Eks Bupati Bener Meriah Tersangka Penjualan Kulit Harimau
Ahmadi, bekas Bupati Bener Meriah, Aceh, kembali ditangkap polisi. Setelah sebelumnya terkait kasus dana otsus, dia sekarang terjerat jual beli satwa dilindungi.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Bekas Bupati Bener Meriah Ahmadi dan dua pelaku lainnya akhirnya ditetapkan menjadi tersangka kasus perdagangan kulit dan tulang belulang harimau, Jumat (3/6/2022). Penetapan itu menunjukkan komitmen negara terhadap penegakan hukum kasus satwa lindung.
Sebelum ditangkap, Ahmadi baru keluar dari penjara beberapa bulan lalu. Dia tersandung kasus suap dana otonomi khusus dan dihukum empat tahun penjara. Dua tersangka lainnya adalah Supriadi (44) dan Iskandar (48). Supriadi merupakan kakak kandung Ahmadi.
Dalam konferensi pers di Polda Aceh, Banda Aceh, ketiga tersangka dihadirkan. Mereka mengenakan rompi oranye. Ahmadi menggunakan topi dan nyaris tidak melihat kepada jurnalis. Barang bukti yang disita berupa satu helai kulit harimau dan satu paket tulang belulang. Dari tulang belulang itu tercium bau asap. Tulang itu sengaja diasapi agar para pelaku bisa memisahkannya dengan daging secara utuh.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani menuturkan, semua pelaku perdagangan satwa lindung harus ditindak tegas tanpa tebang pilih. Bahkan, pelaku kejahatan yang melibatkan satwa kunci, seperti harimau sumatera, harus dihukum berat.
”Kami tidak memandang siapa pelakunya. Di mata hukum, semua pelaku harus ditindak,” kata Rasio.
Sebelumnya, Ahmadi dan Supriadi ditangkap Selasa (24/5/2022) dini hari dalam operasi tangkap tangan di sebuah pom bensin di Kecamatan Bandar, Bener Meriah. Dari keduanya disita barang bukti satu helai kulit harimau dan satu paket tulang belulang. Saat itu, Iskandar berhasil kabur dan baru menyerahkan diri pada 29 Mei 2022.
Seusai ditangkap, Ahmadi dan Supriadi dibawa ke Kantor Gakkum dan Polda Aceh di Banda Aceh. Tangan mereka diborgol. Namun, keduanya kemudian sempat diizinkan pulang dan hanya dijadikan saksi wajib lapor.
Para pegiat lingkungan sempat menilai pelepasan Ahmadi dan Supriadi bertentangan dengan KUHAP. Pasal 1 Angka 19 KUHAP menyebutkan, seseorang yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana cukup syarat menjadi tersangka.
”Penetapan tersangka harus dilakukan dengan cermat. Para pelaku baru ditetapkan sebagai tersangka setelah Iskandar menyerahkan diri,” kata Rasio.
Kepala Balai Gakkum Wilayah Sumatera Subhan mengatakan, alasan Ahmadi dan Supriadi tidak langsung ditetapkan sebagai tersangka kala itu karena tidak cukup kuat bukti. ”Iskandar pelaku utama. Setelah dia menyerahkan diri, baru kami tetapkan semua sebagai tersangka,” kata Subhan.
Subhan menambahkan, untuk mengetahui jaringan perdagangan, penyidik akan memeriksa tersangka lebih dalam. Subhan belum bersedia menyebutkan peran para tersangka dalam kasus itu.
Pakar satwa lindung dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, drh Taing Lubis, mengatakan, jenis kelamin harimau malang itu jantan berusia 12 tahun. Harimau itu dibunuh dengan cara dijerat. Ada bekas jeratan di kulit kaki bagian belakang. ”Ini tulang belulangnya utuh dari ekor. Namun, giginya tidak ada,” kata Taing.
Harimau sumatera termasuk satwa yang paling banyak diburu. Padahal, populasi di alam diperkirakan tersisa 600 ekor. Sebanyak 200 ekor di antaranya berada di Aceh. Satwa itu diburu untuk diperjualbelikan. Dalam beberapa kasus, harimau malang itu lantas diawetkan.
Manajer Program Lembaga Suar Galang Keadilan Missi Muizzan mengatakan, kasus perdagangan harimau yang melibatkan tokoh publik menunjukkan bisnis gelap ini sangat serius. Missi berharap kasus Ahmadi menjadi pintu masuk bagi penyidik untuk membongkar jaringan perdagangan satwa lindung.
”Kami apresiasi, gakkum berani menangkap pemain besar. Namun, jangan hanya berhenti pada mereka, harus dibongkar jaringan perdagangannya,” kata Missi.