Difabel Netra di Manado: Terimpit Kebutuhan, Tak Punya Pilihan, Berakhir di Jalanan (Bagian 2)
Difabel netra telah dibekali berbagai keterampilan agar bisa hidup sejahtera dan mandiri, tak tergantung dari pemerintah ataupun masyarakat. Namun, manfaatnya hanya bisa dirasakan jika pemerintah daerah ikut berperan.
Lanjutan dari: Difabel Netra di Manado: Terimpit Kebutuhan, Tak Punya Pilihan, Berakhir di Jalanan (Bagian 1)
Akibatnya, difabel netra seperti Simon Pare dan Johanes Disa kesulitan membebaskan diri dari lingkaran kemiskinan. Mereka sangat membutuhkan keberpihakan pemerintah dalam wujud kebijakan.
Hal ini juga disuarakan Kamsiaty Rotty. Sentra Tumou Tou yang ia kepalai, sebagai perpanjangan tangan Kementerian Sosial, telah membekali difabel netra dengan keterampilan agar mereka bisa hidup sejahtera dan mandiri, tak tergantung dari pemerintah ataupun masyarakat.
Akan tetapi, harapan itu tak akan terwujud tanpa peran pemerintah daerah, utamanya pemerintah kota. ”Karena banyak difabel netra yang bisa pijat, Pemkot Manado sebenarnya bisa menyiapkan gedung di tempat strategis untuk dijadikan semacam sentra pijat bagi mereka,” katanya.
Pemkot juga perlu mengimbau hotel dan restoran untuk merekrut difabel netra menjadi juru pijat atau pemain musik sehingga jumlah yang berdagang di jalanan berkurang. Ini adalah amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Pasal 53 mewajibkan pemerintah dan badan usaha milik negara ataupun daerah mempekerjakan penyandang disabilitas sebanyak minimal 2 persen dari total pegawai. Sektor swasta juga memiliki kewajiban serupa dengan besaran 1 persen. ”Kami siap mendukung dari sisi peralatan, bisa kami pinjamkan ke mereka,” kata Kamsiaty.
Namun, itu semua masih belum terlaksana. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulut Nicholas Lieke, misalnya, bahkan tak mengetahui adanya aturan ini. ”PHRI Sulut tidak pernah mewajibkan hal-hal yang tidak diatur dalam peraturan pemerintah,” katanya melalui pesan tertulis 27 April lalu.
Di lain pihak, Wali Kota Manado Andrei Angouw menyatakan telah berupaya membantu para difabel netra. Dalam tahun pertama kepemimpinannya, pemkot pernah bekerja sama dengan Sentra Tumou Tou untuk menyediakan kios usaha di halaman parkir toko-toko swalayan bagi 10 orang difabel netra.
Namun, program itu tidak sukses. Para penerima manfaat yang mendapat perlengkapan, seperti blender untuk berjualan minuman atau ponsel untuk pulsa seluler, memilih berdagang di depan rumah karena enggan membayar sewa tempat.
Terkait dengan difabel netra yang berjualan di jalan, Andrei menyatakan akan mencari solusi. Selama ini masalah itu sulit diatasi karena, pertama, kebiasaan masyarakat memberi mereka uang.
Baca juga: Dari Surakarta, Saatnya Kaum Difabel ”Memanjat” Lebih Tinggi
”Saya tahu masyarakat ada rasa iba, tetapi nanti mereka tidak mau kerja lagi, terbiasa untuk mengemis. Daripada bekerja susah-susah, lebih baik jualan seperti itu. Cuma dikasih (uang), akhirnya tidak ada biaya pokok sehingga omzetnya besar,” katanya, 10 Mei lalu.
Faktor kedua adalah status kependudukan. Andrei menduga para difabel netra yang berjualan di jalanan bukanlah warga ber-KTP Manado sehingga mereka kesulitan mendapatkan kredit usaha rakyat (KUR) yang sebenarnya bisa didapatkan tanpa agunan. ”Jadi bank ragu kasih KUR. Kalau tiba-tiba mereka menghilang, siapa mau tanggung jawab?” katanya.
Mengenai hal ini, Kamsiaty menyatakan, Sentra Tumou Tou selalu memulangkan para difabel netra yang sudah selesai dibina ke daerah asal masing-masing demi mencegah timbulnya masalah sosial di Manado. Namun, pada banyak kasus, mereka tidak mendapat dukungan pemerintah daerah asal. Ada pula yang ditolak keluarga sendiri.
Akibatnya, para difabel netra kembali ke Manado, kota yang bisa menghidupkan mereka berkat kemurahan hati warganya. Tak sedikit dari mereka yang telah mengurus kepindahan menjadi warga Manado.
