Kisah Pondok Pesantren untuk Penyandang Disabilitas
Para penyandang disabilitas di sejumlah daerah masih mengalami keterbatasan akses pendidikan. Di tengah situasi itu, muncul beberapa pondok pesantren yang membuka diri untuk mereka.
Para penyandang disabilitas di sejumlah daerah masih mengalami keterbatasan akses pendidikan. Di tengah situasi itu, muncul beberapa pondok pesantren yang membuka diri untuk mereka. Di sana, para penyandang disabilitas tak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga keterampilan lain.
Salah satu pondok pesantren untuk penyandang disabilitas adalah Pondok Pesantren Darul Ashom di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jika diartikan, nama ponpes itu bermakna ”rumah tuli”. Sesuai namanya, Ponpes Darul Ashom memang memfasilitasi kelompok difabel tuli yang ingin mendalami agama.
Salah seorang santri yang belajar di pondok itu adalah Zaki (15). Santri asal Medan, Sumatera Utara, itu mengaku senang belajar di pondok yang berlokasi di Dusun Kayen, Kelurahan Condongcatur, Kecamatan Depok, Sleman, tersebut.
”Saya tahu pondok pesan ini dari seorang pendakwah di Medan. Lalu, saya tertarik dan mau belajar agama di sini. Saya merasa senang karena di sini juga banyak teman-teman tuli. Saya bersyukur, ada pondok pesantren yang mau memfasilitasi juga orang-orang tuli buat belajar agama,” ujar Zaki menggunakan bahasa isyarat.
Zaki berharap ilmu yang diperolehnya di pondok pesantren itu, terutama berkait cara membaca Al Quran dengan bahasa isyarat, dapat ia sebarkan saat nanti pulang ke kampung halaman. Sebab, kata dia, belum banyak juga yang tahu bahwa difabel tuli bisa melantunkan ayat-ayat suci meski dengan gerakan tangan.
Baca juga: ”Begibung”, Lambang Kebersamaan Masyarakat Lombok Saat Idul Fitri
Pondok Pesantren Darul Ashom didirikan oleh Abu Kahfi, seorang ustaz asal Bandung, Jawa Barat, tahun 2019. Mulanya, pondok pesantren tersebut berlokasi di Kabupaten Bantul, DIY.
”Awalnya, tempat yang jadi pondok ini dipinjami teman di Bantul. Saat itu, kami memanfaatkan bagian atas ruko (rumah toko). Jumlah santrinya waktu itu sekitar delapan orang,” kata Abu.
Setelah pondok tersebut beroperasi, banyak media massa yang meliput sehingga Pondok Pesantren Darul Ashom makin dikenal. Pondok itu makin kerap mengadakan kegiatan pesantren kilat dengan waktu dua pekan. Selain itu, antusiasme warga difabel tuli untuk belajar di pondok tersebut juga luar biasa. Jumlah santri pun bertambah menjadi 30 orang.
Oleh karena itu, bangunan ruko yang digunakan pondok itu pun menjadi kurang representatif sebagai tempat belajar. Hal ini karena ruangan pondok pesantren itu relatif kecil, sementara jumlah santri bertambah banyak. Selain itu, kondisi lingkungannya juga cukup bising karena letak ruko itu dekat dengan jalan raya.
Pada tahun 2020, Pondok Pesantren Darul Ashom pindah ke Sleman. Di tempat baru itu, pondok tersebut menggunakan enam rumah untuk tempat aktivitas. Dari enam rumah itu, sebanyak empat rumah mengontrak, satu rumah dari wakaf, dan satu rumah lain merupakan pinjaman. Lokasi baru pondok itu juga berada di dalam perkampungan yang lebih sunyi.
”Ternyata semakin banyak yang tertarik lagi setelah kami di sini. Sekarang, santri sudah berjumlah 108 orang. Sebagian besar justru dari luar DIY, seperti Lampung, Palembang, Riau, Batam, Samarinda, Sulawesi, hingga Bali,” ujar Abu.
Baca juga: Merayakan Hari Kemenangan dengan Doa dan Santap Bersama di Kubu Raya
Abu menuturkan, perkenalan pertamanya dengan kelompok difabel tuli terjadi pada 2009. Saat itu, ia mendatangi sebuah acara keagamaan yang menghadirkan seorang difabel tuli asal Pakistan. Dalam acara itu, para difabel tuli asal Indonesia diajarkan soal tauhid. Dari acara itu, Abu baru mengetahui banyak difabel tuli yang kesulitan belajar agama.
”Ada yang sudah usia dewasa, sudah bekerja, sampai punya anak istri, tetapi belum banyak belajar agama. Saya lihat ternyata belum ada ustaz yang mengajarkan ilmu agama dengan bahasa isyarat sehingga mereka paham. Makanya saya merasa terpanggil,” kata Abu.
