Dari Surakarta, Saatnya Kaum Difabel ”Memanjat” Lebih Tinggi
Klub paraclimbing atau olahraga panjat dinding difabel pertama di Indonesia didirikan di Surakarta. Melalui wadah ini, kaum difabel diharapkan semakin punya ruang ekspresi dan prestasi pada kancah olahraga ekstrem.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Difabel netra seusai turun dari dinding panjat dalam latihan perdana Indonesia Paraclimbing Club di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (3/12/2021).
Kota Surakarta tak berhenti memberi ruang bagi kelompok difabel. Olahraga panjat dinding difabel atau paraclimbing dirintis. Dideklarasikan pada Hari Disabilitas Internasional, Indonesia Paraclimbing Club berikhtiar menabur benih demi memanen prestasi di masa depan.
Sekumpulan anak muda berambut gondrong tanggung berkumpul di bawah papan panjat dinding di Universitas Slamet Riyadi, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (3/12/2021) sore. Sebagian menyiapkan tali pengaman panjat dinding dengan teliti. Rancak irama dangdut koplo mengiringi jari-jari cekatan mereka membuat simpul tali yang kuat.
Juliana Ira Astuti (17), remaja asal Boyolali, duduk selonjor tak jauh dari dinding panjat tersebut. Wajahnya tampak antusias sekaligus gugup. Remaja difabel netra itu bersiap memanjat dinding setinggi sekitar 15 meter itu. Ira, sapaan karib Juliana, mengaku deg-degan menggambarkan perasaannya.
Difabel netra dibantu mengenakan perlengkapan panjat dinding dalam latihan perdana Indonesia Paraclimbing Club di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (3/12/2021).
Lebih kurang 30 menit, Ira duduk menunggu alat panjat dinding itu dipastikan keamanannya. Akhirnya, nama Ira dipanggil juga. Ia berjalan pelan dipandu seorang laki-laki mendekat ke dinding panjat. Tali-tali dikaitkan pada harness yang sudah lebih dulu dikenakannya.
Sesaat kemudian, kedua tangan Ira meraba sejumlah poin pijakan. ”Aduh, bisa enggak, ya? Bisa enggak, ya? Takut,” kata gadis bertubuh mungil itu agak takut.
Di sebelah Ira berdiri Sabar Gorky (53), atlet difabel panjat tebing senior, memberinya semangat dan arahan sebelum memanjat. Atlet berkaki tunggal itu mencoba meyakinkan Ira soal prosedur keamanan dari aktivitas tersebut. ”Tenang dan yakin saja. Semua aman. Yang berani, ya,” pesannya kepada Ira.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Difabel netra mengikuti latihan perdana Indonesia Paraclimbing Club di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (3/12/2021).
Ira pun menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Setelah merasa cukup tenang, tangan kanannya segera menyentuh poin panjatan pertama. Dengan mantap, ia mendaki poin demi poin di dinding tersebut.
Dalam waktu kurang dari satu menit, gadis berambut panjang itu sudah berada pada ketinggian 8 meter. Tangan dan kaki Ira seperti punya mata guna menemukan poin yang akan dipijaknya.
Dari bawah, para penonton bersorak memberi semangat. Sebagian dari mereka juga merupakan difabel daksa. Mereka menyaksikan kelincahan Ira dari sepeda motor roda tiga masing-masing. Salah seorang di antaranya bahkan turut menyumbangkan satu kardus air mineral bagi para difabel pemanjat dinding.
Seorang difabel netra beraksi dalam latihan perdana Indonesia Paraclimbing Club di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (3/12/2021).
Sayangnya, Ira tak bisa sampai puncak dalam kesempatan itu. Ia kelelahan saat mencapai ketinggian 8 meter. Itulah pertama kalinya ia mendaki lagi, setelah menjajal olahraga tersebut empat tahun silam.
”Capek, sih, tetapi saya senang. Ternyata saya bisa juga mendaki begini. Kalau memang berlangsung terus, saya akan selalu ikut,” ucap Ira semringah.
Peran Sabar
Hari itu, Ira tak sendirian. Ada sedikitnya enam difabel netra lain yang ikut beraksi memanjat dinding bersamanya. Aksi itu menandai peresmian Indonesia Paraclimbing Club (Indpac) bertepatan dengan perayaan Hari DisabilitasInternasional, yakni 3 Desember 2021.
Sabar Gorky menjadi sosok kunci di balik pembentukan klub panjat tebing bagi difabel tersebut. Itu berawal dari permintaan Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) sekitar 1,5 bulan lalu kepadanya. Sabar dinilai sudah punya banyak pengalaman terjun sebagai atlet difabel dalam berbagai kejuaraan panjat tebing baik tingkat nasional maupun internasional. Bekal itu membuatnya ditunjuk untuk merintis olahraga ekstrem bagi penyandang disabilitas di kota itu.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Sabar Gorky, atlet panjat dinding berkaki satu, memanjat dinding dalam latihan perdana Indonesia Paraclimbing Club di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (3/12/2021). Klub panjat bagi difabel itu dideklarasikan bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional. Klub itu sekaligus menjadi klub panjat difabel pertama di Indonesia.
