Mengharap Pahala dan Memulihkan Diri dengan Iktikaf
Selama 10 hari terakhir Ramadhan, sebagian umat Islam memiliki kebiasaan melakukan iktikaf. Dengan iktikaf, sejumlah orang berharap mendapat pahala, diampuni dosa-dosanya, serta memulihkan diri dari kesedihan.
Selama 10 hari terakhir Ramadhan, sebagian umat Islam memiliki kebiasaan melakukan iktikaf, yakni berdiam diri di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan iktikaf, sejumlah orang berharap mendapat pahala dan diampuni dosa-dosanya. Ada juga yang menjadikan iktikaf sebagai sarana pemulihan diri setelah kehilangan keluarga dekatnya.
Hampir 2 jam lebih Doni (34) duduk bersila menghadap kiblat di Masjid Istiqlal, Jakarta. Sambil memegang Al Quran di tangan kanannya, dia membaca ayat-ayat di kitab suci tersebut. Sesekali, dia berhenti untuk menarik napas dan terkadang menengadah ke atas.
Pria asal Jatinegara, Jakarta Timur, itu sudah dua hari berada di Masjid Istiqlal untuk menjalankan iktikaf. Menurut rencana, dia berada di situ selama tiga hari. Namun, Doni akan melanjutkan lagi iktikaf tiga hari sebelum hari raya Idul Fitri.
Bagi Doni, iktikaf menjadi momentum untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah. Setelah ibunya meninggal karena Covid-19 pada Agustus 2021, Doni merasakan kemarahan yang membuatnya menjauh dari ajaran agama. Hal itu karena dia sempat merasa tidak ikhlas dengan kepergian sang ibu.
Baca juga: Mencari Kemuliaan Malam Seribu Bulan dengan Iktikaf di ”Kota Wali”
Bahkan, Doni sempat tak menjalankan shalat selama beberapa waktu dan menjadi pribadi yang lebih suka tersinggung. ”Pandemi ini seperti menjadi refleksi buat saya untuk dekat kepada Allah. Saya jauh dan marah karena merasa berat melepas mama,” kata Doni saat ditemui, Senin (25/4/2022) dini hari.
Di dalam kemarahan dan keputusaan itu, Doni merasa makin terpuruk secara mental. Dia pun merasa takut saat hendak tidur. “Mau tidur saja tuh takut lho karena enggak tenang dan takut mimpi buruk. Kerjaan jadi kacau,” tutur dia.
Di tengah kondisi itu, Doni kemudian teringat cerita almarhum ayahnya tentang iktikaf. Ingatan itulah yang kemudian membuat Doni mencoba melakukan iktikaf di Masjid Istiqlal.
”Seminggu sebelum Ramadhan kemarin, enggak tahu tiba-tiba kepikiran papa dan baru ingat dulu papa pernah cerita tentang iktikaf. Nah, itu kenapa sekarang saya ada di sini sekarang. Saya berharap dengan kesungguhan menjalankan iktikaf ini, Allah buka pintu maaf dan mengobati rindu dan ikhlas melepas mama,” ujar Doni.
Sejak menjalankan itikaf, Doni merasakan perasaan tenang yang tak ia rasakan sebelumnya. Bahkan, di sela-sela iktikaf, dia juga bisa tidur dengan nyenyak di tepi selasar masjid. Kemarahan dan kesedihan karena meninggalnya sang mama pun perlahan-lahan menghilang.
”Saya bingung, ya, menjelaskannya gimana, tapi rasanya tenang. Dan sekarang kalau ingat mama, sudah enggak sakit banget seperti sebelumnya. Saya mau menyambut Lebaran ini tidak dengan marah dan sedih,” tutur Doni.
Baca juga: Bubur Banjar Samin, Perekat Persaudaraan Antaretnis di Surakarta
Selain Doni, Fuadi (25) juga menjalankan iktikaf di Masjid Istiqlal. Bagi Fuadi, menjalankan itikaf artinya membuka diri dan mendekatkan diri tidak hanya kepada Allah, tetapi juga kepada lingkungan dan sekitarnya.
”Iktikaf ini salah satu cara menyempurnakan ibadah. Tapi, kadang kita lupa dan khilaf menjalankan ibadah tanpa dibarengi kepedulian terhadap lingkungan dan sesama. Ibadah dan iktikaf semakin bermakna untuk saya dengan belajar untuk menghargai dan menolong sesama,” kata Fuadi.
Berpindah-pindah
Kebiasaan iktikaf juga dimiliki oleh Budi (35), warga Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang, Jawa Tengah, sejak beberapa tahun terakhir. Pada tahun-tahun sebelumnya, Budi biasanya beriktikaf di masjid dekat rumahnya. Namun, tahun ini, dia memilih beriktikaf dengan berpindah-pindah masjid setiap harinya.
Menurut Budi, beriktikaf saat Ramadhan sangat dianjurkan. Dia meyakini, dengan beriktikaf, dirinya akan mendapatkan pahala yang berlimpah serta diampuni dosa-dosanya. ”Ramadhan adalah saat yang tepat untuk mengumpulkan pahala. Makanya saya beriktikaf,” katanya.
Tak hanya Budi, banyak warga Semarang lain yang memiliki kebiasaan iktikaf. Salah satu masjid di Semarang yang banyak dipakai untuk iktikaf ialah Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT).
