Bubur Banjar Samin, Perekat Persaudaraan Antaretnis di Surakarta
Dua tahun mandek akibat pandemi Covid-19, tradisi berbagi bubur banjar samin diadakan kembali di Masjid Darusalam, Surakarta, tahun ini. Bubur itu menjadi perekat persaudaraan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Azan Asar baru saja berkumandang di Masjid Darussalam, Kelurahan Jayengan, Kecamatan Serengan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (5/4/2022). Tak selang berapa lama, orang berbondong-bondong datang ke masjid tersebut sambil menenteng rantang dan mangkuk. Segera mereka diarahkan untuk berbaris di salah satu sudut masjid. Rantang dan mangkuk itu lalu diletakkan pada sebuah meja panjang.
Dari balik meja tersebut, seorang pria bertugas sebagai juru masak. Tangan kurusnya sibuk mengaduk adonan bubur dalam sebuah panci besar. Beratnya adonan bubur membuat urat tangannya kian kentara. Aroma rempah menggugah selera menguar dari adonan bubur yang meletup-letup. Orang-orang pembawa rantang melongo menyaksikan juru masak beraksi.
”Sabar-sabar. Mari rantang dan mangkuknya diatur yang rapi. Tolong tetap ada di barisan. Masker juga dipakai dengan baik, ya,” kata seorang pria berpeci mengatur antrean orang yang mengular hingga keluar masjid.
Sambil terus mengingatkan, sejumlah pria lainnya menuangkan bubur yang sudah masak ke rantang dan mangkuk milik pengantre. Mereka yang sudah mendapatkan buburnya langsung beranjak dari masjid. Namun, antrean panjang tetap terjaga. Sebab, hampir setiap menit, selalu ada orang baru datang ke barisan sambil menenteng rantang. Dalam dua jam, antrean baru lenyap bersamaan dengan ludesnya bubur tersebut.
Bubur banjar samin, itu nama bubur yang dibagikan di sana. Tradisi berbagi bubur banjar samin selama Ramadhan itu sudah berlangsung di Masjid Darussalam sejak 1985. Pencetusnya ialah para warga asal Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, yang sekarang sudah beranak pinak di sana.
Namun, adanya pandemi Covid-19 sempat membuat tradisi tersebut terhenti dua tahun. Seiring dengan melandainya penularan, takmir masjid berinisiatif mengadakan kembali aksi berbagi itu tahun ini. Protokol kesehatan ketat tetap dijadikan acuan pelaksanaan kegiatan mengingat wabah belum benar-benar rampung.
”Bentuk penerapan protokol kesehatan itu dengan disediakannya meja untuk pengantre meletakkan rantang dan wadahnya. Jadi, mereka tidak perlu berdesak-desakan. Salah satu persyaratan supaya boleh masuk masjid juga mengenakan masker. Adanya aturan ini membuat protokol kesehatan tetap terjaga,” kata Ketua Panitia Pembagian Bubur Banjar Samin Masjid Darussalam, Noor Cholish.
Bubur yang dibagikan berjumlah 1.300 porsi per hari. Sebanyak 1.000 porsi dibagikan kepada masyarakat, sedangkan 300 porsi lainnya dibagikan kepada jamaah yang ikut buka bersama di masjid. Total 40 kg beras dihabiskan untuk membuat porsi sebanyak itu.
Bubur itu punya cita rasa yang unik. Setiap suapnya membawa kehangatan pada tubuh. Boleh jadi itu disebabkan banyaknya rempah-rempah yang digunakan. Resepnya enggan dibeberkan pihak masjid secara rinci. Tetapi, dalam cecapan, terasa campuran bumbu seperti kapulaga, kayu manis, pala, ketumbar, jahe, hingga kemiri. Bubur tambah nikmat dengan adanya tetelan daging sapi dan sayuran. Bintang utamanya yang membuat bubur semakin lezat adalah digunakannya minyak samin.
Lezat dan hangatnya bubur itu dirindukan Rudy (52), warga Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Ramadhan rasanya kurang lengkap jika tak berbuka dengan bubur tersebut. Hari itu, ia mengantre sejak satu jam sebelum waktu pembagian bubur. Sembari menunggu rantangnya terisi, ia mengobrol asyik soal banyak hal dengan beberapa jamaah masjid lain. Usut punya usut, ia dulunya tinggal di Kelurahan Jayengan.
