Perkembangan harga TBS telah menyentuh titik di bawah impas produksi, yang berarti petani ”nombok”. Permainan para spekulan sawit harus dihentikan agar harga TBS tidak semakin merosot.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Limpahan panen kelapa sawit di hari-hari menjelang Lebaran tak sejalan dengan harapan besar para petani. Harga buah sawit yang mencapai Rp 3.600 per kilogram mendadak anjlok menjadi Rp 1.000. Sukacita menyambut hari raya kini berganti kecamuk dan kemelut.
Perasaan tak menentu menyelimuti Bujang (37) saat memanen buah sawit, Selasa (26/4/2022). Ia ketar-ketir memantau perkembangan harga tandan buah segar (TBS) sawit yang terus ambruk. Pasalnya, pedagang pengepul yang menampung hasil panennya, Haryono, kembali menginfokan bahwa harga TBS kembali turun Rp 500 per kg.
Ia pun mempercepat panen agar sawit dapat segera terjual sebelum harganya semakin merosot. ”Kalau panen besok, mungkin harganya lain lagi. Sudah di bawah Rp 1.000,” ujarnya.
Tak hanya Bujang yang dilanda risau. Haryono juga menuai nombok besar. Senin lalu, ia membeli buah sawit petani di harga Rp 2.700 per kg. Sewaktu buah-buah sawit ia pasok ke pabrik keesokan paginya, pihak pabrik sudah mematok harga baru yang lebih rendah, yakni Rp 2.500 per kg. Hal serupa berulang di hari berikutnya dengan kondisi yang lebih parah.
Jika dihitung-hitung, dalam dua hari, ia nombok Rp 1,2 juta akibat kejatuhan harga yang begitu cepat. ”Kami enggak nyangka harganya bakal turun secepat itu. Mau enggak mau nombok besar,” ujarnya.
Haryono menghadapi dilema. Buah sawit petani tak mungkin ditolaknya untuk diangkut. Saat ini, para petani berharap besar bisa mendulang rezeki dari hasil panen sawit. Sebab, mereka tengah bersiap menyambut hari raya Idul Fitri. Kebutuhan akan uang sedang besar-besarnya untuk mempersiapkan sajian makanan di rumah ataupun pakaian baru.
Apalagi, hasil panen di kebun sedang bagus-bagusnya. Buah sawit jauh melimpah dibandingkan pada awal tahun yang kondisinya trek (hasil panen turun karena faktor cuaca).
Petugas pabrik pengolahan sawit PT Petaling Mandraguna di wilayah Maro Sebo, Muaro Jambi, Hery, menyebutkan, harga sawit yang turun terus terjadi seiring keluarnya aturan soal larangan ekspor minyak goreng dan bahan minyak goreng. Harga beli sawit ke petani, lanjutnya, ditetapkan menyesuaikan keputusan manajemen pabrik.
Di Jambi, luas perkebunan sawit mencapai 1,1 juta hektar. Ada setengah juta keluarga petani sawit yang bergantung dari komoditas tersebut.
Dari luasan itu, baru ada dua pabrik yang mengolah buah sawit menjadi minyak goreng. Sebanyak 79 pabrik lainnya mengolah buah sawit menjadi minyak sawit mentah untuk diekspor melalui Medan dan Batam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, nilai ekspor minyak sawit asal Jambi pada Februari 2022 mencapai Rp 17,6 miliar.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Agusrizal mengatakan, kejatuhan harga sawit coba diantisipasi lewat penetapan harga acuan. Diakuinya, harga acuan kini baru berlaku pada kelompok tani ataupun koperasi yang telah bermitra dengan pabrik kelapa sawit. Jumlahnya masih sangat sedikit, yakni 15 persen dari total petani sawit di Jambi.
”Masih ada 15 persen petani yang mendapatkan harga sesuai harga acuan yang ditetapkan tim kelompok kerja penetapan harga TBS Provinsi Jambi,” ujarnya.
Kementerian Pertanian juga telah berkirim surat kepada Gubernur Jambi, di antaranya, untuk memastikan tidak ada pelanggaran aturan dalam penetapan harga TBS. Pihaknya menindaklanjuti surat tersebut dengan akan menyurati kabupaten penghasil sawit agar melakukan pengawasan. Jangan sampai pabrik-pabrik sawit di wilayahnya menetapkan harga sepihak, di luar harga beli yang ditetapkan tim penetapan harga TBS tingkat provinsi. Perusahaan yang melanggar akan dikenai peringatan atau sanksi.
Jatuhnya harga sawit dalam negeri harusnya menjadi momentum pembenahan tata kelola persawitan yang lebih baik di dalam negeri.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Provinsi Jambi Kasriwandi mengatakan, penetapan harga acuan belum menyentuh sebagian besar petani di Jambi. Harga acuan tersebut selama ini hanya berlaku pada petani yang telah bermitra dengan pabrik kelapa sawit. Adapun sebagian besar petani sawit di Jambi merupakan petani swadaya dan belum mendapatkan dukungan kemitraan.
Ia pun mengatakan, ongkos produksi budidaya sawit menghabiskan Rp 1.050 per kg. Jika menjual buah sawitnya di bawah harga itu, petani sama artinya telah nombok. Komponen ongkos produksi yang dimaksud di antaranya penggunaan pupuk yang membutuhkan Rp 450 per kg TBS, upah panen Rp 200 per kg, dan sisanya ialah komponen lain berupa penyemprotan hama, pemeliharaan, dan ongkos perbaikan jalan produksi.
Karena itu, ia berharap pemerintah segera bertindak cepat mengatasi kejatuhan harga buah sawit. Aturan soal larangan ekspor minyak goreng dan bahan minyak goreng jangan sampai berdampak pada turunnya harga TBS di daerah. Permainan para spekulan sawit harus segera diantisipasi.
Dosen Teknologi Hasil Pertanian dari Universitas Jambi, Sahrial, menyebut kondisi jatuhnya harga sawit dalam negeri harusnya menjadi momentum pembenahan tata kelola persawitan yang lebih baik di dalam negeri. Sejak lama daerah membutuhkan tumbuhnya industri hilir lokal agar harga komoditas itu tidak mudah digoyang. Karena itu, pemerintah daerah didesak untuk cepat membuka insentif sebesar-besarnya agar mempercepat tumbuhnya industri hilir.
Jangan sampai kemelut sawit yang berlarut-larut harus dihadapi para petani berulang-ulang.