Mencari Kemuliaan Malam Seribu Bulan dengan Iktikaf di Kota Wali
Iktikaf selalu dirindukan umat Islam saat Ramadhan tiba. Mereka meyakini, dari sepuluh malam pada pengujung Ramadhan, ada satu malam Lailatul Qadar yang lebih mulia dari seribu bulan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Waktu sudah menunjukkan pukul 24.00 di Masjid At-Taqwa, Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (23/4/2022). Namun, puluhan anggota jemaah masih terjaga. Ada yang mengaji, mendengar lantunan ayat Al Quran dari ponselnya, berzikir menundukkan kepala, atau sekadar berbaring.
Begitulah suasana iktikaf, berdiam diri di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebagian umat Islam memang memiliki tradisi melakukan iktikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Sebab, pada sepuluh malam terakhir itu, diyakini terdapat malam Lailatul Qadar yang lebih mulia dari seribu bulan.
”Barangkali Allah memberi bonus Lailatul Qadar, ini anugerah besar. Kalau Allah rida, kita dapat pahala untuk 84 tahun, sedangkan umur kita belum tentu selama itu. Sayang sekali kalau tidak menggunakan kesempatan ini,” ujar Muhammad Ali Syamsudin (64), salah seorang warga yang melakukan iktikaf di Masjid At-Taqwa.
Ali berencana iktikaf di Masjid At-Taqwa hingga malam terakhir Ramadhan. Imam di salah satu masjid di Desa Adidharma, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon, tersebut rela tak bertemu dengan keluarga untuk sementara. Ia ingin lebih fokus berdialog dengan diri sendiri dan Sang Pencipta.
”Istri tadi ke sini, nganterin bekal,” ujar Ali sembari menunjukkan tas biru berisi roti, air mineral, dan minuman kemasan rasa kacang hijau. Tidak hanya itu, Ali juga membawa sarung, bantal, dan matras yang ia bikin sendiri. Perlengkapan itu untuk menghindarkannya dari dingin malam.
”Justru istri senang kalau suaminya ibadah. Kalau dugem mah enggak senang, ha-ha-ha,” ujarnya. Saking fokusnya iktikaf, pria tinggi berpeci ini kadang tidak menghabiskan bekalnya. Tidurnya hanya berkisar tiga jam semalam. Ia mengganti jam istirahat dengan zikir dan mengaji.
Ali tak menyebut secara spesifik tujuannya iktikaf selain mencari malam Lailatul Qadar. Bertahun-tahun beriktikaf di sejumlah masjid di Cirebon dan Bandung, ia merasa lebih baik. ”Kalau iktikaf, ada perasaan tenang dan tidak galau meskipun lagi ada masalah,” ujarnya.
Di sepertiga malam terakhir, ia beristigfar dan memohon ampun atas kekhilafannya selama ini. Ali kembali teringat kebesaran Allah SWT yang mampu menghidupkan dan mencabut nyawa makhluknya. ”Kalau usia seperti kita ini, seharusnya lebih banyak di sini (iktikaf),” ujarnya.
Ali memilih Masjid At-Taqwa sebagai tempat iktikaf karena masjid itu luas, lokasinya di pusat kota, dan ada kajian yang rutin setiap pukul 01.00-03.00. Masjid yang didirikan 1918 itu pun seolah menjelma rumah keduanya. Di sana, ia sahur, berbuka puasa, hingga mandi di kamar kecil yang disediakan.
Masjid yang berdekatan dengan Alun-alun Kejaksan itu ramai dikunjung jemaah. Pedagang kopi, ketoprak, hingga kerak telur juga berjejer di depan masjid. Mobil-mobil tidak hanya di area masjid, tetapi juga parkir di bahu jalan. Di dalam masjid, hanya terdengar lantunan ayat suci.
Suasana ini berbeda dengan Jalan Cipto Mangunkusmo, tidak jauh dari At-Taqwa. Malam itu, kendaraan macet sekitar 1 kilometer. Dengan laju berkisar 10 kilometer per jam, pengendara seakan berebut masuk pusat perbelanjaan, mal, hotel dan restoran di sepanjang jalan tersebut.
Kota Cirebon menjadi pusat perekonomian di wilayah Jabar bagian timur. Warga Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan acap kali memadati kota seluas 39 kilometer persegi ini. Bahkan, jumlah orang di Cirebon bisa lebih dari 1 juta, tiga kali lipat penduduknya.
