Sapi Kami Tak Lagi Kuat Berdiri di Antara Tumpukan Jerami
Sapi-sapi yang tidak lagi kuat berdiri akibat penyakit kuku dan mulut seperti mewakili wajah muram peternaknya. Bila terus terjadi, gizi dan masa depan kesehatan anak bangsa bisa terancam.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·6 menit baca
Endar Sunandar (31) berjalan menuju kandang sapi di Kelurahan Cipari, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Rabu (15/6/2022) sekitar pukul 05.00. Semangatnya untuk memerah susu seketika luntur saat melihat seekor sapinya tidak berdaya karena penyakit mulut dan kuku. Seperti banyak wajah muram peternak sapi lainnya di Indonesia saat ini, masa depan Endar berpotensi buram dan tidak pasti.
Ia lalu mengelus tubuh sapi yang berwarna hitam putih itu. “Biasanya, kalau diraba, sapinya langsung bangun. Tapi, ini diam saja. Pas saya lihat, sapinya udah enggak napas dan bergerak. Saya langsung lemas,” ucap Endar sembari mencari bantuan tenaga untuk mengubur sapi itu.
Sapi berusia lima tahun dengan berat daging sekitar 2,4 kuintal itu mati setelah terpapar penyakit mulut dan kuku (PMK) sepekan terakhir. Mulutnya berbusa dan luka. Sapi betina itu enggan makan sehingga lemas. Ada juga borok di kuku kakinya yang menyulitkannya berdiri.
Endar telah berupaya mengobati sapinya. Mulai menyuntikkan obat-obatan dari koperasi dan pusat kesehatan hewan hingga membuat jamu turun temurun untuk meningkatkan nafsu makan sapi. Jamu itu berisi bawang putih, telur, hingga gula. Seekor sapi saja membutuhkan 10 telur.
Sayangnya, berbagai cara itu tak mampu menyelamatkan sapinya. Bahkan, tumpukan jerami dalam bak mobil terpaksa dibuang karena tak disantap. “Sampai sekarang dua induk sapi dan satu pedet saya mati. Dari sini saja kerugiannya sudah lebih Rp 50 juta,” kata bapak dua anak ini.
Jumlah tersebut belum termasuk susu segar dari sapi yang terdampak PMK. Dalam kondisi normal, ia bisa memanen lebih dari 300 liter susu per hari dari 33 sapi. Namun, kini hanya 70an liter susu. Dengan harga Rp 6.300 per liter, Endar kehilangan cuan sekitar Rp 1,5 juta per hari.
Dari 65 sapi yang ada di kandang milik keluarganya, sebanyak 16 ekor terpapar PMK. Produksi susu anjlok karena sapi enggan makan. Jangankan untuk diperah susunya, berdiri saja sukar bagi sapi yang terinfeksi. Sebagian sapinya juga hanya duduk dan tertidur lemas.
Beberapa sapi bahkan terpaksa dijual murah sekitar Rp 8 – Rp 10 juta atau anjlok dibandingkan harga ideal sekitar Rp 18 juta per ekor. Peternak terdesak melego sapinya untuk dipotong sebelum mati. “Kemarin ada 7 ekor sapi di Cipari yang dijual. Lebih baik cari aman,” ucapnya.
Angka kemiskinan dan kriminalitas dikhawatikan meningkat karena mata pencarian mendadak hilang, dan sebagian peternak tidak memiliki alternatif pemasukan ( Ahmad Baehaqi Al Abrori)
Hingga Selasa (14/6), sebanyak 1.615 sapi perah di Cigugur terkena PMK. Sebanyak 247 ekor di antaranya sembuh, 74 ekor afkir, dan 51 ekor mati. Sebagian besar sapi yang mati merupakan pedet. Produksi susu dari sekitar 7.000 sapi pun diperkirakan menurun dari 25.000 liter menjadi 23.000 liter sehari.
“Dua tahun ke depan, nasib sapi perah di Cigugur suram. Produksi susunya berkurang dan pedet yang harusnya menggantikan induknya malah mati,” ujar John Nais, Koordinator Lapangan Unit Respons Cepat PMK Koperasi Serba Usaha Karya Nugraha Jaya. Koperasi itu membawahkan sekitar 1.000 peternak.
Menurut John, kondisi kandang yang berdekatan di Cigugur mempercepat penularan PMK. Bahkan, ada satu kandang sapi yang pemiliknya dua peternak. Tempat karantina juga tiada. Akhirnya, penyakit yang menular lewat udara itu cepat menyebar ke ternak.