Pada 2009, ia meraih medali emas dalam Kejuaraan Panjat Dinding Asia di Korea Selatan. Lalu, pada 2012, pria berambut cepak itu menduduki peringkat ke-4 dalam Kejuaraan Dunia Panjat Tebing di Perancis. Sejumlah gunung dunia juga pernah ditaklukkannya. Dua di antaranya adalah Gunung Elbrus di Rusia dan Gunung Kilimanjaro di Benua Afrika.
”Sekarang saya diberi kesempatan mengurus paraclimbing karena saya sudah dapat sedikit ilmu dari Korea Selatan, Perancis, dan lain-lain. Itu saya terapkan di sini supaya olahraga panjat tebing semakin berkembang bagi teman-teman difabel,” ujar Sabar, yang didapuk sebagai penasihat Indonesia Paraclimbing Club.
Keberadaan klub itu penting bagi perkembangan olahraga ekstrem di lingkungan difabel.
Menurut Sabar, keberadaan klub itu penting bagi perkembangan olahraga ekstrem di lingkungan difabel. Sebab, selama ini, katanya, belum ada wadah untuk difabel yang ingin terjun dalam olahraga tersebut. Ia pun awalnya bergerak sendirian sewaktu awal menekuninya sejak tahun 1997.
”Ikut kompetisi pun dengan teman-teman yang fisiknya normal. Alhamdulillah selalu kalah dan belum pernah menang. Saya lomba ke mana-mana juga sendiri,” kata Sabar berkelakar.
Difabel netra dibantu mengenakan perlengkapan panjat dinding dalam latihan perdana Indonesia Paraclimbing Club di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (3/12/2021).
Sabar berharap, lewat klub tersebut, bisa lahir atlet-atlet difabel baru untuk panjat tebing. Ia meyakini, tak sulit mencari atlet untuk cabang olahraga tersebut. Persoalannya lebih pada minimnya wadah bagi mereka untuk menyalurkan kegemaran atau bakatnya.
Lebih lanjut, Sabar mengatakan akan berbuat yang terbaik di Indonesia. Ia ingin kelak atlet baru dari cabang olahraga paraclimbing bisa mengikuti jejaknya tampil di pentas dunia. Lewat olahraga ini, ia juga ingin menyampaikan pesan soal kesetaraan.
”Sekarang sudah dapat aksesnya. Saya akan berusaha yang terbaik. Karena, sebetulnya kita itu sama. Maka, saya berterima kasih bagi semua pihak yang support dengan paraclimbing,” kata Sabar, yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Paraclimbing FPTI.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Difabel netra beraksi dalam latihan perdana Indonesia Paraclimbing Club di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (3/12/2021).
Dihubungi terpisah, Rima Ferdianto, Wakil Sekretaris Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Indonesia, menyambut baik kehadiran klub panjat tebing khusus difabel. Inisiatif tersebut memperluas pilihan bagi para difabel untuk memenuhi hak olahraganya.
Permasalahannya, ungkap Rima, paraclimbing belum dilombakan dalam ajang multievent, seperti Paralimpiade dan Asian Paragames. Selama ini, perlombaan yang diadakan untuk cabang olahraga tersebut baru sebatas single event. Salah satunya adalah Kejuaraan Dunia Paraclimbing yang digagas Federasi Panjat Tebing Internasional (IFSC) sejak 2011.
”Sementara pemerintah memberikan pelatnas atau pendanaan pada NPC harus prioritas cabang olahraga yang dipertandingkan di multievent,” kata Rima.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Para difabel netra tengah bercakap-cakap di sela-sela latihan perdana Indonesia Paraclimbing Club di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (3/12/2021).
Dengan kondisi itu, Rima menyebutkan, perlu ada dorongan agar cabang olahraga tersebut bisa dilombakan dalam multievent, setidaknya untuk level Asia Tenggara terlebih dahulu. Diharapkan kehadiran klub panjat tebing difabel itu dapat menyemai bibit-bibit muda yang kelak bisa dipanen.
”Mudah-mudahan jika nanti sudah ada dalam Paralympic, kita juga bisa ikut memberangkatkan. Kalau mau membina juga sudah tidak dari nol lagi. Kami senang, ada yang sudah memulai olahraga ini,” kata Rima.
Kota Surakarta kembali menunjukkan keramahannya dengan menjadi tempat deklarasi klub panjat tebing difabel pertama di Indonesia. Hendaknya bibit-bibit paraclimbing tumbuh subur. Pun, dukungan pemerintah juga mengalir deras hingga kelak ”Merah Putih” dapat berkibar di pentas dunia lewat cabang olahraga tersebut.