”Saya ini masih ada bau-bau Banjarnya. Istilahnya, Jarwo, atau Banjar Jowo. Dulu, waktu kecil sering dibawakan orang tua saya yang asli Banjar. Ini sekarang giliran saya yang carikan bubur buat anak saya. Biar dia kenal dengan budaya orang tuanya,” kata Rudy.
Sementara itu, Husaini (61), warga Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, merindukan suasana guyub rukun warga yang mengantre bubur tersebut. Bagi dia, menyantap bubur itu sekaligus menjadi momen silaturahmi dengan kawan-kawan lama. Sebab, masa kecilnya juga dihabiskan di kampung tersebut. Untuk itu, sebisa mungkin, ia menyempatkan diri ikut mengantre bubur samin jika ada waktu lengang.
”Rasa bubur ini lain daripada yang lain. Bikin badan seger dan hangat. Ini ditambah guyubnya orang-orang. Akrab sekali suasananya. Kita tidak dibeda-bedakan,” kata Husaini.
Memang, siapa saja yang mengantre berhak untuk mendapatkan bubur tersebut. Pihak masjid tidak membagikannya tanpa memandang latar belakang suku, agama, dan ras. Untuk itu, orang-orang yang mengantre juga beragam. Tidak harus Muslim.
Yusuf Ahmad (55), warga Jayengan, menuturkan, sempat sekali waktu ia menyaksikan seorang warga keturunan China ikut mengantre bubur tersebut. Diceritakannya, sang pengantre itu datang dengan mobil mewah dan tampak bukan mencari bubur gratis karena alasan kekurangan uang. Ternyata, ia mengantre diminta orangtuanya yang sedang sakit dan menginginkan bubur itu.
”Ini kami malah senang. Bubur ini bisa bermanfaat bagi orang lain. Dan, ini malah jadi tempat persatuan. Karena, kami tidak membedakan ras, suku, dan agama,” kata Yusuf.
Ketua Takmir Masjid Darussalam Jayengan HM Rosyidi Muhdhor menceritakan, aksi berbagi bubur tak terlepas dari jejak panjang kehidupan warga asal Banjar, Kalimantan Selatan, di Jayengan. Mereka merantau ke Surakarta sejak 1890. Saat itu, mereka datang untuk berdagang perhiasan permata demi keperluan upacara-upacara di Kasunanan Surakarta.
Sukses berdagang, lanjut Rosyidi, para perantau Banjar itu akhirnya menjadi saudagar-saudagar permata. Lalu, mereka membeli tanah seharga Rp 500 di Jayengan. Di tanah itu, mereka mendirikan langgar yang rampung dibangun pada 1911. Langgar itu selanjutnya dibangun menjadi Masjid Darussalam yang masih aktif hingga sekarang.
”Kebiasaan buka bersama sesama warga Banjar dimulai sejak adanya langgar. Menunya tentu masakan-masakan Banjar. Pada 1985, baru jemaah masjid ini berikrar untuk membagikan bubur kepada masyarakat umum,” kata Rosyidi, yang juga masih keturunan Banjar itu.
Rosyidi mengungkapkan, aksi berbagi bubur bertujuan untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah, atau persaudaraan antarumat Islam. Dari tahun ke tahun, ternyata antusias masyarakat besar. Semula, hanya 15 Kg beras per hari yang dimasak menjadi bubur. Kini, rata-rata bisa membutuhkan 40 Kg beras per hari. Orang yang datang juga tidak hanya jamaah masjid setempat, tetapi umat muslim dari berbagai daerah. Bahkan, bubur itu juga menjadi berkah bagi umat beragama lain.
Sejarawan UNS, Tunjung W Sutirto menjelaskan, bubur banjar menjadi simbol keberhasilan integrasi sosial di Surakarta. Kohesi sosial dipererat lewat produk budaya seperti makanan. Keeratan relasi akhirnya terbentuk tidak hanya di antara sesama komunitas masyarakat Banjar di Surakarta, tetapi juga dengan etnis lainnya.
”Semua etnis akhirnya menjadi bagian dari tradisi bubur tersebut. Oleh karenanya, bubur yang dibagikan secara gratis ini tak lagi dilihat dalam konteks mengatasi kemiskinan atau kekurangan pangan. Ini justru simbol integrasi sosial dan budaya di Surakarta,” tandas Tunjung.