Cegah Penurunan Produktivitas hingga Jaga Plasma Nutfah Indonesia
Penyakit mulut dan kuku masih mengancam Jawa Barat. Meski bukan produsen utama sapi potong Nusantara, kondisi ini rentan memengaruhi ketersediaan daging saat Idul Adha, susu, hingga eksistensi plasma nutfah di Jabar.
Oleh
CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
·6 menit baca
Penyakit mulut dan kuku masih mengancam Jawa Barat. Meski bukan produsen utama sapi potong Nusantara, kondisi ini rentan memengaruhi ketersediaan daging saat Idul Adha, susu, hingga eksistensi plasma nutfah Indonesia.
Dalam pertemuan dengan sejumlah pihak dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat serta sejumlah asosiasi terkait hewan ternak di Kota Bandung, Jabar, Jumat (27/5/2022), Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Dedi Setiadi ketitipan pesan dari banyak peternak sapi perah di Jabar. Peternak khawatir produksi susu bakal terimbas penyakit mulut dan kuku (PMK) apabila belum ada solusi ideal.
”Penyakit ini memengaruhi produksi susu harian,” kata Dedi.
Saat ini, GKSI membawahkan 16 koperasi susu. Anggotanya 22.000 peternak yang memiliki lebih kurang 76.000 sapi. Dengan jumlah sebesar itu, produksi susu sapi mencapai 450.000 liter per hari.
Saat ini, kata Dedi, sudah ada peternak menderita penurunan hasil perahan. Jika sebelumnya dari 4-5 sapi bisa didapatkan 80 liter susu per hari, sekarang hanya didapat 15 liter per hari akibat PMK.
Dedi mengatakan, kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Dibutuhkan cara tepat agar dampaknya tidak merugikan.
”Berdasarkan pembicaraan dengan industri pengolahan susu, jalan terbaik adalah vaksinasi. Dananya bisa kami siapkan,” katanya.
Meski begitu, bukan hal mudah mewujudkannya. Dedi menyebut, dibutuhkan dukungan besar dari pemerintah. Alasannya, diperlukan izin dari negara untuk mengimpor vaksin itu.
Sembari menanti vaksinasi, Dedi mengatakan, pihaknya tidak tinggal diam. Sejumlah prosedur standar operasi dibuat.
Peternak, katanya, wajib melapor kepada petugas kesehatan jika melihat gejala mirip PMK. Mulai dari mulut ternak berbusa, panas hingga 40 derajat celsius, lepuh di mulut dan kaki, hingga ternak sering berbaring. ”Di setiap koperasi, kini ada dokter hewan yang selalu siap kapan saja bertugas,” ujarnya.
Mitigasi lain dilakukan dengan rutin menyemprotkan asam sitrat di kandang. Hal ini dilakukan untuk mencegah penularan pada masa inkubasi PMK yang berkisar 1-14 hari.
Para petugas, mulai dari tenaga kesehatan hingga pengambil susu, juga harus menerapkan standar ketat. Dia mencontohkan, mereka harus rajin mengganti pakaian saat memeriksa atau mengambil susu.
”PMK tidak menular pada manusia. Namun, manusia rentan menjadi jembatan penularan, salah satunya lewat baju yang dikenakan. Mereka harus sering ganti baju saat bertugas agar penularan bisa dicegah,” kata Dedi.
Lalu lintas ternak
Hingga Sabtu (28/5/2022), Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Jabar menyebutkan, sebanyak 2.816 sapi perah, sapi potong, domba, dan kambing terpapar PMK. Sebanyak 193 ekor sembuh dan 33 ekor lainnya dipotong bersyarat.
Kasus pertama ditemukan di Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kota Banjar sejak awal Mei. Lebih kurang sebulan, PMK tersebar di 20 kota/kabupaten di Jabar.
Kepala Balai Veteriner Subang Sodirun mengklaim, pengawasan ternak sejauh ini tetap dilakukan. Lewat sistem informasi kesehatan hewan nasional, penanganan kasus dilakukan 24 jam setelah muncul laporan pertama.
Ke depan, dia juga berharap peran aktif masyarakat untuk mendeteksi gejala awal PMK. Pihaknya, kata Sodirun, memiliki tugas tidak ringan karena mengawasi hewan ternak di 41 kota/kabupaten di Jabar, DKI Jakarta, dan Banten.
”Penetapan PMK pada ternak harus melalui PCR. Alasannya, ada gejala penyakit ternak lain mirip PMK. Contohnya, lepuh pada kasus stomatitis di babi atau ephemeral pada sapi,” katanya.
Akan tetapi, dia menegaskan, laporan terkait hal ini bisa juga dilakukan dengan melihat gejala awal. Selain lepuh pada mulut dan kaki, di antara kuku dan kulit, sapi perah betina bisanya mengalami lepuh pada bagian ambing.
