Wabah Penyakit Mulut dan Kuku Jadi Momentum Perbanyak Riset
Indonesia perlu memperbanyak riset terkait proses penyebaran, karakteristik, hingga pencegahan wabah penyakit mulut dan kuku. Sebab, catatan sejarah menyebut bahwa wabah ini terus muncul meski sudah dinyatakan bebas PMK.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit mulut dan kuku atau PMK yang tengah mewabah di sejumlah daerah di Indonesia saat ini menjadi momentum penting untuk meningkatkan riset dan penelitian. Memperbanyak riset akan memberikan informasi lebih lengkap terkait proses penyebaran, karakteristik, dan pencegahan wabah ini di masa mendatang.
Ketua Kelompok Riset Teknologi Mitigasi Penyakit The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) Wilna Voslo mengemukakan, terlepas dari dampak yang ditimbulkan, wabah PMK yang tengah terjadi di beberapa negara, termasuk Indonesia, merupakan momen penting untuk mempelajari lebih lanjut terkait penyakit ini.
”Ini kesempatan yang sangat bagus untuk mengoleksi sampel, mempelajari, dan mengarakterisasi dari negara terdampak guna memahami penyebarannya. Dengan begitu, semua pihak bisa mendapat informasi lebih dalam menangani wabah PMK,” ujarnya dalam webinar yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kamis (19/5/2022).
Penelitian PMK perlu berfokus pada aspek epidemiologi guna mendeskripsikan dan menjelaskan terjadinya penyakit pada suatu populasi.
Berdasarkan sejumlah studi yang telah dilakukan, virus PMK sangat menular karena dapat menjangkiti berbagai hewan ternak, mulai dari sapi, kerbau, domba, babi, kambing, dan hewan berkuku belah lainnya, seperti rusa atau unta. Virus PMK diekskresikan ke dalam saliva, napas, susu, vesikel kulit, urine, dan feses.
Tingkat morbiditas PMK pada populasi ternak yang seluruhnya rentan mencapai 80-100 persen. Adapun tingkat mortalitas cenderung rendah pada ternak dewasa yakni 1-5 persen dan mencapai 20 persen pada ternak usia muda. Bila ternak tersebut terkonfirmasi PMK, maka dilakukan inkubasi selama 1-14 hari.
Virus PMK juga memiliki sifat seperti virus lainnya, yakni dapat berevolusi. Sampai saat ini, terdapat tujuh serotipe virus yang berbeda secara imunologi, yaitu o, a, c, southern african territories (SAT)-1, SAT-2, SAT-3, dan Asia-1. Distribusi serotipe o dan a merupakan yang terluas secara geografis, termasuk menyerang Indonesia.
Merujuk Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE) serta Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), serotipe PMK tidak terdistribusi secara seragam di wilayah dunia atau di negara terjangkit. Tercatat 6 dari 7 serotipe ditemukan di Afrika, 4 di Asia, serta hanya 3 serotipe yang ada di Amerika Selatan dan Eropa.
Kepala Pusat Riset Veteriner BRIN Harimurti Nuradji menyatakan, penelitian PMK perlu berfokus pada aspek epidemiologi guna mendeskripsikan dan menjelaskan terjadinya penyakit pada suatu populasi. Penelitian ini juga bertujuan untuk menggambarkan status kesehatan penduduk, mengidentifikasi tren, dan memprediksi jumlah kejadian penyakit.
Selain itu, kata Harimurti, beberapa penelitian PMK yang perlu dilakukan di antaranya terkait dengan pengembangan uji diagnostik cepat, program vaksin, dan karakterisasi virus yang menyebar di Indonesia. Seluruh hasil penelitian ini juga harus didiseminasikan kepada semua pihak, termasuk pemerintah, sebagai dasar pengambilan keputusan.
Kepala Laboratorium Rujukan PMK dari OIE/FAO Donald King mengatakan, OIE/FAO dapat mendukung sejumlah program penelitian terkait PMK. Dukungan tersebut dapat berupa pengiriman sampel penting, pencocokan vaksin atau mengidentifikasi kandidat vaksin yang dapat digunakan untuk hewan ternak, hingga pemantauan pascavaksinasi.
Sejarah kasus
Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN Indri Damayanti memaparkan, kasus PMK di Indonesia pertama kali dilaporkan pada 1887 di Malang, Jawa Timur. Setelah itu, wabah ini mulai menyebar ke arah Banyuwangi dan dua tahun berselang menyerang ke Jakarta.
Pada 1907, tercatat 1.201 sapi di Jawa kemudian terserang PMK. Daerah yang mengalami wabah ini di antaranya Jakarta, Cirebon, Pasuruan, Banyumas, Malang, dan Madura. Wabah ini kembali muncul pada 1974 hingga pemerintah saat itu memutuskan untuk memulai vaksinasi dengan prioritas area seperti Bali, Sulawesi Selatan, dan Jawa.
”Pada 1980, Indonesia dilaporkan tidak memiliki kasus PMK. Namun, akhirnya pada 1983 terjadi kembali wabah PMK di Blora dan menyebar di Jawa Tengah. Hasil dari pemeriksaan virus yang dilakukan menunjukkan PMK disebabkan virus tipe o,” katanya.
Setelah adanya kemunculan wabah ini, pemerintah kembali melakukan vaksinasi massal yang dikembangkan melalui virus tipe o selama tiga tahun sejak 1983-1985. Wabah ini akhirnya bisa dikendalikan dan Indonesia dinyatakan bebas PMK pada 1990.