Terlepas dari polemik kewargaan, Andrei sadar pemkot wajib menjamin hak difabel akan pekerjaan yang layak sesuai dengan UU Penyandang Disabilitas. Manado juga sudah memiliki Peraturan Wali Kota No 48A/2017 tentang Pemberdayaan Penyandang Disabilitas. Hanya saja, ia mengakui, pelaksanaannya belum maksimal. Pemkot bahkan belum memiliki data ketenagakerjaan penyandang disabilitas.
Jadi, semua tergantung pribadinya. Saya berharap semua bekerja produktif.
Andrei pun berjanji akan merekrut penyandang disabilitas netra untuk bekerja di lingkungan pemkot apbila pandemi Covid-19 mereda. Sektor swasta juga akan ia minta memenuhi kewajibannya. Namun, berhasil atau tidaknya kebijakan itu akan ditentukan oleh setiap pribadi difabel netra.
“Jadi, semua tergantung pribadinya. Saya berharap semua bekerja produktif. Tugas pemerintah adalah membuat tanah subur. Kalau tanah subur dan orangnya rajin menanam, tanamannya akan tumbuh,” ujar Andrei penuh kiasan.
Di lain pihak, Kamsiaty tetap yakin, faktor struktural masyarakat jauh lebih berpengaruh terhadap kesejahteraan para difabel netra. Nyatanya, mereka memang kesulitan menemukan lahan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian. “Akibatnya, modal hidup yang telah kami berikan tidak membuahkan hasil yang diharapkan,” katanya.
Perkataan Kamsiaty senada dengan sosiolog sekaligus aktivis disabilitas Inggris, Mike Oliver. Dalam artikel Disability Studies, Disabled People and the Struggle for Inclusion (2010), ia menyebut kecacatan, yang merupakan realitas, bukanlah penyebab kemiskinan para penyandangnya. Struktur masyarakatlah yang membatasi kesempatan difabel untuk berpartisipasi dalam ekonomi sehingga mereka kesulitan hidup mandiri.
Harapan
Di tengah kebuntuan ini, para legislator di tingkat provinsi menawarkaan sebersit harapan. Peraturan Daerah Sulut No 8/2021 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas telah disahkan dan disosialisasikan pada akhir 2021.
Baca juga: Kisah Pondok Pesantren untuk Penyandang Disabilitas
Anggota Komisi III DPRD Sulut dari Fraksi PKS, Amir Liputo, mengatakan, perda ini telah lama dinantikan para penyandang disabilitas, terutama komunitas difabel netra Sulut. Dengan perda ini, DPRD akan memiliki kekuatan lebih, terutama dalam hal anggaran, untuk memastikan pemenuhan hak difabel oleh pemerintah provinsi.
”Jadi, perda ini mengatur secara teknis agar mereka bisa hidup layak dan berbaur dengan masyarakat umum tanpa merasa tidak diperhatikan oleh daerah dan negara. Mudah-mudahan, berangsur tetapi pasti, tidak ada lagi yang merasa seperti itu,” kata Amir ketika ditemui pada 25 April.
Amir juga berjanji akan mendorong DPRD menjadi lembaga percontohan dalam mempekerjakan para difabel. ”Mereka bisa menerima telepon atau menyambut tamu sehingga tidak perlu berjualan terus di jalan,” katanya.
Di lain pihak, Ketua Dewan Pengurus Pusat Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Aria Indrawati menyesalkan pengesahan perda ini karena tidak melibatkan para penyandang disabilitas dalam proses pembahasannya. Akibatnya, banyak hal yang belum diakomodasi, seperti hak keluarga penyandang disabilitas.
Karena itu, Pertuni akan mendorong perbaikan dengan mengawasi peraturan gubernur sebagai regulasi turunan dari perda itu. Namun, langkah pertama yang ia ambil adalah mengaktifkan kembali Pertuni Sulut yang mandek karena disharmoni di kalangan anggotanya.
Baca juga: Angkie Yudistia, Mimpi Difabel Mandiri
Meski demikian, para difabel netra yang berada di jalanan, seperti Johanes dan Simon, sudah kenyang dengan janji. Ratusan peraturan boleh saja dibuat, tetapi tak akan ada gunanya jika tak diterjemahkan menjadi aksi nyata. Karena itu, untuk sementara, mereka akan tetap berjualan.
”Saya percaya dan saya yakin, para pejabat pemerintahan sering lewat di jalan-jalan tempat kami berjualan. Saya ingin katakan, cobalah membuka diri kepada penyandang disabilitas netra agar kami tidak lagi terlihat berdiri di pinggir jalan, bergantung pada belas kasihan orang lain,” kata Johanes.