Tiga kali puasa, tiga kali Lebaran. Tak ada yang tahu virus korona akan pergi kapan. Namun, di Manado, sebersit kelaziman hidup layaknya masa prapandemi Covid-19 mulai terasa dalam perayaan Idul Fitri 1443 Hijriah.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
Tiga kali puasa, tiga kali Lebaran. Tak ada yang tahu virus korona akan pergi kapan. Namun, Yunita Lamaluta (28), warga Manado, Sulawesi Utara, mulai merasakan kembali sebersit kelaziman hidup layaknya masa prapandemi Covid-19 dalam perayaan Idul Fitri 1443 Hijriah yang jatuh pada Senin (2/5/2022).
Untuk pertama kalinya sejak 2020, ia berdiri dalam saf shalat Idul Fitri tanpa jarak 1 meter dari umat di kanan kirinya. ”Tahun lalu safnya jarang-jarang karena harus jaga jarak. Sekarang sudah tidak ada jarak, tetapi tetap patuh protokol kesehatan dengan pakai masker,” ujar Yunita yang mengikuti shalat Idul Fitri di Masjid Al Hikmah di kawasan Asrama Sapta Marga XII.
Seperti tahun lalu, selepas shalat Idul Fitri, Yunita dan ibu mertuanya, Husna Suleman (63), bertolak ke kompleks Makam Sekar Kedaton di bilangan Mahakeret. Mereka berziarah ke kuburan kerabat-kerabat terdekat Husna, dari orangtua, saudara, anak, hingga cucu.
Tali silaturahmi pun mereka jalin kembali dengan yang telah purna dari dunia dalam darasan ayat-ayat Surat Yasin. Setelah itu, keduanya akan kembali ke rumah untuk bersiap menyambut handaitaulan yang datang dari jauh.
Segala macam kudapan dan hidangan telah disajikan. ”Tahun ini open house, beda dengan tahun lalu, closed house,” ujar Yunita berkelakar.
Husna pun tak menyembunyikan kegembiraan hatinya di Lebaran yang telah terasa normal kembali. Umat Islam di Manado dan Sulut saat ini tak hanya merayakan kemenangan terhadap hawa nafsu, tetapi juga terhadap virus korona, setidaknya untuk sementara.
Sebanyak 51.334 kasus telah terkonfirmasi sepanjang dua tahun lebih pandemi di Sulut, tetapi jumlah kasus aktif saat ini hanya 0,1 persen atau sebanyak 51 orang, sedangkan tingkat kesembuhan mencapai 97,6 persen. Keterisian ruang isolasi biasa di lebih dari 50 rumah sakit rujukan Covid-19 hanya 0,79 persen, sedangkan ruang isolasi unit perawatan intensif (ICU) 2,17 persen.
Karena itu, suasana Idul Fitri pun terasa khusyuk, termasuk bagi Risno Muhammad (37), warga Kelurahan Karame. Namun, baginya tak banyak yang berbeda dibanding tahun lalu. Ia dan saudara-saudaranya tetap saling mengunjungi meski pemerintah melarang open house dan mudik tahun lalu.
Satu-satunya hal yang berbeda adalah kini ibundanya telah tiada. Ia pun mengenangnya dengan berziarah ke Makam Sekar Kedaton, tempat ibunya dikebumikan, setelah shalat Idul Fitri. ”Memang tahun ini lebih bebas, tetapi bagi saya lebih sepi karena orangtua sudah tidak lagi bersama kami,” ujarnya.
Meriah, tetapi sepi
Sementara itu, di Kelurahan Istiqlal atau yang lebih dikenal dengan Kampung Arab, suasana kemeriahan telah terasa. Warga keturunan Arab, dengan baju gamis berbahan kaftan yang tampak anyar, saling berjabat tangan dan menempelkan pipi, bertukar ucapan maaf lahir batin.
Bocah-bocah pun bersafari dari rumah ke rumah, masuk ke halaman dan berseru ”Assalamualaikum!” Sesaat kemudian, mereka keluar dengan lembaran Rp 2.000, Rp 5.000, dan Rp 10.000 yang semakin tebal di tangan. Uang Lebaran itu mereka bentangkan agar tak kusut.
Rifqi (10) mengaku tak tahu berapa uang yang telah ia kumpulkan. Ia duga sudah ratusan ribu rupiah. Ia ingin dapat jumlah yang setidaknya sama dengan tahun lalu. ”Tahun lalu keliling juga, dapat Rp 1 juta-an,” katanya sambil merapikan segepok uang kertas yang ia pegang.
Suasana itu pun membuat Sadiq Basalama (50), salah satu warga Kampung Arab, bersyukur. Akhirnya ia bisa berkunjung ke rumah kerabat-kerabat terdekat tanpa rasa takut. ”Beda dengan tahun lalu, tidak boleh pasiar (berkunjung). Sekarang, Alhamdulillah kami sehat-sehat dan (pembatasan sosial) sudah agak longgar,” katanya.
Kendati begitu, masih banyak rumah yang pintunya terkunci rapat. Sadiq mengatakan, bisa jadi sebagian warga belum mau menerima tamu karena masih waswas gara-gara pandemi. ”Makanya hari ini (hari pertama Idul Fitri), kebanyakan warga hanya berkunjung ke rumah saudaranya sendiri,” kata Sadiq.
Walakin, sepinya Kampung Arab tak menghalangi kelompok hadra Masjid Al Ikhlas Karame untuk berkeliling kampung berisi kira-kira 450 rumah itu sambil melantunkan shalawat diiringi tabuhan rebana. Warga yang rumahnya dikunjungi kemudian akan memberikan uang yang nantinya akan digunakan untuk kepentingan jemaat masjid.
Dadang Ali, salah satu anggota senior kelompok hadra Masjid Al Ikhlas, tak tahu betul nama tradisi yang mereka lakukan. Mereka hanya menyebutnya tawaf, istilah yang digunakan untuk mengacu keliling Kabah tujuh kali dalam ibadah haji.
”Hampir tidak ada beda. Tahun lalu, kami juga tawaf, jadi pandemi tidak menghalangi tradisi tahunan kami. Jumlah rumah yang kami kunjungi juga tidak ada beda. Besok, kami akan tawaf di kampung sendiri di Karame,” ujarnya.
Lebaran ketiga pada masa pandemi pun memantik bara harapan bagi umat Islam di Manado akan kembalinya kehidupan normal. Kini, menjadi tugas mereka untuk menjaga kobarnya, seperti kata Yunita ketika ditemui di Makam Sekar Kedaton. ”Alhamdulillah, tahun ini sudah lebih bebas. Pokoknya sekarang tetap jaga protokol,” ujarnya.