Difabel Netra di Manado: Terimpit Kebutuhan, Tak Punya Pilihan, Berakhir di Jalanan (Bagian 1)
Ada 126 difabel netra dari total 1.437 warga difabel di Manado. Sebanyak 69 di antaranya teridentifikasi berjualan tisu, kacang, dan keripik di pusat kota. Hak mereka atas pekerjaan yang layak belum dipenuhi pemerintah.
Rintik gerimis tak kunjung berhenti membasahi Kota Manado, Sulawesi Utara, hingga senja datang. Johanes Disa (45) tetap bergeming. Ia masih berdiri di tepian Jalan Sam Ratulangi 12, Kelurahan Titiwungen Utara. Kedua tangannya memegang sebuah keranjang hijau berisi belasan kemasan tipis tisu.
Hanya selangkah di depannya, barisan mobil dari Boulevard Piere Tendean melaju pelan menyusuri jalur sempit tersebut menuju Jalan Raya Sam Ratulangi. ”Tisu, tisu. Tiga ribu. Tisu…,” serunya, mencoba bersaing dengan deru mesin kendaraan yang melintas.
Tanpa ia ketahui, sesekali seorang pengendara membuka kaca mobil untuk meletakkan selembar Rp 1.000, Rp 2.000, atau Rp 5.000 di keranjang tisunya, kemudian berlalu. Jika merasa keranjangnya tersenggol, ia akan segera bertanya, ”Tisu Pak, Bu?”
Namun, para pelintas lebih sering menjawabnya dengan memberi uang begitu saja tanpa mengambil tisu yang ia tawarkan. ”(Dagangan) Sering enggak habis. Kalau enggak laku, banyak kali, biar satu (bungkus) aja enggak laku. Tetapi, pulang tetap bawa uang,” ujarnya sambil terkekeh ketika ditemui pada 22 April 2022 lalu.
Johanes telah menjalani hampir seumur hidupnya sebagai difabel netra. Ia pun tak pernah tahu wujud mobil yang lewat di depannya, apalagi rupa pengemudinya. Namun, satu hal yang ia tahu pasti, uang akan menghampiri selama ia berdiri di tepi jalan satu arah di jantung kota itu.
Maka, pria kelahiran Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulut, itu menghabiskan tujuh hari seminggu, dari siang hingga larut malam, untuk berjualan tisu. Setiap hari, ia bisa mengumpulkan lebih dari Rp 100.000. Pendapatan itu akan langsung dihabiskan keesokan harinya untuk kebutuhan pokok istri, anak remajanya, serta tiga cucu tirinya yang masih kanak-kanak.
Bagi Johanes, itulah bentuk perjuangan dan pengorbanannya untuk menghidupi keluarga. Namun, ia tak pernah bangga dengan apa yang dilakukannya. Berjualan tisu di pinggir jalan sangatlah jauh dari pantas untuk seorang Sarjana Pendidikan Luar Biasa seperti dirinya.
”Sebagai lulusan Universitas Negeri Manado, saya bisa jadi guru. Saya bisa mengajar. Cuma, saat ini jalan yang paling cepat untuk dapat uang, ya, berjualan,” kata dia.
Johanes sebenarnya adalah guru honorer di Sekolah Luar Biasa (SLB) Berkat Yosua, Desa Kamangta, Kabupaten Minahasa. Namun, gajinya hanya Rp 300.000 per bulan. Nominal itu tak cukup untuk membayar sewa rumah semipermanen berdinding tripleks yang keluarganya tempati saat ini di Kelurahan Paal IV, Manado, yaitu Rp 350.000 per bulan.
Biaya transportasi pergi pulang Rp 20.000 dengan angkutan kota selama 24 hari kerja bahkan lebih besar. ”Biasanya malah nombok. Jadi, kalau mau mengandalkan gaji guru honorer saja enggak cukup, enggak pantas,” kata Johanes.
