Digagalkan, Penyelundupan Benih Lobster dengan ”Kapal Hantu” di Perairan Sumsel
Penyelundupan 158.000 benih lobster senilai Rp 16 miliar digagalkan di kawasan Perairan Sri Meranti, Kabupaten Banyuasin, Sumsel. Penangkapan di atas kapal pengangkut berjuluk ”kapal hantu” berlangsung dramatis.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Direktorat Polisi Air dan Udara Kepolisian Daerah Sumatera Selatan menangkap enam penyelundup benih lobster di kawasan Perairan Sri Meranti, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Kali ini, sebanyak 158.000 ekor benih lobster jenis mutiara dan pasir senilai Rp 16 miliar disita. Benih lobster dikirim dari Sumsel ke Batam menggunakan kapal cepat yang dijuluki ”kapal hantu”.
Kapal pengangkut tersebut terbuat dari fiber dengan daya pendorong empat mesin total berkekuatan 800 PK dan dapat melaju hingga 100 kilometer per jam. Kecepatan tinggi itulah yang membuat kapal ini dijuluki kapal hantu. Dengan kecepatan tersebut, kapal dapat berlayar dari Banyuasin menuju Batam hanya dalam empat jam, atau dua jam lebih cepat daripada kapal cepat jenis jetfoil. Selain menyita kapal, polisi juga menangkap enam pelaku, yang semuanya warga Batam, Kepulauan Riau.
Kapolda Sumsel Inspektur Jenderal Toni Harmanto, saat menggelar konferensi pers di Palembang, Minggu (1/5/2022), menjelaskan, kasus ini tindak lanjut dari terkuaknya penyelundupan benih lobster pada Jumat (29/4) lalu. Saat itu, sebanyak 517.000 benih lobster jenis pasir dan mutiara diselundupkan melalui perairan Sumatera Selatan. Potensi kerugian negara mencapai Rp 52 miliar.
Pengungkapan ini memperjelas alur penyelundupan bibit lobster. Dimulai dari pengambilan bibit lobster di perairan Lampung, kemudian dikirim ke Singapura atau Vietnam melalui perairan Sumsel hingga berlanjut ke Batam.
Maraknya penyelundupan ini disebabkan harga benih lobster yang meningkat di pasar global. Seekor benih lobster jenis pasir dihargai Rp 100.000 dan Rp 150.000 untuk jenis mutiara. Pelaku juga menduga, mendekati Lebaran, pengamanan di jalur perairan akan lebih lengang sehingga mendorong aksi penyelundupan. ”Walau kami tengah fokus pengamanan arus mudik, risiko kejahatan seperti ini tidak akan diabaikan,” kata Toni menegaskan.
Direktur Polisi Air dan Udara Polda Sumsel Komisaris Besar Yohanes Sismardi Widodo menjelaskan, keenam pelaku ditangkap di Perairan Sri Meranti, Tanjung Sereh, Kecamatan Banyuasin I, Kabupaten Banyuasin, Minggu dini hari. Proses penangkapan pun berlangsung dramatis karena pelaku sempat melarikan diri dengan memacu kapal cepatnya.
Bahkan, tiga anggota Ditpolairud Polda Sumsel yang sudah berada di atas kapal sempat dibawa mereka. ”Mereka (pelaku) berencana menyandera anggota kami dengan menganiayanya di atas kapal. Kekhawatiran kami memuncak lantaran salah seorang pelaku membawa parang,” kata Yohanes.
Awalnya, pelaku menganggap bisa menang melawan tiga polisi yang mereka bawa di kapal cepat tersebut. Namun, perkiraan itu keliru. Tiga polisi itu bergulat melawan enam pelaku dan menangkapnya. Dua di antaranya ditembak di bagian perut dan kaki. Adapun satu pelaku melompat ke laut dan sampai sekarang masih dicari.
Brigadir Polisi Kepala Nandy Zaidan Wasisto, salah satu personel Ditpolairud Sumsel yang bertugas dalam penangkapan itu, menceritakan secara rinci kejadian di atas kapal. Saat ”kapal hantu” dipacu, ada tujuh pelaku di atasnya. Dia dan dua petugas lain sempat dianiaya pelaku.
”Kaki dan tubuh saya ditendang,” ujar Nandy yang harus terpincang karena kaki yang bengkak, dampak pengeroyokan tersebut.
Saat itu, Nandy kesulitan membedakan petugas dengan pelaku karena sangat gelap. Saat itu satu petugas melawan dua pelaku. ”Senter HP (ponsel) adalah satu-satunya penerangan,” ujarnya.
Nandy pun melawan dua pelaku. Ketika sudah terdesak ia melepaskan tembakan ke udara. Setelah itu para pelaku terdiam dan Nandy langsung mengambil alih kemudi. ”Enam pelaku bisa kami tangkap, satu lagi melompat ke laut,” ucapnya.
Atas perbuatannya, keenam pelaku dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan ancaman maksimal 8 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar. ”Kami masih memburu pelaku yang menjadi dalang dari penyelundupan ini. Termasuk jika ada keterlibatan warga asing,” ujar Yohanes.
Koordinator Pelaksana Pengawasan Karantina Ikan Palembang Erik Arianto menyebut, maraknya penyelundupan benih lobster disebabkan masih banyaknya permintaan dengan harga tinggi. Pelaku berpikir, ketimbang menangkar benih lobster dengan risiko kematian yang tinggi dan waktu lama, yakni sembilan sampai 12 bulan, lebih baik jual saja benihnya. ”Mereka (pelaku) ingin dapat uang lebih cepat,” ucap Erik.
Eksploitasi seperti ini harus segera dihentikan. Apabila dibiarkan, bukan tidak mungkin lobster di Indonesia akan punah. Menurut Erik, benih lobster banyak dijumpai di pesisir barat Sumatera dan perairan selatan Jawa. Adapun penangkaran lobster berada di Lampung dan wilayah timur Indonesia. ”Kita harus menjaga lobster agar tidak punah di alam Indonesia,” ucap Erik.