Vonis Penjual Tulang Harimau dan Sisik Trenggiling di Aceh Lebih Rendah dari Tuntutan Jaksa
Tiga pelaku penjualan tulang harimau dan sisik trenggiling di Aceh divonis di bawah tuntutan jaksa. Kajian Forum Jurnalis Lingkungan Aceh menyebut banyak putusan hakim terkait satwa masih di bawah tuntutan jaksa.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BLANGPIDIE, KOMPAS — Tiga terdakwa penjual tulang harimau dan sisik trenggiling di Aceh divonis penjara di bawah tuntutan jaksa. Meski kasus perdagangan bagian satwa lindung di Aceh masif, proses penegakan hukumnya terbilang belum ideal.
Sidang pembacaan vonis berlangsung di Pengadilan Negeri Blangpidie, Aceh Barat Daya, Kamis (28/4/2022). Meski terbuka untuk umum, pelaku dihadirkan melalui daring. Putusan tersebut dibacakan Ketua Majelis Hakim Zulkarnain.
Terdakwa Tamrin (57) dan Sabaruddin (49), pemilik tulang harimau dan sisik trenggiling, divonis 2 tahun 4 bulan atau lebih rendah dari tuntutan jaksa yang 3 tahun. Vonis pada Yusrizal (46). yang berperan sebagai sopir, juga hanya 2 tahun. Padahal, tuntutan jaksa mencapai 2,5 tahun. Ketiganya juga didenda masing-masing Rp 50 juta atau diganti kurungan 3 bulan.
Jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Aceh Barat Daya, Fakhrul Rozi, menuturkan meski putusan di bawah tuntutan, pihaknya belum memutuskan mau banding atau tidak.
Ketiga terdakwa ditangkap aparat Polres Aceh Barat Daya di Blangpidie pada 25 Januari 2022. Mereka menyimpan tulang belulang harimau dan sisik trenggiling seberat 343,19 gram. Semuanya akan dijual kepada calon pembeli di Kabupaten Aceh Tenggara.
Kasus perdagangan bagian satwa lindung di Aceh masif. Pekan lalu, Polres Bener Meriah mengungkap perdagangan kulit harimau, sisik trenggiling, dan opsetan beruang madu. Tiga pelaku ditahan, dua di antaranya pegawai negeri sipil.
Catatan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh sepanjang 2020-2021, penegak hukum menangani 18 perkara kejahatan terhadap satwa lindung. Jumlah tersangka ada 42 orang. Namun, sembilan orang hingga kini masih buron. Dari kajian FJL, sebagian besar putusan hakim masih di bawah tuntutan jaksa.
Manager Program Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK) Missi Muizzan mengatakan, kasus perdagangan satwa cukup masif, sementara upaya perlindungan masih lemah. Padahal, selain diburu untuk dijual, tidak sedikit satwa yang mati karena jerat, pagar listrik, dan makan racun.
Namun, Kepala Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera Subhan menuturkan, penegakan hukum kasus kejahatan terhadap satwa di Aceh menunjukkan kemajuan.
Tahun 2020, Balai Gakkum bersama kepolisian mengungkap kasus perdagangan 71 paruh rangkong. Ini menjadi kasus dengan barang bukti terbesar dalam tiga tahun terakhir. Paruh rangkong tersebut rencananya akan dijual ke China. Pada 2021, pihaknya menangani sedikitnya tiga kasus pergadangan organ satwa di Aceh.
Perdagangan satwa lindung menjadi ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup mereka di alam liar. Satwa lindung dari Aceh itu diperjualbelikan ke pasar dalam negeri dan luar negeri.