Keadaan Johanes memang serupa dengan derita guru honorer di seantero negeri. Bedanya, kesempatan kerja di luar profesi guru begitu terbatas bagi Johanes akibat disabilitasnya. Satu-satunya sampingan yang bisa ia harapkan adalah jasa pijat panggilan.
Keadaan memaksa kami harus berjualan. Itu solusi.
Ia menjamin kualitas layanannya dengan sertifikat keahlian pijat olahraga yang diperolehnya pada 1994 setelah tiga tahun pelatihan di Sasana Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra (SRPCN) Tumou Tou. Namun, kini ia belum punya pelanggan tetap. Tawaran bekerja di klinik pijat difabel netra pun belum pernah datang.
Akhirnya, justru di tengah bising jalanan pusat kotalah Johanes menemukan oase kehidupan. ”Keadaan memaksa kami harus berjualan. Itu solusi,” ujar Johanes yang kehilangan penglihatan akibat serangan campak pada usia 2 tahun 6 bulan.
Menguntungkan
Hanya 700 meter dari tempat Johanes berjualan, seorang difabel netra bernama Simon Pare (47) juga menjajakan tisu di Jalan Sam Ratulangi 3, Wenang Utara, yang dipadati antrean kendaraan. Selama berjam-jam, tak satu pelintas pun mengambil tisunya, tetapi lembar demi lembar rupiah mendarat di tangannya.
Dari jumlah garis ganda di pinggir kanan dan kiri uang kertas, ia bisa mengetahui nominalnya. ”Kalau garisnya enam, berarti Rp 2.000, kalau lima berarti Rp 5.000,” katanya, 21 April lalu, sambil meraba tepian uang kertas yang ia terima cuma-cuma dari para pengendara.
Setelah belasan tahun berjualan di jalanan, pria kelahiran Desa Gimpubia, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, itu tak menyangkal kebiasaan warga Manado untuk memberi uang tanpa mengambil tisu yang ia tawarkan sungguh menguntungkan. ”Biar pun kepanasan, pulang tetap ada uang,” ujarnya sambil tertawa.
Baca juga: Sediakan Ruang Ekspresi bagi Penyandang Disabilitas
Simon mengakui cara hidup seperti itu sebenarnya tidaklah ideal. Namun, hanya berjualan yang terbukti bisa mendatangkan uang yang cukup untuk menghidupi istri dan anaknya, yaitu Rp 100.000-Rp 200.000 per hari.
Simon pernah menjadi juru pijat di klinik milik sejawatnya yang juga difabel netra antara 2007-2009 dengan berbekal ijazah sport massage dari Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Tumou Tou Manado. Namun, penghasilannya sangat kecil dan tak menentu.
”Waktu itu tarifnya Rp 75.000 per pasien, dibagi dua dengan pemilik panti pijat jadi Rp 37.500. Kadang satu hari cuma satu pasien, kadang dua, kadang tidak ada sama sekali. Masalahnya, banyak tunanetra jadi tukang pijat, jadi persaingan ketat,” katanya.
Simon bukannya tak pernah berjuang mencari celah. Ia sempat merantau ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 2010 dan 2011 untuk menjadi juru pijat, tetapi hasilnya tak jauh beda. Maka, kembalilah ia ke Manado dan mulai berjualan. ”Saya pikir yang pasti-pasti aja. Lebih baik jualan tisu daripada capek mengurut, tetapi cuma dibayar kecil,” kata mantan petani di perkebunan hortikultura Lembah Napu, Poso, itu.
Baca juga: Tingkatkan Aksesibilitas Sarana dan Prasarana bagi Penyandang Disabilitas
Meski demikian, hingga kini Simon merasa hidupnya belum sejahtera. Ia masih tinggal di rumah semipermanen berlantai tanah di daerah Mapanget. ”Kalau dibilang (hidup) susah, enggak juga karena masih makan. Dibilang cukup, enggak juga, karena belum punya tempat tinggal tetap,” katanya.