Kamis (21/4/2022) dini hari lalu, sejumlah orang tampak duduk sambil mengaji di MAJT. Sebagian dari mereka memegang tasbih. Sementara itu, yang lainnya duduk tertunduk sambil memejamkan mata. Mereka duduk berjarak satu sama lain.
Di kanan dan kirinya ada botol-botol minum dan plastik berisi makanan ringan. Beberapa orang juga terlihat membawa rantang. Menurut Sukarno, penjaga MAJT, orang-orang tersebut sedang beriktikaf.
”Kalau masih belum malam ke-21 Ramadhan, biasanya memang ada yang beriktikaf, tapi belum ramai, sekitar lima sampai tujuh orang. Nanti setelah malam ke-21 kemungkinan akan lebih banyak lagi,” ucap Sukarno.
Baca juga: Beres-beres Rumah Sambut Sanak Keluarga Jelang Hari Raya
Sebelum pandemi, jumlah orang yang beriktikaf di MAJT mencapai 100 orang per harinya. Tak hanya dari Kota Semarang, biasanya mereka datang dari sejumlah wilayah di sekitar Semarang, seperti Kendal dan Demak.
”Kalau iktikaf itu biasanya duduknya berjauhan antara satu orang dengan yang lain, jadi sudah jaga jarak. Kapasitas masjid ini sekitar 15.000 orang. Kalau yang iktikaf sekitar 100 orang, masih bisa pengaturan jaga jaraknya,” imbuh Sukarno.
Kebiasaan melakukan iktikaf juga dilakukan oleh Cesnasari (45), warga Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Namun, berbeda dengan kebanyakan orang yang melakukan iktikaf di masjid, perempuan itu memilih melakukan iktikaf di rumah.
”Umumnya, iktikaf memang dilakukan di masjid, tetapi saya merasa lebih nyaman kalau melakukannya di rumah. Rasanya saya bisa lebih khusyuk karena sunyi,” ujar Cesnasari.
Biasanya, Cesnasari menjalani iktikaf seorang diri setelah pulang dari shalat Tarawih di masjid. Sementara itu, suaminya menjalani iktikaf di masjid. Kegiatan iktikaf diisi Cesnasari dengan membaca Al Quran dan berdoa. Selesai iktikaf, ibu dari tiga anak itu langsung menjalankan shalat Tahajud, kemudian menyiapkan sahur untuk suami dan anak-anaknya.
”Seusai sahur dan shalat Subuh, biasanya langsung tidur supaya tidak mengantuk saat beraktivitas di siang hari,” katanya.
Masjid terluas kedua
Di Surabaya, Jawa Timur, Masjid Nasional Al Akbar menjadi salah satu pilihan warga untuk menjalankan iktikaf dan qiyamul lail atau ibadah malam di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Masjid yang diresmikan pada 10 November 2000 ini berkapasitas 60.000 anggota jemaah.
Luas masjid itu 22.300 meter persegi sehingga menjadi yang terbesar kedua di Indonesia setelah Masjid Istiqlal di Jakarta. Letaknya juga strategis karena berada di samping ujung lajur keluar atau off ramp Jambangan Menanggal Jalan Tol Surabaya-Gempol.
Saat ini, Surabaya berada dalam Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 1. Dalam situasi Level 1, kegiatan ibadah bisa dilaksanakan dengan kehadiran umat 100 persen. Namun, jemaah diingatkan untuk tetap menerapkan protokol kesehatan terutama bermasker selama beribadah.
Menurut Helmy M Noor dari Humas Masjid Nasional Al Akbar, sesuai Surat Edaran Wali Kota Surabaya mengenai PPKM Level 1, kegiatan shalat berjemaah akan dijalankan dengan saf normal. Oleh karena itu, kapasitas masjid untuk kehadiran jemaah bisa dioptimalkan.
”Namun, jemaah wajib memakai masker, cek suhu tubuh, dan alas kaki dibawa masuk,” kata Helmy. Pengurus masjid menyiapkan kantong plastik bagi jemaah untuk menaruh dan membawa alas kaki ke dalam. Dengan begitu, seusai ibadah, diharapkan tak terjadi kerumunan orang mencari alas kaki.
Qiyamul lail diadakan pukul 01.00-03.00 selama sepuluh hari terakhir Ramadhan. Penentuan imam dan penceramah sudah terjadwal. Pengurus masjid telah memastikan seluruh prasarana dan sarana pendukung berfungsi baik, yakni penerangan, sistem suara, tempat wudu, dan toilet. Jemaah yang akan mengikuti qiyamul lail dan diteruskan dengan sahur harus membawa sahur sendiri.
Dwi Cahyono, warga Jambangan, Surabaya, mengatakan, dirinya memilih beribadah di Masjid Nasional Al Akbar karena relatif dekat dengan kediaman. Beberapa hari ini, ia menjumpai jemaah dari luar kota yang singgah di masjid tersebut.
”Letaknya memang strategis sehingga mereka yang melakukan perjalanan dari arah Gresik, Jawa Timur, lewat jalan tol dan perlu beribadah bisa singgah sebentar dan beribadah di Al Akbar,” kata Dwi. Kapasitas bangunan yang amat besar juga membuat jemaah leluasa. Pengurus masjid juga menjaga tempat ibadah ini tetap resik.