
Karena tidak bisa mengekspor CPO, stok minyak sawit kini memenuhi tangki-tangki di pabrik. Di Jambi, 25 persen tangki dari 30 pabrik yang tergabung dalam GAPKI Jambi sudah penuh sehingga tidak bisa lagi mengolah buah sawit. Bahkan, banyak pabrik menyetop sementara pasokan buah sawit dari petani.
Tidar melanjutkan, lesunya industri sawit diperkirakan bakal meluas dan masih terus berlanjut hingga sebulan ke depan. Jika pasar tak kunjung terbuka, bakal berdampak pada 70.000-an pekerja industri pengolahan CPO di Jambi. ”Para pekerja terancam dirumahkan jika pabrik tidak bisa menjual minyak sawitnya ke luar,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah segera mengambil langkah cepat membantu membuka akses pasar sawit. Salah satunya dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah negara importir minyak sawit.
Kondisi itu menyebabkan harga sawit di tingkat petani anjlok. Hingga Jumat, buah sawit hanya bernilai Rp 700 per kilogram di sentra-sentra tanam di Kabupaten Muaro Jambi. Buah sawit bahkan dibiarkan terbengkalai di sebagian besar kebun.
”Kalaupun panen, tidak ada yang menampungnya. Pabrik tidak terima sawit petani lagi karena tangkinya penuh,” ujar Bujang, warga Maro Sebo, Muaro Jambi.
Ketua Asosiasi Kelapa Sawit Provinsi Jambi mengatakan ada sedikitnya 600.000 petani bergantung pada budidaya sawit. Jika industrinya terpuruk, hal itu akan berdampak pada lesunya harga tandan buah segar (TBS). Ia beharap kondisi itu dapat cepat diatasi pemerintah. Karena itu, ia mendesak agar pemerintah segera duduk bersama produsen minyak sawit untuk mendapatkan solusi atas persoalan yang terjadi.
”Bisa-bisa semua pabrik sawit tutup. Jangan sampai situasinya semakin parah,” ujarnya.