”Stamping out (pemusnahan) kini tengah diwacanakan akan digelar terbatas untuk mencegah penularan. Namun, penerapan biosekuriti tetap menjadi prioritas utama,” ujarnya.
Kepala Dinas Ketahahan Pangan dan Peternakan Jabar Mohamad Arifin Soedjayana, pada Minggu (29/5/2022), mengatakan, pihaknya tengah fokus mengawasi lalu lintas ternak. Dia menyebut, pengawasan hewan ternak dari luar Jawa relatif bisa dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok.
Akan tetapi, pengawasan di pos pemeriksaan di tiap daerah akan lebih rumit dilakukan untuk ternak dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dia menyebut banyak jalan utama dan jalan tikus yang panjangnya mencapai ratusan kilometer.
Menjelang Idul Adha, lalu lintas ternak diduga akan lebih besar. Saat itu adalah momen bagi peternak dan pedagang musiman untuk mencari penghasilan. Dia menegaskan, diperlukan edukasi bagi masyarakat guna menekan penularan lewat lalu lintas manusia dan kendaraan pengangkut itu.
”Khusus untuk hewan kurban, ada sekitar 30.000 sapi dari kebutuhan 70.000 sapi bakal datang dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Bali menuju Tanjung Priok sebelum masuk Jabar. Mudah-mudahan H-14 hewan yang dipersiapkan untuk kurban bisa aman dan sehat,” tambahnya.
Cepat menyebar
Anggota Divisi Pertanian dan Ketahanan Pangan Komite Pemulihan Ekonomi Daerah Jabar, Rochadi Tawaf, menyebutkan, kecepatan penyebaran PMK menjadi hal yang harus diwaspadai. Kini, penularan terjadi di 17 provinsi di Indonesia dan mengancam produktivitas sapi. Dibutuhkan terobosan untuk menghadapinya. Ia mengusulkan mekanisme pemusnahan.
”Sebelumnya, pemberantasan PMK membutuhkan 100 tahun. Sekarang, saat belum banyak hewan yang tertular, pemusnahan bisa menjadi solusi,” ujarnya.
Dia mengakui, tantangannya tidak mudah. Dibutuhkan dana tanggap darurat besar. Namun, ia yakin, pemusnahan bisa lekas membantu menyelesaikan masalah 1-2 tahun ke depan.
Perubahan sistem jual-beli dan pemotongan ternak lewat digitalisasi patut dicoba. Tujuannya, menekan mobilisasi hewan ternak.
Hal ini sudah dilakukan pengusaha asal Singapura dengan peternak Jabar. Sapi yang dibeli lalu dipotong di Jabar. Dia menyebut cara itu berpotensi menjadi solusi saat Idul Adha guna menekan potensi penularan akibat lalu lintas ternak.
”Bila masih hendak dikirim, kami menyarankan penerapan kompartemen tidak dalam cakupan luas, tapi di tingkat desa atau kecamatan,” kata Rochadi. Konsep kompartemen dilakukan dengan memisahkan satu populasi dengan populasi lain untuk menjamin proses jual beli tetap berlangsung aman.
Plasma nutfah
Dengan beragam masalah yang terjadi di masa depan, mitigasi mutlak dibutuhkan. Apalagi, PMK tidak melulu mengancam produksi daging hingga susu. Perwakilan Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) Nuryanto menyebut tradisi yang muncul dari budaya ternak bisa terancam.
Tradisi kontes dan ketangkasan untuk domba garut, misalnya, bakal berjalan tidak ideal jika mitigasi PMK belum berjalan baik. Perbedaan kebijakan antardaerah saat menyekat dan membatasi lalu lintas akan membuat PMK terus menyebar.
Nuryanto mengatakan, berbeda dengan kontes hewan ternak lain, kontes domba tangkas krusial memopulerkan domba garut. Dari sana, banyak keunggulan domba bisa dipamerkan, termasuk potensi produksi daging, pembibitan, hingga pariwisata.
HPDKI mencatat, saat ini kebutuhan domba dari Jabar untuk sejumlah daerah di Indonesia mencapai 23.000-25.000 ekor per bulan. Pada tahun 2021 dibutuhkan setidaknya 140.000 domba dan kambing untuk hewan kurban
”Ke depan, harus dipikirkan mitigasinya. Jangan sampai potensi ekonomi hingga eksistensi plasma nutfah Indonesia, seperti domba garut ini, hilang akibat PMK,” katanya.
Mitigasi harus menjadi prioritas utama di masa depan. Pelajaran atas keterpurukan dunia peternakan akibat pandemi Covid-19 harus diterapkan. Jangan sampai dampaknya kian memburuk tanpa tahu cara mengatasinya kelak.