Satwa Lindung yang Belum Terlindungi di Aceh
Satwa lindung di Provinsi Aceh masih saja terancam. Mereka diburu untuk perdagangkan dan diracun karena dianggap hama atau komoditas. Statusnya satwa lindung, namun perlindungan yang diberikan masih lemah.

Sebanyak 71 paruh burung rangkong diperlihatkan dalam konferensi pers di Markas Polda Aceh di Banda Aceh, Selasa (10/11/2020). Dalam kasus tersebut polisi menyita 71 paruh burung rangkong, 28 kilogram sisik trenggiling, satu helai kulit harimau, dan tulang belulang harimau. Perdagangan satwa lindung masih marak sehingga semakin mengancam keberlangsungan hidup satwa.
Gajah, harimau, orangutan, trenggiling, dan rangkong merupakan satwa lindung yang paling banyak diburu. Organ satwa lindung dari Aceh dipasok ke pasar gelap di dalam dan luar negeri. Sebagian dijadikan perhiasan, sarana ritual, obat-obatan, hingga sebagai keyakinan untuk menghadirkan kekuatan mistis.
Penemuan satu gajah tanpa kepala di dalam area perkebunan sawit milik perusahaan di Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur, pada Juli 2021 menambahkan daftar panjang kematian gajah.
Gajah jantan dibunuh secara sadis. Setelah diberi makan buah kweni yang dilumuri racun pestisida, kepala gajah dipotong dengan kapak. Sepasang gading dijual kepada penampung yang berakhir kepada pengrajin aksesoris di Jawa Barat.
Dalam fakta-fakta persidangan, cerita perdagangan gading itu dimulai dari Jainal (34), warga Aceh Timur. Dia adalah pelaku utama pembunuh gajah.
Baca juga : Upaya Penyelundupan Bagian Tubuh Satwa Lindung dari Aceh ke China Digagalkan
Dalam salinan putusan pengadilan terungkap betapa mudah Jainal memburu gajah. Sebagai warga lokal, ia tahu betul jalur jelajah gajah di areal kebun sawit PT Bumi Flora.
Pada Sabtu (10/7/2021) sore, Jainal bersama Ishak, kini masih buronan, mencari kawanan gajah di dalam perkebunan sawit perusahaan. Setelah menemukan kelompok gajah, mereka meletakkan beberapa buah kweni di jalur gajah.
Pada pukul 20.00, mereka menyusuri jalur gajah untuk memastikan hasil racun. Ternyata, satu gajah jantan tergeletak di tengah jalan kebun. Oleh karena posisi gajah berada di jalan, malam itu juga mereka memotong kepalanya demi mengambil gadingnya.

Area hak guna usaha perkebunan sawit PT Bumi Flora, Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, direkam pada Desember 2021. Pada jalur dekat kubangan tersebut seekor gajah mati karena diracun oleh jaringan pemburu satwa lindung, pada Juli 2021. Sepasang gading dijual kepada pengrajin di Jawa Barat.
Pada Minggu, 11 Juli 2021, warga menemukan bangkai gajah tanpa kepala. Polisi melakukan penyelidikan dan tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh melakukan nekropsi. Dalam perut gajah ditemukan plastik bungkusan racun yang ditaruh Jainal pada buah kweni.
Baca juga : Terdakwa Penjual Satwa Divonis, Petugas Sulit Membongkar Jaringan
Dalam kasus itu, Jainal menjual sepasang gading kepada Edi Murdani (42), warga Pidie Jaya, dengan harga Rp 10 juta. Murdani menjual kembali kepada Sony (36), warga Bogor dengan harga Rp 24 juta. Gading gajah dikirim melalui jasa pengiriman paket. Penadah yang meraup untung besar besar.
Dari Sony, gading itu kembali berpindah tangan kepada Jefry dengan harga Rp 24,5 juta. Jefry berperan sebagai penampung menjual lagi kepada Rinaldy (46), perajin dengan harga Rp 30 juta. Gading itu lalu dijadikan pipa rokok, liontin, gagang badik, dan sarung keris.
Pada 17 Agustus 2021, polisi meringkus Jainal dan empat tersangka lain sebagai pembeli, sedangkan Ishak masih buronan.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Idi menjatuhkan vonis terhadap Jainal dan Edi Murdani pidana penjara selama 3,5 tahun. Sementara, Jefry, Sony, dan Rinaldi divonis masing-masing 3 tahun penjara.
Semua vonis di bawah tuntutan jaksa, 4,5 tahun penjara. Meski demikian, jaksa penuntut umum tidak melakukan banding.
Adapun ancaman maksimal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, lima tahun penjara.
Sebagian aktivis konservasi memandang UU tersebut harus direvisi karena tidak kontekstual dengan kondisi sekarang. Satwa semakin terancam, namun ancaman sanksi tidak bertambah.


