Belum Tangkap Pelaku Penyerangan di Pulau Haruku, Polisi Fokus pada Rekonsiliasi
”Kenyataan pahit yang harus diterima warga Kariuw. Jangan bicara keadilan. Bagi warga Kariuw, keadilan sudah mati,” ujar FS.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Empat bulan berlalu, polisi belum juga menangkap para pelaku yang terlibat penyerangan diikuti pembakaran permukiman warga Desa Kariuw di Pulau Haruku, Maluku. Polisi beralasan, pihaknya masih fokus pada rekonsiliasi antara kelompok penyerang dan korban. Di sisi lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendorong rekonsiliasi dan penegakan hukum harus berjalan paralel.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat lewat sambungan telepon pada Senin (30/5/2022) mengatakan, penegakan hukum berpotensi mengganggu jalannya rekonsiliasi di antara kedua belah pihak. ”Yang diprioritaskan saat ini adalah upaya damai. Itu yang paling penting saat ini dan menjadi harapan banyak orang,” katanya.
Menurut Roem, langkah rekonsiliasi yang ditempuh Polda Maluku adalah dengan mempertemukan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Pihak Kariuw yang menjadi korban dan kelompok penyerang dari desa tetangga, Pelauw. Kedua bela pihak juga menginginkan jalan damai untuk mengakhiri konflik.
Selain itu, Polda Maluku bersama pemerintah daerah juga sedang berusaha memulangkan warga Kariuw ke perkampungan mereka. Sejak diserang, sebagian besar warga Kariuw mengungsi ke Desa Aboru. Mereka tinggal di tenda pengungsian dan rumah warga. Ada juga yang mengungsi ke desa lain, bahkan ke Kota Ambon.
Kendati demikian, lanjut Roem, polisi akan tetap melakukan penegakan hukum terhadap para pelaku penyerangan. Tim intelijen sudah mengumpulkan berbagai bukti. Terlebih, video ataupun foto pada saat penyerangan itu beredar luas di media sosial. ”Saat ini kita fokus dulu ke rekonsiliasi dan pemulangan pengungsi,” ujar Roem kembali menegaskan.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, pada Rabu (26/1/2022) ratusan warga Pelauw menyerang permukiman Kariuw. Sebagian orang dari kelompok penyerang membawa senjata api. Mereka membakar 211 rumah dan puluhan kendaraan roda dua dan roda empat. Penyerangan itu gagal diredam aparat keamanan. Padahal, di antara kedua desa itu terdapat pos polisi.
Mereka membakar 211 rumah dan puluhan kendaraan roda dua dan roda empat.
Informasi akan terjadinya penyerangan itu sudah mencuat sehari sebelumnya dipicu sengketa lahan. Sejumlah pihak menyayangkan lambannya upaya aparat meredam konflik itu. Bahkan, tak banyak yang menuding adanya pembiaran. Pulau Haruku hanya berada sejengkal dari Pulau Ambon. Dengan menggunakan perahu cepat, waktu tempuh sekitar 15 menit, (Kompas 27/1/2022).
FS (40), warga Pulau Haruku, menuturkan, jika tidak terjadi rekonsiliasi, warga Kariuw tidak akan merasa aman. ”Jadi, kalau polisi berani tangkap para pelaku penyerangan, keamanan di sana pasti akan terganggu. Orang Kariuw terpaksa memaklumi kondisi ini demi mereka bisa pulang kampung. Kenyataan pahit yang harus diterima. Jadi, jangan bicara keadilan. Keadilan bagi warga Kariuw sudah mati,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Provinsi Maluku Benediktus Sarkol mengatakan, rekonsiliasi dan penegakan hukum harus berjalan paralel. Rekonsiliasi demi terciptanya kedamaian, sementara penegakan hukum demi terciptanya rasa keadilan bagi para korban penyerangan. Penegakan hukum juga akan mendatangkan efek jera bagi pelaku.
Menurut Benediktus, rekonsiliasi damai yang sesungguhnya tidak akan terwujud jika tidak ada penegakan hukum. Di sisi lain, tidak adanya penegakan hukum sama halnya dengan memelihara bara konflik. Kelompok penyerang merasa kebal hukum, sedangkan pihak korban tetap menyimpan dendam yang tak berkesudahan. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik ulang.
Dalam catatan Komnas HAM, Pulau Haruku merupakan daerah dengan catatan konflik yang tinggi. Di pulau seluas 150 kilometer persegi itu terdapat 11 desa dengan jumlah penduduk lebih kurang 25.000 jiwa. Seperti di wilayah Maluku pada umumnya, penduduk dalam setiap desa memiliki agama yang sama. Pola permukiman tersegregasi berdasarkan agama.