Demi Lebaran Bersama Keluarga, Pemudik Tak Ingin Kalah Melawan Lelah
Perjalanan panjang yang melelahkan telah mengantarkan pemudik ke kampung halaman. Kini, saatnya membayar lelah itu dengan berbagi kebahagiaan bersama keluarga tercinta sembari tetap menjaga protokol kesehatan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·6 menit baca
Pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat membuat warga lebih leluasa merayakan Lebaran secara meriah tahun ini. Namun, di balik kemeriahan Idul Fitri pada Senin (2/5/2022) ini, ada peluh dan lelah dari jutaan pemudik selama perjalanan pulang kampung. Inilah kisah para pemudik yang berjuang melawan lelah demi Lebaran bersama keluarga.
Siang menjelang, terik matahari mulai menyengat kulit di jalur pantai utara (pantura) Jawa, Sabtu (30/4/2022). Banyak pemudik sepeda motor yang menepi di warung-warung pinggir jalan untuk beristirahat atau sekadar berteduh. Mereka mengambil jeda, tetapi tak ingin kalah melawan lelah demi menghapus dahaga bertemu keluarga pada hari raya Idul Fitri.
Deretan sepeda motor pemudik terparkir di jalur pantura di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Sabtu pukul 11.30. Sebagian pemiliknya masuk ke rumah makan dan warung dadakan di sepanjang jalan itu.
Namun, ada juga yang merebahkan tubuh di atas sepeda motor. Dua potong kayu dipasang vertikal di bagian belakang sebagai sandaran. Mereka memarkirkan kendaraan di bawah pohon untuk menghalau cuaca panas.
Setelah empat jam menunggangi “kuda besi” dari Bekasi, Jawa Barat, Heri (28), pemudik tujuan Batang, Jawa Tengah, memutuskan menepikan kendaraannya di Kandanghaur, Indramayu. Padahal, ia menargetkan singgah di Cirebon sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan.
”Panasnya enggak tertahan. Padahal sudah pakai jaket, tetapi masih terasa di kulit. Jadi gampang haus juga,” ujar Heri sembari melepas sarung tangannya.
Lalu lintas di jalur pantura siang itu tidak terlalu ramai. Pengemudi sepeda motor dapat memacu kendaraan dengan kecepatan di atas 80 kilometer per jam.
Berbeda dengan kebanyakan pemudik yang memilih beristirahat di rumah makan dan warung, Heri tetap duduk di sepeda motornya. Sesekali ia tersenyum melihat pemudik yang melintas dengan beraneka barang bawaan.
Kebanyakan pemudik sepeda motor membawa barang melebihi kapasitas. Selain berbonceng tiga atau lebih, tak sedikit yang memodifikasi kendaraannya agar bisa membawa barang lebih banyak. Heri juga ikut melakukan itu untuk membawa oleh-oleh pakaian.
Pekerja pabrik onderdil mobil di Cikarang, Bekasi, itu mengakui, kelebihan beban bisa berbahaya karena membuatnya lebih sulit menjaga keseimbangan saat berkendara. ”Semua pemudik mungkin menyadarinya. Tetapi, namanya juga rindu sama keluarga di kampung, apa pun akan dilakukan,” katanya.
Perjuangan mereka belum berakhir. Mereka harus rela mengantre di depan toilet karena membeludaknya pemudik. Tak sedikit yang masuk ke restoran untuk sekadar menumpang menggunakan toilet.
Sudah dua tahun Heri tidak mudik akibat pandemi Covid-19. Namun, ia tetap bersyukur karena tidak kehilangan pekerjaan. Sebab, beberapa rekannya justru mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perusahaan tempatnya bekerja mengurangi jumlah karyawan atas alasan efisiensi.
”Ibu dan bapak di kampung sebenarnya enggak minta dibelikan apa-apa. Mereka cuma ingin saya pulang Lebaran tahun ini. Sudah kangen, katanya, dua tahun enggak bertemu,” ucapnya.
Sementara itu, Surono (36), pemudik sepeda motor tujuan Pemalang, Jawa Tengah, tak kuat menahan dahaga. Setelah memarkirkan kendaraannya, ia melangkah cepat masuk ke rumah makan di Kandanghaur bersama istri dan anaknya.
”Mi goreng tiga. Es teh manisnya tiga juga, Mbak. Minumannya duluan, ya. Sudah haus banget ini,” ujarnya kepada pramusaji.
Surono berangkat dari Tangerang, Banten, pukul 08.00. Ia tiba di Indramayu sekitar pukul 12.00. Setelah menyantap makanan dan minuman, ia berjalan ke belakang restoran yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari Laut Jawa.