Tengkorak gajah sumatera dan tulang belulang barang bukti perburuan gajah di Aceh Jaya saat dirilis perkara oleh Kepolisian Resor Aceh Jaya, September 2021. Sebanyak 11 orang ditetapkan sebagai tersangka.
Saksi Ahli Satwa Lindung dari Balai Konservasi Sumber Daya (BKSDA) Aceh, Taing Lubis, dalam dialog "Poh Cakra, Hari Satwa Liar Sedunia", 3 Maret 2022, menuturkan, nilai rupiah dalam perdagangan bagian tubuh satwa cukup besar.
"Bisa mencapai puluhan juta hingga ratusan juta. Satwa lindung Aceh dijual hingga ke luar negeri," kata Taing.
Baca juga : Tulang Belulang Gajah Pun Kini Diperjualbelikan
Apa yang disampaikan Taing terkonfirmasi dalam kasus perdagangan paruh rangkong, kulit harimau, dan sisik trenggiling, dengan pelaku Deni Azan (47), warga Kabupaten Bener Meriah, Aceh.
Deni ditangkap oleh petugas gabungan pada 3 November 2020 di Kota Takengon, Aceh Tengah. Di dalam mobil Deni, petugas menemukan 71 paruh rangkong, satu kulit dan tulang harimau, serta 28 kilogram sisik trenggiling.
Dalam persidangan Deni menuturkan paruh rangkong itu dibeli dengan harga Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per buah. Kulit harimau dan tulang dibeli Rp 20 juta, sedangkan sisik trenggiling dibeli Rp 700.000 hingga Rp 1 juta per kilogram.
Dalam konferensi pers di Markas Polda Aceh, Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sustyo Iriono menyatakan, bagian tubuh satwa itu akan dikirim ke China sebagai bahan campuran narkotika dan hiasan. Akan tetapi dalam pemeriksaan Deni mengaku tidak mengenal warga yang menjual bagian tubuh itu kepada dirinya dan merahasiakan siapa pemesannya.

Dalam salinan putusan, Deni disebutkan akan menjual paruh rangkong itu dengan harga sekitar Rp 455 juta, kulit dan tulang harimau dengan harga Rp 50 juta, sedang sisik trenggiling dengan harga Rp 56 juta.
Dalam kasus itu Deni menjadi tersangka tunggal. Polisi tidak dapat membongkar siapa pemasok barang dan siapa pemesan. Deni dituntut 1,5 tahun penjara, namun divonis penjara 1 tahun 3 bulan.
Baca juga : Terdakwa Kasus Kematian Lima Gajah di Aceh Jaya Divonis 10 hingga 40 Bulan Penjara
Program Manager Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK) Missi Muizzan berpendapat vonis bagi Deni tergolong ringan jika dilihat satwa yang diperdagangkan. "Dalam kasus ini seharusnya aparat hukum dapat mengungkap sindikat perdagangan. Jangan berhenti pada Deni saja," kata Missi.