Nana Sumarna (37), warga Kertasemaya, Indramayu, rela datang ke Cirebon untuk iktikaf. Bersama istri dan anaknya yang berusia 6 tahun, Nana mengendarai sepeda motor selama 1,5 jam menuju Masjid At-Taqwa. Mereka berbuka puasa, Tarawih, dan sahur di masjid.
Di pengujung malam itu, mulut Nana terus bershalawat. Mengenakan kopiah dan jaket hitam, ia kerap menunduk. Sesekali ia melihat langit-langit masjid. ”Istri pengin merasakan iktikaf di sini. Kami semalam saja. Besok mungkin lanjut iktikaf di Islamic Center Indramayu,” katanya.
Selain memburu malam Lailatul Qadar, Nana menyelipkan harapan agar hidup lebih sejahtera. Sehari-hari, ia dan keluarga menggantungkan hidup pada jualan bahan kebutuhan pokok. ”Dulu, saya pernah jual jaket di PGC (Pasar Grosir Cirebon). Hanya bertahan tujuh bulan, bangkrut,” katanya.
Pandemi Covid-19 sejak 2020 sempat berdampak pada usaha sembakonya. Ia pun berencana kembali menjadi pekerja migran Indonesia di Jepang. Dengan gaji hingga Rp 13 juta per bulan di sana, Nana bisa mengembangkan usahanya, termasuk membiayai pengobatan ibunya yang sakit.
Setelah melengkapi berbagai dokumen dan wawancara, Nana menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa. ”Saingannya banyak. Yang pulang 2021 saja mau berangkat lagi. Saya sedang proses ke Jepang, semoga bisa lulus,” kata Nana yang pernah ke Jepang pada 2008-2011.
Ketua At-Taqwa Center Ahmad Yani mengatakan, Masjid At-Taqwa kerap menggelar berbagai program saat bulan puasa. Untuk sepuluh malam terakhir Ramadhan, pihaknya bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Dakwah Al-Bahjah melaksanakan acara bertajuk ”Malam Iktikaf Menggapai Lailatul Qadar”.
Kegiatan pada pukul 01.00-03.00 itu dipandu langsung Buya Yahya dan disiarkan secara daring via Youtube. Selain mendengar tausiah, jemaah juga shalat tasbih, mendapatkan wirdul fatih, dan berdoa bersama Buya Yahya. Pengelola masjid bahkan menyediakan sahur gratis bagi jemaah.
Selain di Masjid At-Taqwa, Masjid Agung Sang Cipta Rasa di dekat Keraton Kasepuhan dan Masjid Merah Panjunan juga menjadi pilihan iktikaf di Kota Cirebon. Kedua masjid berusia ratusan tahun itu merupakan peninggalan Wali Sanga, ulama besar penyebar Islam di Jawa.
Di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, ada tradisi menabuh beduk selama Ramadhan setiap pukul 23.00-24.00 untuk mengingatkan warga shalat malam dan iktikaf. Di Masjid Merah Panjunan, pengelola menyediakan kopi Arab, yang bercampur jahe, salam, kayu manis, hingga kapulaga.
Dalam sejarahnya, Masjid di ”Kota Wali” Cirebon tidak hanya menjelma tempat mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, tetapi juga kegiatan sosial. Wali Sanga, termasuk Sunan Gunung Jati yang memimpin Cirebon, kerap menjadikan masjid sebagai lokasi musyawarah.
Bahkan, Mustaqim Asteja, pengamat sejarah Cirebon, dalam bukunya, Pustaka Cirebon, mengatakan, masjid merupakan tempat mendidik umat. Salah satu pesan Sunan Gunung Jati adalah ”Ingsun titip tajug lan fakir miskin” yang terjemahan bebasnya, ”saya titipkan tajug (masjid/mushala) dan fakir miskin”.
”Sunan Gunung Jati menstrategikan pembangunan umat agar terhindar dari kemiskinan, apakah itu miskin politik, miskin sosial, miskin sejarah, miskin ekonomi, dan lain-lain. Maka harus memberdayakan tajug untuk menata umat dan mendapatkan solusi atas berbagai masalah,” ujar Mustaqim.