GEDWG Angkat Tiga Isu Berbasis Jender dan Disabilitas
Ketimpangan jender dan inklusivitas bagi penyandang disabilitas menjadi isu penting di Indonesia. Hal ini akan dibahas GEDWG, salah satu kelompok kerja Civil 20 (C20), di forum G20.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok Kerja Kesetaraan Jender dan Disabilitas atau GEDWG akan mengangkat tiga isu di forum G20 untuk mendukung inklusivitas terhadap perempuan dan penyandang disabilitas. Isu tersebut diharapkan memantik diskusi dan mendorong komitmen tingkat global ataupun nasional.
GEDWG merupakan bagian dari Civil 20 (C20), kelompok masyarakat sipil di forum G20. Isu pertama yang diangkat GEDWG ialah keadilan ekonomi untuk perempuan dengan pendekatan kesetaraan jender dan inklusi sosial. Kedua, penanganan kekerasan berbasis jender. Isu ini mencakup memastikan adanya kebijakan dan mekanisme pencegahan kekerasan. Ketiga, pemenuhan hak kesehatan reproduksi yang komprehensif, berkualitas, dan terjangkau.
Menurut anggota GEDWG sekaligus Direktur Eksekutif Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Nanda Dwinta, Selasa (21/6/2022), layanan kesehatan reproduksi di Indonesia belum optimal. Salah satu kendalanya adalah pandangan bahwa kesehatan reproduksi merupakan isu perempuan saja. Kendala lain mencakup keterbatasan tenaga kesehatan dan tantangan geografis.
Hal ini dapat berdampak ke kematian ibu. Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 2015 menyatakan, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah 305 kasus per 100.000 kelahiran hidup. Pemerintah menargetkan AKI turun menjadi 70 kasus per 100.000 kelahiran hidup pada 2030 sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Isu kesetaraan dan keadilan jender lain yang patut disorot adalah perkawinan anak. Mahkamah Agung mencatat, permohonan dispensasi perkawinan pada 2020 sebanyak 64.000 perkara. Angka ini naik lebih dari 200 persen dibandingkan dengan data 2019 (24.000 perkara).
”Padahal, dengan menghentikan perkawinan anak saja, itu sama dengan menghentikan masalah kesehatan yang akan ditanggung perempuan, angka kematian ibu, kemiskinan, putus sekolah, dan sebagainya,” kata Nanda.
Layanan kesehatan reproduksi di Indonesia belum optimal. Salah satu kendalanya adalah pandangan bahwa kesehatan reproduksi merupakan isu perempuan saja.
Ketimpangan ekonomi
Sementara itu, menurut anggota GEDWG sekaligus Direktur Eksekutif Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro Emmy Susanti, keadilan ekonomi untuk perempuan masih belum terwujud. Rata-rata upah pekerja laki-laki sekitar Rp 3,5 juta, sementara perempuan Rp 2,7 juta.
Laporan Ketimpangan Dunia atau World Inequality Report (WIR) 2022 menunjukkan, pendapatan pekerja perempuan di Indonesia pada 2020 hanya 24,8 persen dari total pendapatan tenaga kerja nasional. Angka ini tidak banyak berubah dalam 30 tahun terakhir sehingga menunjukkan ketimpangan jender masih terjadi.
Anggota GEDWG sekaligus Dewan Pertimbangan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Maulani Rotinsulu menambahkan, isu disabilitas masih jarang dibahas di forum besar. Hal ini juga tak dibahas di forum G20 tahun lalu di Italia. Padahal, pelibatan disabilitas penting untuk mengejar SDGs pada 2030.
Salah satu tantangan penyandang disabilitas untuk berdaya adalah terbatasnya akses kerja. Tidak semua perusahaan mau menerima mereka bekerja. Di sisi lain, keterampilan yang dimiliki kerap tidak sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
”Butuh tindakan afirmasi untuk mendorong kesetaraan. Dulu, tindakan afirmasi dianggap sebagai keistimewaan atau privilese sehingga ditolak sejumlah pihak,” ucap Maulani.
Diskusi publik
Forum G20 dianggap sebagai peluang baik untuk menyuarakan isu kesetaraan jender dan disabilitas. Isu tersebut diharapkan bisa didiskusikan secara serius, lantas dapat menjadi rekomendasi kebijakan atau program global. Jika tidak, GEDWG berharap isu ini dapat menjadi diskursus publik.
”Kami harap perspektif kesetaraan jender, disabilitas, dan inklusi sosial atau GEDSI dapat menjadi kerangka berpikir semua orang,” ucap Nanda.
Menurut Co-chair C20 Herni Ramdlaningrum, pengarusutamaan kebijakan berbasis jender dan inklusi sosial semakin penting. Sebab, perkembangan zaman membuat tantangan inklusivitas makin sulit. Pandemi Covid-19 pun melumpuhkan gerakan penyetaraan yang selama ini dilakukan.