Penyandang disabilitas turut menjadi pihak yang merasakan dampak pandemi, baik dari aspek kesehatan maupun ekonomi.
Oleh
Andreas Yoga Prasetyo
·4 menit baca
Penyandang disabilitas atau difabel merupakan orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan sensorik dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, 15 persen dari populasi dunia atau sekitar 1 miliar jiwa mengalami disabilitas. Di Indonesia, berdasarkan Susenas 2018, jumlah penyandang disabilitas usia dua tahun ke atas mencapai 12,3 persen dari total penduduk.
Pandemi Covid-19 yang masih terjadi di seluruh dunia turut memberikan tekanan bagi penyandang disabilitas. Dalam pandangan WHO, mereka memiliki risiko yang lebih besar tertular virus korona karena adanya potensi keterbatasan dalam melakukan protokol kesehatan, seperti mengakses tempat cuci tangan dan memakai masker sendiri.
Potensi kendala lain adalah kesulitan melakukan jaga jarak. Hal ini mengingat sebagian dari penyandang disabilitas memerlukan bantuan dari pihak lain. Selain itu, mereka juga tidak leluasa mendapatkan informasi mendalam seputar Covid-19.
Ragam kendala tersebut membuat penyandang disabilitas rentan terkena dampak Covid-19. Setidaknya ada tiga fase kerentanan yang dihadapi, yaitu berkurangnya akses ke perawatan kesehatan, munculnya risiko tertular virus korona, dan dampak sosial akibat pandemi.
Fase pertama adalah berkurangnya akses ke layanan perawatan kesehatan dan rehabilitasi rutin. Di masa pandemi seperti saat ini, sebagian besar sarana dan tenaga kesehatan dicurahkan untuk penanganan pandemi. Kondisi ini sedikit banyak berdampak pada terganggunya layanan kesehatan atau terapi rutin yang selama ini dijalani penyandang disabilitas.
Fase kerentanan kedua adalah risiko tertular virus SARS-CoV-2. Masifnya infeksi virus korona ditambah mutasi virus yang terus terjadi hingga saat ini dan kondisi kesehatan disabilitas menjadi faktor yang harus diwaspadai bagi penyandang disabilitas agar terhindar dari paparan virus.
Publikasi European Human Rights Report 2021 menunjukkan bagaimana kaum disabilitas di Eropa juga rentan terpapar virus korona. Di Irlandia, rasio kasus korona penyandang disabilitas adalah 548 untuk setiap 100.000 kasus. Penelitian antibodi di Spanyol yang dilakukan untuk melihat proporsi penyintas Covid-19 memperlihatkan ada 3,6-5,5 persen penyandang disabilitas yang pernah mengidap virus korona di Spanyol.
Di Indonesia, sejumlah kasus penularan Covid-19 juga dialami penyandang disabilitas. Salah satu contohnya terjadi pada Juni 2020, yaitu tujuh penyandang disabilitas mental di Jawa Timur positif terinfeksi Covid-19 setelah menjalani tes PCR.
Selanjutnya, mereka dirawat intensif di Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya. Kasus lain terjadi pada Desember 2020. Saat itu 221 penyandang disabilitas mental di sebuah panti sosial di kawasan Cipayung, Jakarta, terkonfirmasi positif virus korona.
Rentan
Paparan virus korona membuka kerentanan lanjutan berupa ancaman mortalitas. Jurnal The Lancet edisi 16 Maret 2021 juga memperlihatkan risiko kematian akibat Covid-19 bagi penyandang disabilitas di Inggris. Analisis kasus kematian akibat Covid-19 sepanjang 24 Januari hingga 30 November 2020 memperlihatkan ancaman kematian penyandang disabilitas lebih besar dibandingkan dengan orang tanpa disabilitas.
Laki-laki penyandang disabilitas di Inggris memiliki risiko 3,1 kali lebih besar mengalami fatalitas saat sudah terkena virus korona dibandingkan dengan pria tanpa disabilitas. Risiko lebih besar dialami perempuan disabilitas yang memiliki ancaman 3,5 kali lebih besar dibandingkan perempuan tanpa disabilitas.
Selain dampak dari aspek berkurangnya layanan kesehatan dan risiko terpapar virus korona, kerentanan lain yang juga dihadapi penyandang disabilitas datang dari sisi sosial ekonomi. Lesunya pertumbuhan ekonomi, penurunan daya beli, dan minimnya lapangan pekerjaan memberikan krisis kedua bagi kaum disabilitas dalam hal ekonomi.
Di Perancis, sebuah survei pada Mei 2020 terhadap 4.400 warga menunjukkan bahwa 56 persen penyandang disabilitas mengalami penurunan pendapatan setelah penerapan kebijakan karantina wilayah.
Nasib serupa juga dialami penyandang disabilitas di Inggris. Sebuah survei pada Juni 2020 menunjukkan ada 37 persen penyandang disabilitas menghadapi PHK akibat pembatasan sosial. Hilangnya penghasilan rutin ini memiliki dampak besar pada aktivitas dan kesejahteraan kaum disabilitas.
Fenomena serupa juga dialami penyandang disabilitas di Indonesia. Laporan Asesmen Cepat Dampak Covid-19 bagi Penyandang Disabilitas yang dilakukan Jaringan DPO Respons Covid-19 Inklusif pada Maret-April 2020 memperlihatkan penurunan penghasilan.
Sebanyak 85 persen dari penyandang disabilitas yang bekerja mengungkapkan mengalami penurunan pendapatan sebagai dampak krisis korona. Salah satu contohnya Pak Sugiyono yang menjadi tukang parkir toko di Jombang, Jawa Timur. Setelah kebijakan stay at home diterapkan pemerintah, ia otomatis berhenti bekerja dan kehilangan penghasilan.
Asesmen terhadap 1.362 penyandang disabilitas di 216 kabupaten/kota di Tanah Air ini juga mengungkapkan dampak lain berupa kesulitan yang dihadapi mereka di masa wabah Covid-19. Kesulitan paling besar adalah kendala mobilitas, seperti mengakses angkutan umum, ojek, dan taksi. Kesulitan berikutnya adalah mendapatkan pendampingan dan mengakses layanan terapi.
Perlindungan hak
Berbagai risiko yang dihadapi penyandang disabilitas menjadi gambaran pentingnya jaminan hak-hak mereka di masa pandemi ini. WHO menegaskan, menjadi tugas bersama untuk tetap memenuhi hak dasar bagi penyandang disabilitas. Mereka tidak boleh dilupakan, dibiarkan tanpa dukungan, serta tidak mendapat informasi dan komunikasi yang memadai.
Sejumlah langkah direkomendasikan WHO bagi negara-negara untuk memperhatikan hak-hak disabilitas agar tetap berdaya di masa pandemi. Salah satunya menjamin kemudahan akses informasi, seperti dengan mengembangkan informasi dalam format Braille dan menyediakan penerjemah bahasa isyarat.
Langkah lain adalah pemberian bantuan atau jaminan sosial sebagai antisipasi dampak buruk akibat penurunan dan hilangnya pendapatan. Untuk menjawab kekhawatiran mereka, pemerintah juga direkomendasikan membuka layanan komunikasi agar kaum disabilitas dapat berkomunikasi dan menyampaikan keluhan mereka. Untuk pencegahan penularan virus korona, WHO juga menegaskan jaminan untuk mendapatkan akses tes Covid-19 dan vaksin bagi penyandang disabilitas beserta pengasuhnya.
Dalam upaya melindungi penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia telah membuat berbagai program, seperti bantuan sosial berupa Program Keluarga Harapan (PKH) bagi warga lansia dan penyandang disabilitas serta bansos bahan pokok yang disalurkan Kementerian Sosial.
Demikian pula dalam upaya vaksinasi Covid-19 dengan total 562.242 target di seluruh Indonesia. Hingga 29 September 2021, setidaknya sudah 95 persen penyandang disabilitas di enam provinsi prioritas yang mendapat vaksinasi dosis pertama. Percepatan vaksinasi ini menggunakan vaksin Sinopharm, hibah dari Raja Uni Emirat Arab.
Langkah perlindungan kaum disabilitas di Indonesia juga memasuki era baru setelah dibentuk Komisi Nasional Disabilitas yang dilantik Presiden Jokowi pada 1 Desember 2021. Lembaga ini memiliki tugas melaksanakan pemantauan, evaluasi, serta advokasi pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Melihat tugas dan fungsinya, keberadaan Komnas Disabilitas diharapkan tidak hanya menjamin terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas, tetapi juga mewujudkan ”Tatanan Dunia yang Inklusif, Aksesibel, dan Berkelanjutan Pasca-Covid-19”. (LITBANG KOMPAS)