Terlepas dari keadaan hidupnya sekarang, Simon tak pernah berpikir untuk pulang kampung. Ia merasa keluarganya tak lagi menghiraukannya sejak ia kehilangan penglihatan pada 2003 di usia 28 tahun. Maka, ketika berkesempatan pindah ke Manado pada 2005, ia bersumpah tak akan kembali lagi.
Tidak sendiri
Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Manado mencatat, ada 126 difabel netra dari total 1.437 warga Manado yang menyandang disabilitas. Sebanyak 69 di antaranya teridentifikasi berjualan tisu, kacang, dan keripik di pusat kota, seperti Johanes dan Simon.
Kebanyakan dari mereka pernah mengikuti rehabilitasi sosial dan pelatihan keterampilan, seperti pijat, musik, dan kerajinan tangan di Sentra Tumou Tou Manado (dahulu SRPCN dan PSBN). Selama 50 tahun sejak 1972, pusat rehabilitasi sosial itu memang hanya melayani difabel netra dari delapan provinsi di Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Jangan kasih uang saja karena itu sebenarnya sama dengan merendahkan martabat kami.
Kepala Sentra Tumou Tou Kamsiaty Rotty khawatir semakin banyak difabel netra yang tergiur untuk turun ke jalanan. ”Karakter masyarakat Manado memang penuh kasih, suka memberi. Akhirnya, para difabel netra saling panggil karena pendapatan di jalan terbukti besar,” katanya ketika ditemui pada 9 Mei.
Bagi Johanes, sedekah yang warga berikan mustahil ditolak karena kebutuhan hidup terus mendesak, tetapi juga membuatnya malu. Ia khawatir, masyarakat berpikir difabel netra hanya pura-pura berjualan, padahal mengemis.
”Kami ini berusaha sebaik mungkin menjual barang. Paling tidak, belilah dagangan kami. Jangan kasih uang saja karena itu sebenarnya sama dengan merendahkan martabat kami,” katanya.
Difabel netra, lanjut Johanes, tak akan berakhir di jalanan seandainya potensi mereka terserap dalam perekonomian kota. Namun, beragam tantangan menghadang, dan mereka tak mampu menghadapinya sendiri.
Baca juga: Memastikan Hak Difabel di Masa Pandemi
Pertama, difabel netra tak dilirik dalam pasar tenaga kerja layaknya orang awas sekalipun tingkat pendidikan atau keahliannya sama. ”Ini karena image (persepsi) negatif terhadap tunanetra. Kami punya potensi, tetapi orang ragu. Jadi, tunanetra di Manado belum direkrut (menjadi tenaga kerja),” katanya.
Kedua, difabel netra kesulitan mengakses permodalan. Simon, misalnya, bermimpi untuk memiliki klinik pijat sendiri. Namun, ia tak bisa mendapatkan modal usaha puluhan juta rupiah dari bank karena tak punya agunan.
Simon sempat ingin mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) agar ia bisa memiliki rumah tetap yang dapat sekaligus ia jadikan klinik pijat. Permohonan itu berakhir dengan penolakan pula. ”Penghasilan dari jualan tidak menentu. Mereka (bank) pikir, takutnya cicilan tidak terbayar,” ujarnya.
Dalam keadaan ini, Simon merasa pemerintah melakukan pembiaran, terutama pemerintah kota. Mereka tidak digusur, tetapi tidak dibantu juga. Organisasi pengadvokasi hak difabel netra yang ia harapkan, yaitu Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sulut, juga nonaktif sejak 2019.
Maka, hanya keputusasaan yang tumbuh dalam dirinya. ”Percuma kami berharap untuk punya modal usaha karena tidak ada yang memperjuangkan,” keluhnya.
Bersambung ke Bagian 2: Difabel Netra di Manado: Terimpit Kebutuhan, Tak Punya Pilihan, Berakhir di Jalanan (Bagian 2)