Peternak di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, juga limbung akibat PMK. Jumat (10/6) malam, Dadang Sopari (54), menatap nanar sapinya yang hanya berbaring setelah terpapar PMK sepekan terakhir. Sapinya tak lagi mengeluarkan susu.
“Kalau sapinya tidak bisa berdiri, saya tidak bisa ambil susunya. Mau tidak mau sapi ini dipotong saja daripada mati sia-sia,” ujarnya. Keresahan Dadang semakin berat karena keempat sapi miliknya juga mengalami penyakit serupa. Produksi susu sapinya anjlok sampai 90 persen.
“Dari empat sapi, tiga sudah produktif, satu pedet. Setiap hari bisa dapat 45 liter. Yang sakit ini bisa dapat 20 liter sehari. Sudah seminggu semenjak mereka sakit, saya dapat dua liter dari satu sapi saja sudah syukur,” ujarnya.
Ia terpaksa menjual sapi perahnya untuk dipotong meskipun harganya jauh lebih murah dari harga ideal, yakni Rp 22 juta per ekor atau Rp 70.000 per kilogram untuk daging sapi. Transaksi dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH) Cikartani Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara.
“Kalau sudah kena PMK, nafsu makan turun drastis. Itu bisa mengurangi bobot dagingnya. Ini yang membuat peternak khawatir karena kalau dijual harganya pasti jatuh,” ujar Yaya Mulyana (39), mantri dari RPH yang meninjau sapi milik Dadang. Sapi-sapi berbobot sekitar 300 kilogram di RPH sukar berdiri.
Jumat lalu, Yaya memeriksa hingga 13 sapi perah yang akan dipotong. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan pekan sebelumnya atau rata rata lima ekor sapi perah per hari. “Para peternak sudah putus asa. Mereka takut semakin rugi kalau sapinya kurus atau mati,” katanya.
Tidak hanya peternak, para pedagang daging sapi pun dilema. PMK membuat penjualan mereka anjlok hampir dua kali lipat sementara mereka harus menampung daging dari peternak sapi perah terus bertambah. Padahal, kondisi sapi kurus, kulit membalut tulang di beberapa bagian.
“Kalau seperti ini, saya hanya dapat 30 persen daging. Padahal, paling sedikit itu 50 persen daging per sapi. Bahkan kalau sapi potong, itu bisa dapat 70 persen daging,” ungkap Gery (39), penjual daging di Pasar Ciroyom, Kota Bandung.
Penjualan daging sapi juga turun drastis. Ia menduga masyarakat khawatir memakan daging sapi karena wabah PMK. Biasanya, ia bisa menjual daging dari tiga ekor sapi sehari. Sekarang, menjual dua sapi saja sehari ia sudah kepayahan. Bahkan, pernah dalam sehari satu sapi tak habis.
Alih-alih berakhir, ancaman PMK masih berlanjut. Penyebarannya melalui udara turut mengancam lebih dari 20.000 sapi di bawah naungan KPSBU Lembang. Berdasarkan data Kementerian Pertanian melalui laman siagapmk.id, jumlah sapi yang terpapar di Jabar hingga Kamis (16/6/2022), mencapai 14.691 ekor. Jabar menempati posisi kelima jumlah kasus terbanyak di Indonesia.
Melihat kondisi tersebut, Ketua Pimpinan Daerah Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Jabar Ahmad Baehaqi Al Abrori menilai, wabah PMK dapat memicu kemiskinan baru. “Angka kemiskinan dan kriminalitas dikhawatikan meningkat karena mata pencarian mendadak hilang, dan sebagian peternak tidak memiliki alternatif pemasukan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Baehaqi meminta pemerintah untuk segera melaksanakan vaksinasi bagi sapi-sapi yang belum terdampak. Hal ini menjadi bentuk perlindungan agar bisa menahan laju penyebaran virus yang sangat cepat.
“Kami juga meminta skala prioritas vaksin untuk peternak. Selain itu, relaksasi pinjaman ternak juga diperlukan untuk mengantisipasi persoalan sosial di masyarakat,” katanya. Baehaqi juga memastikan, daging dan susu sapi yang terpapar PMK aman untuk dikonsumsi selama pengolahannya sesuai.
Junen, Sekretaris KSU Karya Nugraha Jaya, mengatakan, sudah saatnya pemerintah dan masyarakat mendukung peternak sapi perah. Apalagi, selama ini, peternak sapi perah turut memenuhi gizi warga.
“Susu sapi di dalam negeri baru bisa memenuhi sekitar 20 persen kebutuhan susu nasional. Ayo selamatkan peternak,” ungkapnya. Jangan sampai, nasib sapi lantas sama seperti ungkapan tikus mati di lumbung padi.