Antisipasi Penularan PMK, Sumsel Tolak Sapi dari Jawa
Sumsel menolak sapi yang didatangkan dari daerah zona merah penyakit mulut dan kuku (PMK), terutama dari Pulau Jawa. Hal ini untuk meminimalisasi penyebaran PMK di Sumsel. Saat ini ada 220 sapi mengalami gejala PMK.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sumsel menolak sapi yang didatangkan dari daerah zona merah penyakit mulut dan kuku untuk meminimalisasi penyebaran virus penyakit. Hingga saat ini, sudah ada 220 sapi yang dilaporkan diduga terjangkit penyakit itu di empat kabupaten/kota.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Selatan Ruzuan Effendi, Selasa (21/6/2022), di Palembang, menyebut, sampai kini kasus tersebar di Kabupaten Muara Enim sebanyak 103 kasus dan Musi Rawas (97 kasus), Banyuasin (15 kasus), serta Lahat (5 kasus). Sebenarnya, lanjut Ruzuan, satu minggu lalu ada delapan daerah lain yang diduga memiliki kasus penyakit mulut dan kuku (PMK). ”Namun, sebagian besar (ternak) sudah sembuh karena ada intervensi dari petugas berupa pemberian vitamin dan obat-obatan untuk meningkatkan imun,” ucapnya.
Untuk mencegah menyebarnya kasus PMK di Sumsel, pihaknya sudah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk tidak menerima sapi dari daerah zona merah, terutama di Pulau Jawa. ”Karena itu, pemeriksaan di perbatasan akan diperketat,” ucapnya.
Penyebaran virus bisa terjadi dari proses jual-beli, proses angkutan hewan, hingga penyebaran dari antarkandang yang berdekatan. Oleh karena itu, nantinya hanya hewan yang memiliki surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) yang boleh diperjualbelikan di Sumsel. ”SKKH hanya bisa dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang,” ucapnya.
Hanya saja, Sumsel masih kekurangan dokter hewan. Hanya ada 55 dokter hewan yang berwenang mengeluarkan SKKH. ”Kalau ada daerah yang belum memiliki dokter hewan bisa menggunakan tenaga dari daerah terdekat,” ujar Ruzuan.
Saat ini, tim teknis sudah berkeliling di setiap kandang dan tempat jual-beli untuk memeriksa kondisi sapi yang ada di Sumsel. ”Adapun untuk pemeriksaan sapi dan penerbitan SKKH akan mulai dilakukan 14 hari sebelum Idul Adha,” ujarnya.
Saat ini jumlah sapi di Sumsel mencapai 305.000 ekor. Dari jumlah itu, hanya 220 ekor yang sakit. Jumlah sapi yang sakit masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah populasi sapi. Oleh karena itu, Ruzuan menjamin kebutuhan masyarakat Sumsel akan daging sapi masih bisa terpenuhi setidaknya sampai Idul Adha tiba.
Ia juga meminta masyarakat tidak perlu panik. Peternak tinggal minta kejelasan SKKH, sapi akan mendapat surat keterangan sehat. ”Masyarakat jangan panik, persediaan daging masih tersedia walau memang ada fluktuasi harga,” ucap Ruzuan.
Adapun vaksinasi diperkirakan baru akan dilakukan pada Juli-Agustus 2022. ”Kami sudah mengusulkan 500.000 dosis vaksin yang akan digunakan dalam empat bulan ke depan,” ujarnya.
Kepala Dinas Perhubungan Sumatera Selatan Ari Narsa mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan kepolisian menjaga daerah perbatasan. Setiap angkutan yang membawa sapi masuk ke wilayah Sumsel akan diperiksa. ”Pengemudi harus membawa dokumen lengkap yang membuktikan sapi yang dibawanya dalam keadaan sehat,” ucapnya.
Kebijakan ini sudah mulai diterapkan sejak PMK sudah mewabah di Indonesia. ”Jangan sampai sapi dari zona merah bisa masuk ke Sumsel,” ucapnya. Menurut dia, dalam situasi seperti ini, pemeriksaan sapi akan lebih ketat, bahkan sejak keluar dari provinsi tertentu. ”Pemeriksaan akan semakin ketat jelang Idul Adha,” ucapnya.
Sapi yang sembuh pun tetap berpotensi menjadi carrier pembawa penyakit PMK dan bisa menulari sapi yang lainnya. (Jafrizal)
Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Sumsel Jafrizal mengatakan, upaya pencegahan sejak dini perlu dilakukan di Sumsel mengingat PMK adalah penyakit yang sangat menular tidak hanya pada sapi, tapi juga menyerang hewan berkuku belah lain, seperti kerbau, kambing, dan babi. ”Tingkat kesakitannya pun mencapai 90-100 persen dan tingkat kematian sekitar 5 persen,” ucap Jafrizal.
Penyebaran bisa melalui udara sehingga penyebaran penyakit ini bisa sampai 10 kilometer. Meskipun demikian, warga tidak perlu panik berlebihan karena penyakit ini tidak menular ke manusia. Namun, penyakit berdampak besar bagi ekonomi karena turunnya produksi ternak. ”Jika ada ternak yang terjangkit, mereka akan kehilangan berat badan dan produksi susu pada sapi perah menurun,” ucapnya.
Peternak pun harus mengeluarkan biaya lebih untuk mengobati penyakit. Penyakit ini bisa disembuhkan jika tersedia obat-obatan yang cukup, termasuk memberikan disinfektan ke kandang sapi. Kewaspadaan juga perlu ditingkatkan mengingat sapi yang sembuh pun tetap berpotensi menjadi carrier pembawa penyakit PMK dan bisa menulari sapi yang lainnya. Kondisi inilah yang menyebabkan setiap negara ataupun peternak takut dengan penyakit PMK ini.
Adapun untuk hewan kurban sapi yang bergejala ringan masih dapat dijadikan sebagai hewan kurban. Aturan ini sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 32 Tahun 2022 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Hewan Kurban saat Kondisi Wabah PMK. Terkecuali jika hewan kurban tersebut mengalami cacat berat, seperti kepincangan.