Banyak pemudik berfoto di lokasi itu. Beberapa di antaranya tidur di bawah pohon untuk melepas lelah dan memulihkan stamina.
”Empat jam naik motor, di jalan cuma lihat kendaraan sama aspal. Mata lelah juga. Lumayan di sini bisa lihat laut meskipun airnya butek,” tutur Surono, diikuti tawa.
Sehari sebelumnya, Jumat (29/4/2022), kelelahan juga menyergap pemudik pengguna mobil yang melewati tol. Perjalanan dari Jakarta menuju Rest Area (tempat istirahat) Kilometer 57 Tol Jakarta-Cikampek, yang dalam kondisi normal memakan waktu sekitar 1,5 jam, molor menjadi empat jam.
Salah satu lokasi kemacetan terparah berada di Km 54. Selain volume kendaraan dari arah Jakarta terus meningkat, juga terjadi antrean kendaraan masuk ke Rest Area Km 57. Alhasil, perjalanan dari Km 54 menuju Km 57 memakan waktu 30 menit.
Tempat istirahat itu dipadati pemudik, Jumat pukul 10.30. Hal ini menyebabkan antrean kendaraan yang masuk sehingga sempat membuat lalu lintas tersendat. Bahkan, sejumlah pemudik yang tidak mendapatkan tempat parkir memarkirkan kendaraannya di bahu tol. Mereka turun melompati pembatas tol dan masuk ke rest area untuk membeli makan dan minuman serta ke toilet.
Namun, perjuangan mereka belum berakhir. Mereka harus rela mengantre di depan toilet karena membeludaknya pemudik. Tak sedikit yang masuk ke restoran untuk sekadar menumpang menggunakan toilet.
“Padahal sudah berangkat pagi dari Jakarta, masih kena macet panjang. Ke toilet pun ada macetnya (antre) juga ternyata,” ujar Anwar (31), pemudik tujuan Semarang, Jawa Tengah.
”Untungnya di toilet enggak ada ganjil genap ya, Mas,” ujar seorang pemudik, yang berada di belakangnya, menimpali dan diikuti tawa pemudik lainnya.
Kepadatan kendaraan kembali terjadi di Km 72 Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) sekitar pukul 12.00. Penyebabnya, ada penyempitan lajur atau bottleneck. Sejumlah pengemudi berebut masuk ke tol tersebut sehingga menyebabkan macet.
Untuk mengurai kemacetan, kepolisian menerapkan sistem satu arah (one way) di Tol Cipali. Setelah sistem satu arah diterapkan, sejumlah kendaraan dari lajur A masuk ke lajur B di Km 85. Alhasil, kemacetan mulai terurai sejak Km 86.
Sayangnya, sistem satu arah ini disalahgunakan oleh banyak pemudik. Mereka menggeser pembatas jalan portabel yang dipasang di tempat berputar kendaraan untuk berpindah lajur. Hal ini membuat kendaraan di belakangnya harus mengurangi laju kendaraan sehingga membuat lalu lintas tersendat.
Imbasnya, kemacetan pun tak terhindarkan. Akibat kelelahan, sejumlah pemudik beristirahat di bahu tol. Ada yang makan bersama, berfoto, hingga sekadar melemaskan otot-otot yang kaku.
Di Km 142 Tol Cipali, sejumlah pemudik turun dari mobil dan melepas alas kaki. Mereka kemudian memanjat tembok penahan tanah di pinggir tol. Beberapa di antaranya berbaring beralaskan karpet plastik.
Tak jauh dari situ, sebuah mobil juga berhenti di bahu tol. Penumpangnya membuka jendela sambil melambaikan tangan kepada pengguna jalan lainnya yang melintas. Mereka pun merekam menggunakan telepon seluler sambil tertawa.
Perjalanan mudik saat itu memang sangat melelahkan. Perjalanan Jakarta-Cirebon yang biasanya ditempuh dalam 3-4 jam memakan waktu sampai 10,5 jam.
PT Jasa Marga mencatat, sebanyak 105.016 kendaraan melintasi Gerbang Tol Cikampek Utama, Jumat. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan puncak mudik pada 2019 dengan 103.077 kendaraan.
”Yang tertinggi itu kemarin (Jumat). Dari awal, kami sudah memprediksi puncak mudik pada 29 April,” ujar Corporate Communication and Community Development Group Head Jasa Marga Dwimawan Heru, Sabtu malam.
Perjalanan panjang yang melelahkan telah mengantarkan pemudik ke kampung halaman. Kini, saatnya membayar lelah itu dengan berbagi kebahagiaan bersama keluarga tercinta sembari tetap menjaga protokol kesehatan.