Kasus Naik 50 Persen, Lebih dari 7.500 Ekor Ternak di Kabupaten Malang Terpapar PMK
Semakin banyak peternak di Kabupaten Malang yang melaporkan ternaknya terpapar PMK. Sejauh ini, langkah pencegahan tidak membuat petani tenang dengan masa depan mereka.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Jumlah ternak yang dilaporkan terpapar penyakit mulut dan kuku di Kabupaten Malang, Jawa Timur, meningkat hampir 50 persen dibandingkan pekan lalu. Ironisnya, pencegahan penularan lewat suntikan antibiotik bagi sapi justru membuat susunya tidak bisa dikonsumsi.
Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kabupaten Malang per 14 Juni tercatat 7.557 sapi terserang penyakit kuku dan mulut (PMK) di 33 kecamatan. Sepekan sebelumnya, jumlah hewan ternak terserang baru mencapai lebih kurang 5.000 ekor di 24 kecamatan. Wilayah dengan serangan PMK terbanyak masih di sentra sapi perah, seperti Kecamatan Ngantang, Pujon, dan Kecamatan Kasembon.
Pelaksana Tugas Kepala PKH Kabupaten Malang Nurcahyo, Kamis (16/6/2022), mengatakan, penambahan kasus disebabkan banyaknya peternak yang melaporkan kasus baru. Hal itu dipicu pengumpulan data di lapangan yang dilakukan petugas ke berbagai sentra ternak. Dari data yang dilaporkan, menurut Nurcahyo, lebih dari separuh kondisinya menuju pemulihan atau sembuh.
”Meski tingkat kesembuhannya lambat,” ujarnya. Untuk jumlah kematian ternak, pihaknya masih mengumpulkan data akurat.
Nurcahyo mengatakan, Pemerintah Kabupaten Malang masih berupaya menangani kasus ini, salah satunya wacana penggunaan dana desa. Pemkab Malang juga masih menunggu upaya penanganan dari pusat, terutama vaksinasi untuk ternak. ”Kasus PMK ini, baru (muncul kembali setelah lama hilang) sehingga kita tidak bisa langsung. Kita semua masih perlu waktu menanganinya,” ucapnya.
Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Sumber Makmur Ngantang Sugiono menyebut PMK masih mengancam. Di Ngantang, menurut dia, jumlah sapi yang terpapar 6.597 ekor dari populasi sapi yang tergabung di KUD mencapai 17.800 ekor. Akibat PMK, 390 ekor sembuh dan 44 ekor mati.
”Saat ini, semua dusun dan desa di Ngantang sudah terdampak PMK. Meski, dalam satu dusun ada 5-10 kandang yang tidak terkena PMK. Sedang dusun atau desa yang ternaknya 100 persen terdampak juga ada. Semua sapi yang terpapar PMK disuntik antibiotik,” katanya.
Dampak PMK sangat menyesakkan karena menurunkan produksi susu. Jika biasanya ada 104 ton susu yang masuk ke koperasi setiap hari, awal Juni volumenya anjlok menjadi 85 ton dan diperkirakan terus turun.
Tidak hanya itu, menurut Sugiono, jumlah susu yang harus dibuang koperasi juga bertambah. Alasannya, banyak sapi harus mendapatkan antibiotik. Padahal, susu tercampur kimia antibiotik tidak bisa dikirim ke pabrik karena tidak bisa dikonsumsi. Batas waktu ini berlaku 14 hari setelah sapi mendapatkan injeksi antibotik, tetapi hal ini juga kembali tergantung dengan kondisi sapi.
”Kini, setiap hari kami membuang 4,3 ton susu karena sapinya terkena antibiotika. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dari kondisi awal Juni yang hanya 2 ton per hari,” ucapnya.
Akan tetapi, dia mengatakan masih membeli susu dari peternak dengan harga normal Rp 6.000 per liter meski susu mengandung antibiotika. Dia tidak bisa memprediksi sampai kapan kebijakan ini akan diterapkan.