Wabah PMK berpotensi mengakibatkan kerugian nasional sangat besar. Ombudsman RI harus melakukan evaluasi terhadap kebijakan pemerintah. Perlu moratorium kebijakan impor daging dari negara-negara yang belum bebas PMK.
Oleh
ROCHADI TAWAF
·4 menit baca
Indonesia sebagai negara yang mengonsumsi daging sapi sekitar 706.388 ton pada 2022 diprediksi hanya mampu memproduksi daging sekitar 436.704 ton.
Selama ini, permintaannya tumbuh sekitar 6,4 persen per tahun, jauh lebih tinggi daripada kemampuan produksinya yang hanya tumbuh 1,3 persen per tahun. Kekurangannya didatangkan melalui impor. Kondisi inilah yang menjadikan negeri ini pasar daging yang menggiurkan bagi negara-negara produsen daging sapi dunia.
India sebagai salah satu negara eksportir daging sapi dan kerbau terbesar di dunia sangat berkepentingan dengan besarnya pasar daging Indonesia. Namun, sayangnya, India hingga kini belum bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK). Keinginan para pedagang dari India untuk memasarkan daging ke Indonesia dimulai sejak Indonesia dinyatakan bebas dari PMK tanpa vaksinasi oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada tahun 1990.
Sejak itu, mulai marak daging selundupan yang berasal dari India melalui pintu masuk di perbatasan negara, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. India sebagai negara yang sebagian besar rakyatnya tidak memakan daging sapi memiliki keunggulan komparatif di mana harga daging relatif jauh lebih murah dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Selisih harga yang cukup signifikan inilah yang menarik para pedagang untuk menguasai pangsa pasar daging di negeri ini. Berbagai upaya ditempuh oleh para pedagang yang ingin memasukkan dagingnya ke Indonesia. Manuver yang ditempuh, antara lain, adalah mengembuskan isu ke permukaan, terutama mengenai selisih harga, monopoli, harga daging mahal, sampai konsep perdagangan imbal beli.
Manuver ini mulai menampakkan hasilnya dengan munculnya opini mengenai monopoli impor daging sapi di Indonesia sekitar awal tahun 2000-an.
Berbagai upaya ditempuh oleh para pedagang yang ingin memasukkan dagingnya ke Indonesia.
Sejak opini ini muncul, mulailah manuver berikutnya, yakni untuk membuka proteksi maksimum sekuriti dalam rangka perlindungan dari serangan penyakit PMK, dengan mengubah Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), dari UU No 6 Tahun 1967 menjadi UU No 18 Tahun 2009. Dalam perubahan UU ini jelas-jelas pemerintah bersama DPR menghendaki proteksi terhadap penyakit di Indonesia, tak lagi berbasis negara, tetapi berbasis zona, dengan alasan Indonesia negara kepulauan.
Selain itu, mencuat isu dominasi perdagangan daging yang hanya berasal dari satu negara (monopoli), yang kesemuanya diramu menjadi seolah penyebab mahalnya harga daging adalah lantaran hal tersebut. Frasa ini telah ditentang oleh masyarakat peternak dan para tokoh senior dokter hewan, termasuk mantan dirjen PKH, yang sangat menyadari bahwa negeri ini tidak memiliki sarana untuk melindungi diri terhadap kemungkinan serangan penyakit hewan menular strategis, seperti PMK.
Silang pendapat pun terjadi pada saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) di DPR. Namun, sepertinya ada pemaksaan kehendak sehingga frasa tersebut tetap tercantum dalam perubahan UU PKH No 18 Tahun 2009. Silang pendapat ini pun berakhir dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusan Nomor 137/PUU-VII/2009 yang mengatur bahwa pemasukan ternak dan produk ternak tetap menganut basis negara, bukan wilayah (zona).
Namun, tak selang berapa lama, pada 2014, kembali terjadi perubahan terhadap UU No 18/2009 yang mencantumkan kembali frasa bahwa pemasukan ternak dan produk ternak adalah berbasis zona. Pada kasus yang kedua, dilakukan gugatan kembali ke MK oleh sebagian masyarakat peternak. Dari gugatan ini, keluar putusan MK No 129/PUU/ XIII/2015 yang menyebutkan impor ternak dan produk ternak boleh dilakukan dari negara berbasis zona.
Produk hukum inilah yang menurunkan kebijakan operasional berupa Peraturan Pemerintah (PP) No 4 Tahun 2016, Peraturan Menteri No 17/Permentan/ PK.450/5/2016, dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 2556/2016 yang membolehkan masuknya daging India.
Berdasarkan hal tersebut, masyarakat peternak melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA) atas diterbitkannya PP No 4 Tahun 2016. Pasalnya, India negara yang belum bebas PMK dan tak memiliki zona. Namun, lagi-lagi putusan MA No 27/P/HUM/ 2018 tetap memberlakukan PP No 4 Tahun 2014. Sejak kebijakan ini diundangkan, impor daging sapi asal India menjadi legal, yakni sejak Juni 2016.
Hal yang paling dikhawatirkan—dan memicu penolakan terhadap kebijakan impor daging dari negara-negara yang belum bebas PMK— telah menjadi kenyataan.
Moratorium impor
Semua, fenomena yang terjadi ini, merupakan jurus jungkir baliknya Presiden Jokowi untuk menurunkan harga daging sapi. Namun, faktanya, harga daging yang ditargetkan Rp 80.000 per kilogram tidak pernah menjadi kenyataan. Bahkan, di pasar konsumen, daging India ini naik harganya, sama dengan harga daging lokal.
Fakta yang sangat memprihatinkan adalah merebaknya wabah PMK di Jawa Timur saat ini. Hal yang paling dikhawatirkan—dan memicu penolakan terhadap kebijakan impor daging dari negara-negara yang belum bebas PMK— telah menjadi kenyataan.
PMK ini mengakibatkan kerugian nasional yang luar biasa besar, tak kurang dari Rp 15,5 triliun (Sudardjat, 2015), belum termasuk dampak kerugian di sektor ekonomi lain, seperti pariwisata, ekspor komoditas pertanian, penurunan populasi ternak, dan terdampaknya pangan yang berasal dari daging sapi.
Atas kejadian ini, Ombudsman RI harus melakukan evaluasi terhadap kecerobohan kebijakan yang sudah dilakukan pemerintah. Selain itu, sebaiknya pemerintah melakukan moratorium terhadap kebijakan impor daging dari negara-negara yang belum bebas PMK serta melakukan rekonstruksi terhadap pembangunan peternakan dan kesehatan veteriner. Semoga.
Rochadi Tawaf Dewan Pakar PB Perkumpulan Insinyur dan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI); Penasihat PP Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia