Desa Pela, Pesut, dan Hasrat Belajar yang Tak Surut
Desa seharusnya bisa jadi tempat belajar banyak orang tentang kehidupan.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
Desa Pela menjadi satu-satunya perwakilan Kalimantan Timur yang masuk 50 desa wisata terbaik dalam Anugrah Desa Wisata 2022 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Perkawinan antara digitalisasi, wisata, dan konservasi satwa langka pesut menjadi nilai penting yang bisa dicontoh dari desa di tepi danau ini.
Kabar itu diterima oleh warga Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, akhir April lalu. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno mengumumkannya melalui berbagai platform media sosial. Sandi menyebutkan, dari 70.000 desa di Indonesia, terjaring 3.419 desa wisata dari 34 provinsi pada 2022.
Dewan juri kemudian menyeleksinya beberapa kali dengan mempertimbangkan kelengkapan data dan berbagai klasifikasi mengenai desa wisata. Ribuan desa itu disaring menjadi 500 desa, kemudian diseleksi kembali menjadi 300 desa, 100 desa, dan terakhir 50 desa.
Nama Desa Pela terselip di 50 desa tersebut. Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Pela, Alimin, menyatakan, pengumuman itu membawa angin segar bagi warga. Sebab, Desa Pela masih tergolong baru mengembangkan sektor wisata, yakni sejak 2017.
”Penghargaan ini menjadi semacam bonus bagi kami. Yang terpenting, kami berupaya dan berharap sektor wisata bisa meningkatkan perekonomian warga sambil menjaga lingkungan,” kata Alimin saat dihubungi, Kamis (19/5/2022).
Desa Pela sebelumnya dikenal sebagai desa nelayan yang berada di tepi Danau Semayang seluas 13.000 hektar. Para penduduknya tinggal di atas rawa dengan rumah panggung kayu. Dari rumah warga ke rumah warga lain tersambung oleh jembatan kayu ulin yang membentang lebih dari 1 kilometer.
Desa ini juga masyhur karena pesut (Orcaella brevirostris) setiap hari muncul di Sungai Pela, sungai yang membentang di sepanjang Desa Pela. Namun, belakangan pesut kerap ditemui terjerat oleh jaring nelayan, mati membusuk, dan riskan tersengat alat setrum ikan.
Desa seharusnya bisa jadi tempat belajar banyak orang tentang kehidupan. Semoga kami bisa terus konsisten sehingga tidak hanya manfaat ekonomi yang didapat dari wisata, tetapi juga sikap.
Hal itu menjadi keprihatinan warga. Alimin menjelaskan, warga mencari formula bagaimana agar pesut tetap bisa ditemui tanpa mengganggu aktivitas nelayan. Setelah berkonsultasi ke berbagai pihak, warga sepakat membangun desa wisata dengan mengedepankan konservasi sungai dan vegetasi di sekitarnya.
”Warga sepakat melarang dan mengusir nelayan yang menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan. Warga juga gotong royong menghijaukan kembali tepi danau untuk menjaga kualitas air,” ujar Alimin.
Ia melanjutkan, setrum ikan berpotensi membuat ikan-ikan kecil, termasuk pesut, mati sebelum dewasa. Hal itu bisa merugikan nelayan lantaran mengurangi hasil tangkapan di masa depan. Konsep desa wisata, kata Alimin, diharapkan mampu mendorong seluruh warga untuk menjaga lingkungan sekaligus mendapatkan manfaat ekonomi.
”Kalau lingkungan terjaga, pesut berkembang biak dengan baik. Wisatawan bisa datang kapan saja untuk melihat satwa langka pesut. Manfaat ekonominya, rumah warga bisa disewa untuk penginapan wisatawan, warung bisa lebih ramai karena ada pengunjung dari luar desa, tangkapan ikan nelayan juga bisa jadi menu khas bagi turis,” katanya.
Kepala Desa Pela Supyannoor menilai, desanya menjadi 50 desa wisata terpilih di tahun 2022 ini sebagai kemenangan kecil. Baginya, kemenangan besar sebuah desa adalah yang mampu menjadi tempat edukasi bagi warga dan pengunjung untuk selalu hidup adil dengan alam. Sebab, tanpa alam yang baik manusia dan satwa tak mungkin hidup nyaman dan saling menguntungkan.
”Desa seharusnya bisa jadi tempat belajar banyak orang tentang kehidupan. Semoga kami bisa terus konsisten sehingga tidakhanya manfaat ekonomi yang didapat dari wisata, tetapi juga sikap,” katanya.
Pernyataan kepala desa itu ada benarnya. Kini, kemunculan mamalia air tawar tersebut di Sungai Mahakam, yang semula dikenal sebagai habitat pesut, sulit sekali ditemui. Padahal, tahun 70-an, pesut masih mudah dilihat di depan kantor Gubernur Kaltim.
Disinyalir, pesut tak lagi muncul di sana karena semakin sibuk dan tercemarnya Sungai Mahakam akibat berbagai aktivitas industri. Beruntung, Kaltim punya Desa Pela yang secara langsung dan tak langsung warganya turut menjaga ekosistem sungai sehingga pesut bisa bertumbuh dan hidup di sekitar desa itu.
Dunia maya
Selain konservasi, Desa Pela juga sedang melangkah ke arah promosi melalui internet. Selain melalui media sosial, Desa Pela membangun situs desawisatapela.com untuk memberi informasi dasar mengenai potensi wisata di desanya.
Meskipun masih terdapat sejumlah hal teknis yang perlu diperbaiki, setidaknya Desa Pela terus melangkah dan belajar berbagai kemungkinan baru di era internet ini. Warga nelayan setidaknya bisa belajar membangun website dan mempromosikan desanya melalui tulisan, foto, dan video.
”Kami juga bekerja sama dengan Yayasan Konservasi RASI untuk membuat informasi mengenai pesut dan kehidupan sungai. Itu dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia,” kata Alimin.
Bahkan, yang terbaru, sejumlah warga sudah menyediakan pembayaran nontunai. Hal itu untuk memudahkan wisatawan melakukan transaksi sekalipun di pedesaan. Berbagai kreativitas itu agaknya yang menjadikan Desa Pela terpilih menjadi salah satu desa wisata terbaik 2022.
Sebab, aspek penilaian juri tak melulu soal potensi wisata, melainkan juga kemampuan mempromosikan desa dan kreativitas.
”Tujuh aspek penilaiannya adalah daya tarik pengunjung, homestay, toilet umum, suvenir, digital dan kreatif, penerapan protokol kesehatan, dan kelembagaan,” ujar Sandiaga dalam sambutannya di laman resmi Kemenparekraf.