Layanan Kependudukan di Sumsel Belum Ramah Difabel
Pelayanan pendataan kependudukan di Sumatera Selatan belum ramah bagi penyandang disabilitas. Identitas penduduk sangat dibutuhkan agar kaum difabel juga mendapatkan hak-haknya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Layanan pendataan kependudukan di Sumatera Selatan belum ramah bagi penyandang disabilitas. Sampai saat ini baru 5.000 penyandang disabilitas di Sumsel yang sudah melakukan perekaman. Padahal, identitas penduduk sangat dibutuhkan untuk mendapatkan bantuan sosial dan akses untuk beraktivitas.
Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sumsel Hikmah Miliana, Rabu (22/6/2022) di Palembang, mengatakan, hingga kini pelayanan pendataan kependudukan untuk pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik di sebagian besar daerah di Sumsel belum ramah bagi penyandang disabilitas. ”Untuk di Palembang (pelayanannya) sudah jauh lebih baik, hanya untuk di kabupaten/kota yang lain masih belum ramah,” ujar Hikmah.
Bentuk ketidakramahan itu, lanjut Hikmah, terlihat dari infrastruktur kantor kecamatan atau tempat perekaman lainnya yang belum memfasilitasi kebutuhan kaum difabel. Di sana juga tidak disediakan pendamping bagi warga berkebutuhan khusus. Hal ini yang menjadi alasan banyak kaum difabel di Sumsel belum melakukan perekaman data untuk pembuatan KTP elektronik.
Selain itu, banyak orangtua atau keluarga yang enggan mendaftarkan anggota keluarganya yang bekebutuhan khusus menjalani perekaman. ”Alasannya karena malu atau tidak tahu bagaimana mekanisme pendaftarannya,” ujar Hikmah.
Padahal, identitas kependudukan sangat penting untuk mempermudah para penyandang disabilitas mendapatkan bantuan sosial atau akses lain, seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, bahkan pekerjaan. Namun, kondisi itu berangsur membaik ketika perekaman sudah dilakukan dengan sistem jemput bola.
Pemerintah Provinsi Sumsel bersama pihak terkait mengadakan program perekaman sehingga penyandang disabilitas yang belum memiliki identitas kependudukan dapat terlayani. ”Program tersebut sudah dilakukan sejak Februari 2021,” ucap Hikmah. Sampai saat ini sekitar 5.000 penyandang disabilitas di Sumsel sudah melakukan perekaman untuk pembuatan KTP elektronik.
Hanya saja, perekaman masih terkonsentrasi di Palembang karena fasilitas di daerah lain belum memadai. Selain itu, data pasti jumlah penyandang disabilitas di Sumsel juga belum begitu valid karena banyak juga warga atau keluarga yang tidak mendaftarkan penyandang tersebut karena berbagai keadaan.
Darmawan Agung Saputra (18), salah satu penyandang tunanetra, mengaku senang bisa melakukan perekaman untuk pembuatan KTP elektronik. Selama ini, ia tidak mendapatkan akses untuk memperoleh identitas kependudukan lantaran tidak ada pihak yang membantunya. ”Saya pernah pergi ke kantor kecamatan bersama orangtua, tapi ditolak petugas dengan alasan tidak punya alat,” ucapnya.
Saat melakukan perekaman di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Sumsel, Rabu (22/6), Darmawan didampingi gurunya. Menurut dia, dengan memiliki KTP elektronik, dia bisa mendapatkan bantuan sosial, termasuk fasilitas lain sebagai warga negara. ”KTP juga sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan nantinya,” ucap anak keempat dari lima bersaudara ini.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh, dalam kunjungan kerja ke Palembang, Rabu, mengakui, secara keseluruhan terdapat keterbatasan sumber daya pendata penyandang disabilitas. Oleh karena itu, dia berharap agar setiap aparatur sipil negara mendata penyandang disabilitas di sekitar tempat tinggalnya. ”Jika ada (penyandang disabilitas) segera bawa ke dinas sosial atau Disdukcapil terdekat untuk segera didata,” ucapnya.
Langkah ini sebagai bentuk afirmatif untuk memberikan prioritas pendataan kepada penyandang disabilitas. Untuk melakukan pendataan hingga perekaman, penyandang disabilitas memang memiliki tantangan. Salah satu contohnya, untuk merekam data dari orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tentu butuh perlakuan khusus. ”Terkadang identitas yang mereka sebutkan berubah-ubah setiap saat. Karena itu, butuh peran pendamping sehingga mereka bisa terlayani dengan baik,” ucap Zudan.
Secara keseluruhan, terdapat keterbatasan sumber daya pendata penyandang disabilitas. Oleh karena itu, setiap aparatur sipil negara agar mendata penyandang disabilitas di sekitar tempat tinggalnya.
Zudan menyangkal, prioritas perekaman data juga demi hak politik para penyandang disabilitas menjelang pemilu. ”Langkah ini bertujuan untuk memberikan akses kepada penyandang disabilitas untuk mendapatkan bantuan sosial, termasuk akses untuk pendidikan dan pekerjaan,” ucapnya.
Oleh karena pendataan kependudukan sangat krusial, pekerjaan ini tidak hanya tugas dinas kependudukan dan pencatatan sipil saja, tetapi juga dinas terkait, seperti dinas pendidikan. Oleh karena itu, hanya warga yang memiliki KTP elektronik yang bisa masuk dalam data pokok pendidikan. Selain itu, dinas sosial karena terkait bantuan sosial dari pemerintah dan dinas ketenagakerjaan lantaran penyandang disabilitas memiliki hak mendapatkan pekerjaan layak.
Misalnya, untuk mendapatkan pelayanan dari Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan, salah satu syaratnya harus memiliki KTP elektronik. ”Tugas pemerintah adalah memastikan semua warga negara mendapatkan layanan tersebut,” ujarnya.
Khususnya bagi penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan sehingga tidak mendapatkan penghasilan tetap. Dengan kebijakan ini, jumlah penyandang disabilitas yang melakukan pendataan identitas kependudukan meningkat pesat. Dalam tiga bulan, ujar Zudan, secara nasional sudah ada 600.000 orang yang melakukan pendataan. ”Jangan sampai ada satu orang pun yang tertinggal,” ucapnya.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengakui belum optimal dalam mendata para penyandang disabilitas di Sumsel. Padahal, mereka memiliki hak sama sebagai warga negara. Untuk itu, ia menginstruksikan jajarannya untuk ”jemput bola” agar semua penyandang disabilitas di Sumsel bisa terakomodasi.
Herman menyadari masih banyak keterbatasan dalam upaya ini, misalnya keterbatasan sinyal di daerah tertentu. Namun, dengan usaha bersama, hambatan itu diharapkan dapat diselesaikan sehingga para penyandang disabilitas bisa memperoleh haknya.