Sejak 1990, Indonesia diakui internasional sebagai negara bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) tanpa vaksinasi, Namun, PMK kembali mewabah tahun ini dan kini terdeteksi di sedikitnya di 17 provinsi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Sempat mendeklarasikan diri sebagai negara bebas penyakit mulut dan kuku atau PMK pada tahun 1986, Indonesia kini mesti berurusan lagi dengan penyakit menular hewan akut yang ditakuti dunia itu. Setelah absen panjang, Indonesia seakan kaget dan tak siap. Penyebarannya pun kian meluas. Koordinasi dalam satu komando dalam penanganan wabah PMK amatlah diperlukan.
PMK pertama kali masuk ke Indonesia, di Malang, pada 1887. Lewat perjuangan sekitar 100 tahun, Indonesia terbebas dari PMK pada 1983, kemudian mendeklarasikan diri bebas PMK pada 1986. Baru pada 1990 Indonesia diakui sebagai negara bebas PMK oleh World Organisation for Animal Health atau WOAH (dulu Office International des Epizooties/OIE).
Sejak 1990, Indonesia masuk kategori Negara Bebas PMK tanpa vaksinasi. Sebelum akhirnya kebobolan tahun ini, status itu berhasil dipertahankan meski ancaman virus terus mengintai. Di sekeliling Indonesia, terutama di Asia Tenggara, sebagian besar negara belum bebas PMK secara negara (country based). Kini, status negara bebas PMK Indonesia ditangguhkan oleh OIE.
Masuknya PMK ke Indonesia tahun ini antara lain terungkap lewat Surat Kepala Dinas Peternakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur Indyah Aryani kepada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa tertanggal 5 Mei 2022. Kasus PMK pertama kali dilaporkan di Kabupaten Gresik pada 28 April 2022. Lalu ditemukan juga di tiga kabupaten lain yakni Lamongan, Sidoarjo dan Mojokerto.
Pada saat yang hampir bersamaan, hewan ternak terjangkit PMK juga ditemukan di Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur, Aceh. Kementerian Pertanian (Kementan) lalu menetapkan enam kabupaten di dua provinsi tersebut sebagai daerah darurat wabah PMK.
Sejumlah kebijakan segera diambil pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Namun, langkah itu kalah cepat dengan penyebaran virusnya. Menurut data Kementan per Selasa (24/5/2022) secara kumulatif tercatat sudah 27.326 ekor hewan di 17 provinsi yang terinfeksi PMK. Adapun dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI, Kamis (3/6/2022) disebutkan, 40.000 hewan di 17 provinsi telah terinfeksi PMK.
Gugus tugas pun dibentuk, baik di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Berbagai surat edaran dikeluarkan demi mencegah penyebaran dan penularan lebih luas. Jawa Timur menjadi salah satu daerah paling gencar menangkal penyebaran PMK. Tak heran, mengingat Jawa Timur merupakan provinsi dengan populasi hewan ternak terbesar di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik, pada 2021, terdapat 4,9 juta ekor sapi potong di Jawa Timur.
Pergerakan hewan, terlebih menjelang Idul Adha, coba dibatasi di berbagai daerah di Indonesia, terutama yang terdapat wabah. Sayangnya, berbagai kebijakan yang diambil belum terimplementasi dengan optimal. Nyatanya, penularan PMK telah menyebar dengan cepat, dari yang sebelumnya hanya dua provinsi kini sedikitnya sudah ditemukan di 17 provinsi.
Seperti diberitakan Kompas, di Jawa Barat, per Rabu (1/6/2022), sedikitnya 4.100 sapi potong, perah, serta domba dan kambing tertular dan telah ditemukan di 20 kabupaten/kota. Produksi susu sapi anjlok 10-90 persen. Di Kabupaten Aceh Besar, Aceh, lebih kurang 50 sapi per hari dilaporkan terinfeksi PMK. Provinsi itu kewalahan menghadapi masifnya penyebaran.
Kematian hewan ternak setelah terinfeksi PMK pun mulai muncul di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang, Sumatera Utara. Kondisi kian mengkhawatirkan karena banyak daerah kehabisan obat-obatan sehingga mengandalkan swadaya dari peternak.
Otonomi daerah
Menurut Dosen Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis IPB University Denny Widaya Lukman, pemerintah, di berbagai tingkatan sebenarnya cukup cepat merespons PMK. Namun, tampak kurang koordinasi, terutama di awal-awal ditemukannya PMK. Seharusnya, dalam penanganan penyakit seperti PMK, ada satu komando dari pusat ke daerah.
Tidak dipungkiri, otonomi daerah memegang peranan. Menurut perundangan, masalah kesehatan hewan tidak menjadi program wajib sebagaimana halnya kesehatan manusia, melainkan program pilihan. Dampaknya, anggaran khusus untuk kesehatan hewan, begitu juga terkait sumber daya manusia, begitu minim.
Persoalan koordinasi dan keterbatasan dana pemerintah daerah ini juga mengemuka dalam rapat kerja Kementan dengan Komisi IV DPR, Kamis (2/6/2022). Dalam rapat itu diusulkan agar berbagai surat edaran terkait penanganan dan pengendalian PMK ditujukan kepada kepala daerah langsung, bukan kepala dinas. Jika tidak demikian, dana dipastikan kurang dan penangggulangan PMK tak optimal.
Ke depan, perihal kesehatan hewan perlu mendapat perhatian lebih serius. Menurut Denny, memang tidak semua daerah ada peternakan. Kota-kota besar, misalnya, relatif tak ada peternakan. Namun, khusus kesehatan hewan, perhatian sangatlah dibutuhkan di setiap daerah. Tak hanya terkait penyakit, tetapi juga kepastian produk-produk hewan seperti daging, susu, telur, aman dikonsumsi masyarakat.
Lantaran bukan penyakit zoonosis, PMK memang tak berdampak pada kesehatan manusia. Namun, dengan penyebaran yang sudah terbukti cepat, sudah seharusnya penanganan dan pengendalian PMK lebih serius. Tak hanya bertumpu di Kementan, tetapi juga keterlibatan kementerian/lembaga lain. Selayaknya penanganan Covid-19, progres penanganan PMK semestinya disampaikan secara harian kepada publik agar kewaspadaan terbangun.
Menggugah kewaspadaan tidak berarti membuat panik. Justru fenomena gunung es yang perlu diwaspadai mengingat penyebaran PMK sangatlah cepat, dengan dampak ekonomi yang hebat, terutama bagi para peternak. Apabila semakin meluas, PMK juga dapat mengancam perdagangan, bahkan non-peternakan seperti pariwisata.
Dikutip dari news.com.au, analis Global AgriTrends Simon Quilty menilai, Australia perlu mulai serius mempertimbangkan pelarangan warganya untuk pergi ke Bali, mengingat PMK tengah mewabah di Indonesia. Pasalnya, virus bisa menempel di pakaian dan sepatu. Adapun Australia merupakan negara berstatus bebas PMK tanpa vaksinasi. Dampak hebat akan dirasakan jika PMK masuk.
Melihat potensi dampak yang dapat ditimbulkan, sudah seharusnya penanganan PMK dilakukan lebih serius serta terkoordinasi, seraya menanti vaksin yang juga tengah dipersiapkan Kementan. Tentu butuh dukungan semua pihak, elemen, hingga kementerian/lembaga untuk mewujudkan itu. Penanganan wabah Covid-19 banyak memberi pelajaran penting. Mitigasi perlu disiapkan sedini mungkin.