Barangbukti bagian tubuh satwa lindung disita oleh Polisi Resor Gayo Lues, Aceh, Rabu (3/3/2021) dari dua tersangka penjualan satwa lindung
Penyidik Direktorat Kriminal Khusus Polda Aceh, Inspektur Dua (Ipda) Suheri dan Komandan Pos Aceh Balai Gakkum LHK, Juni menuturkan, tidak mudah membongkar jaringan perdagangan satwa lindung. Jaringan terorganisir dengan rapi.
"Pelaku tutup mulut, tidak mau membongkar siapa orang-orang di baliknya," ujar Suheri.
Dalam kasus perdagangan paruh rangkong, penyidik tidak mampu membuat Deni membuka jaringan perdagangan. "Dulu (pemeriksaan) bisa dipaksa, sekarang tidak bisa karena melanggar HAM," kata Suheri.
Ritual hingga mistis
Organ satwa dari Aceh dipasok hingga ke luar negeri. Benda-benda itu dipakai untuk ritual, bahan obat, bahan narkoba, hingga kepercayaan mistis.
Taing Lubis mengatakan paruh rangkong banyak dipakai alat dalam ritual keyakinan tertentu. "Ada juga gading gajah dibuat menjadi patung," ujar Taing.
Baca juga : ”Inong”, Potret Pilu Anak Gajah Sumatera yang Terjebak di Kubangan
Taing menambahkan sebagian orang masih percaya memiliki bagian tubuh satwa liar dapat memberikan kekuatan supranatural. Meski berbau mistis, tidak sedikit orang mempercayai hal itu.

Taing Lubis (baju putih), saksi ahli satwa lindung dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh saat memberikan penjelasan terkait kasus-kasus kejahatan terhadap satwa lindung di Aceh, dalam diskusi membedah kasus satwa, Selasa (16/3/2022), di Banda Aceh.
Mereka yang mempercayai termasuk kalangan elit dan pejabat. Tidak sedikit pejabat yang menyimpan bagian tubuh harimau yang diawetkan hingga tandu rusa di rumahnya. "Orang-orang menganggap memiliki bagian tubuh satwa sebagai simbul kebesaran. Ada sugesti merasa lebih hebat," kata Taing.
Akibatnya, perburuan satwa lindung di Aceh masih masif. Kini, perburuan kian mudah karena satwa-satwa lindung sebagian tidak berada di dalam kawasan lindung. Kerusakan hutan membuat habitat satwa terganggu.
Catatan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh sepanjang 2020-2021, penegak hukum menangani 18 perkara kejahatan terhadap satwa lindung. Jumlah tersangka ada 42 orang, namun sebanyak 9 orang masih buronan. Kajian yang dilakukan FJL, sebagian besar putusan hakim masih di bawah tuntutan jaksa.
Sebanyak lima kasus kematian satwa lindung di Aceh hingga kini proses hukum berjalan di tempat. Kelima kasus tersebut meliputi kematian orangutan di Aceh Selatan, dua kasus kematian harimau di Aceh Selatan, kematian gajah di Pidie, dan kematian anak gajah di Aceh Jaya.

Para pengunjung Conservation Respon Unit (CRU) Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh, memberikan makanan untuk gajah jinak, Kamis (3/3/2022). CRU tersebut merupakan pusat mitigasi konflik gajah dan objek wisata alam.
Program Manager Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK) Missi Muizzan mendorong kepolisian untuk menuntaskan proses hukum kasus tersebut.
"Kami menemukan ada unsur pidana dalam beberapa kasus itu. Proses hukum tidak boleh berhenti," ujar Missi.
Perdagangan bagian tubuh satwa lindung menjadi ancaman besar terhadap keberlangsungan hidup mereka. Jika tidak ada upaya perlindungan yang kuat, suatu saat satwa-satwa itu tinggal cerita.