Setelah itu, Abu mulai intens menggelar kegiatan dengan kelompok difabel tuli di Bandung. Mulanya, ia mengajak dua orang difabel tuli ke rumahnya untuk berlatih silat. Dari pengalaman itu, Abu pun menyerap ilmu soal bahasa isyarat. Dia membutuhkan waktu sekitar sebulan untuk mahir berbahasa isyarat.
Setelah menguasai bahasa isyarat, Abu mulai mengenalkan ilmu agama kepada kalangan difabel tuli. Dia lalu mengadakan pengajian sepekan dua kali khusus untuk difabel tuli. Ia juga mendatangi perkumpulan-perkumpulan difabel tulis di wilayah Bandung dan sekitarnya.
Tak hanya itu, ia juga sempat menjadi penerjemah bahasa isyarat bagi khatib dalam shalat Jumat. Berbagai aktivitas itu membuatnya dikenal di kalangan difabel tuli di daerahnya.
”Lewat cara ini, saya ingin mendekatkan kalangan difabel tuli kepada urusan agama. Kalau urusan ekonomi dan lainnya, kan, sudah ada pihak lain. Ini salah satu upaya mewujudkan kesetaraan dalam hal agama,” kata Abu.
Keterbatasan akses
Sementara itu, di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, terdapat Pesantren Tunanetra dan Sekolah Luar Biasa (SLB) Gratis Cahaya Quran. Pesantren dan SLB yang dikelola Yayasan Tabungan Surga itu didirikan sejak 2013.
Ketua Yayasan Tabungan Surga, Firman Sukmawirya, mengatakan, pesantren dan SLB gratis itu awalnya didirikan karena melihat sulitnya akses pendidikan bagi anak-anak tunanetra. Padahal, kesulitan mengakses pendidikan itu bakal berpengaruh pada kehidupan mereka di masa depan.
Menurut Firman, hampir di setiap kabupaten, termasuk Bogor, pemerintah hanya menyediakan satu SLB negeri. Dampaknya, tidak semua anak tunanetra, terutama dari daerah pelosok, bisa sekolah di SLB negeri. Sementara itu, SLB yang dikelola swasta juga ada, tetapi umumnya berbiaya mahal.
”Dari penelusuran kami, 90 persen orang mengalami tunanetra bukan dari lahir, tetapi saat kecil. Waktu anak sakit, orangtua tidak mampu berobat ke dokter sehingga terjadi gangguan pada mata. Kondisi kemiskinan itu membuat mereka susah mengakses pendidikan,” kata Firman.
Baca juga: Selempang Salib Menjaga Idul Fitri di Kaki Ile Boleng
Berdasarkan kondisi itu, Firman melalui yayasannya kemudian mendirikan pesantren gratis bagi tunanetra. Meskipun gratis, jumlah anak tunanetra yang menjadi santri awalnya hanya lima orang. Pihak yayasan juga mesti ”menjemput bola” dengan meyakinkan anak dan orangtuanya agar lebih banyak anak tunanetra belajar di pesantren tersebut.
Pada mulanya, kata Firman, Yayasan Tabungan Surga ingin fokus ke tunanetra. Namun, dalam perjalanannya, anak-anak difabel tuli dan tunagrahita juga membutuhkan akses pendidikan. Yayasan pun akhirnya membuka SLB bagi mereka. Karena belum ada asrama khusus, anak-anak difabel tuli dan tuna grahita hanya berasal dari warga sekitar.
Pesantren dan SLB yang dikelola Yayasan Tabungan Surga itu mengelola pendidikan tingkat SD dan SMP. Selain pelajaran agama Islam, para santri di lembaga tersebut juga belajar sesuai dengan kurikulum SLB. Anak-anak tunanetra belajar membaca dan menulis huruf braile, sementara anak-anak difabel tuli berlatih bahasa isyarat.
Pada jam istirahat, mereka menekuni kegiatan sesuai bakat, seperti melukis dan menari bagi difabel tulis serta bermain musik bagi tunanetra. Keterampilan tersebut dirasa perlu bagi mereka agar bisa hidup mandiri di masa depan.
”Kami berharap bisa menyelamatkan generasi disabilitas agar lebih baik. Profesi dan pendidikan mereka bakal berimbas ke kesejahteraan mereka pada masa mendatang. Kami berupaya mengakomodasi cita-cita anak-anak ini. Kami optimistis mereka punya kemampuan yang sama seperti anak-anak lainnya,” ujar Firman.
Sodikin (16), santri tunanetra kelas 6 SD, mengaku sangat terbantu dengan keberadaan pesantren ini. Sebelumnya, ia sekolah di salah satu SLB di Bekasi, Jawa Barat, sejak usia 10 tahun. Namun, di tengah proses pendidikan, sekolah tersebut ditutup. ”Saya bahagia bisa melanjutkan sekolah di sini. Ternyata Allah tidak membiarkan saya putus sekolah,” ujarnya.