Larangan Ekspor Terbatas pada RBD Olein dan Minyak Goreng
Berdasarkan dokumen yang ”Kompas” terima, larangan ekspor terkait sawit sebenarnya terbatas pada RBD palm olein dan minyak goreng. Namun, pengumuman pemerintah telah menekan harga tandan buah segar di tingkat petani.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, AGNES THEODORA,, Hendriyo Widi
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengumuman Presiden Joko Widodo pada Jumat (22/4/2022) tentang larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis (28/4/2022) dinilai membuat situasi serba spekulatif. Harga tandan buah segar atau TBS petani anjlok. Pemerintah diharapkan segera memperjelas keputusan itu dan membuat kebijakan konkret untuk membenahi tata kelola industri kelapa sawit nasional.
Namun, berdasarkan dokumen hasil rapat terbatas tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat pada 24 April 2022 yang diterima Kompas, Senin (25/4/2022) malam, larangan ekspor terbatas pada produk yang termasuk dalam tiga kode HS (harmonized system) yang merujuk pada RBD palm olein dan minyak goreng. Ketiga kode klasifikasi barang perdagangan itu adalah HS 1511.90.36, HS 1511.90.37, dan HS 1511.90.39.
RBD (refined, bleached, deodorized) palm olein merupakan salah satu hasil olahan minyak sawit mentah (CPO) dan merupakan bahan baku minyak goreng sawit. Sebelum jadi RBD olein, CPO diolah menjadi refined palm oil (RPO).
Dalam dokumen itu disebutkan pula, untuk memastikan kebutuhan dalam negeri, ekspor CPO dan RPO tidak melampaui angka pada neraca dan mengurangi ekspor RBD palm olein sehingga suplai RBD palm olein di dalam negeri bertambah. Larangan ekspor juga berlaku untuk minyak goreng.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Veri Anggrijono, saat dikonfirmasi, Senin malam, menyatakan, pihaknya belum dapat memberi informasi terkait produk yang dilarang untuk diekspor dan yang tidak karena masih dalam pembahasan. ”Dalam satu atau dua hari ini, mudah-mudahan tuntas,” katanya.
Sejak pengumuman itu, harga TBS di tingkat petani anjlok. Menurut Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, sebelum ada pengumuman presiden, harga TBS petani berkisar Rp 3.700-Rp 3.800 per kilogram. Namun, setelah pengumuman itu, harga TBS terus turun, bervariasi dari Rp 400 hingga Rp 1.000 per kg.
Darto menyatakan, saat ini situasi serba spekulatif. Sebenarnya ia mendukung kebijakan presiden dalam konteks memberi tekanan kepada pelaku usaha kendati berimbas pada petani sawit. ”Namun, jangan lama-lama. Lalu, harapan kami presiden merumuskan kebijakan konkret untuk perbaiki tata kelola sawit yang oligopoli dan memperbaiki struktur pasar,” katanya.
Guna membenahi industri kelapa sawit Tanah Air, kata Darto, koperasi-koperasi rakyat perlu dibangun lebih kuat. Selama ini, hal itu tak dilakukan dan tidak ada dukungan. Selain itu, dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) harus benar-benar diarahkan untuk penguatan perkebunan rakyat.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, sejumlah pengumpul TBS sudah menolak TBS petani, bahkan ada pengepul yang sudah tutup. ”Harga TBS anjlok dari Rp 3.850 per kg menjadi Rp 1.600 per kg. Anjloknya hampir merata di 22 provinsi (penghasil) sawit,” katanya.
Multitafsir
Pernyataan presiden terkait pelarangan ekspor CPO pada Jumat (22/4/2022), kata Gulat, multitafsir dan menyebabkan jatuhnya harga TBS petani. Dari informasi yang diterimanya, pemerintah sudah melakukan rapat dan ada kebijakan yang lebih fokus. Ia pun berharap pemerintah segera mengumumkannya karena situasi saat ini semakin tak pasti.
Dari informasi yang Gulat terima, ada beberapa poin yang telah disepakati dalam rapat pemerintah, antara lain bahwa produk yang dilarang untuk diekspor hanya RBD palm olein yang merupakan bahan baku minyak goreng sawit. Sementara CPO (minyak sawit mentah) tak dilarang atau dibatasi. Rapat juga memutuskan agar ada pengawalan saat tender CPO di KPBN (Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara).
”Saya harus menyampaikan ini untuk menenangkan kekhawatiran petani sawit dari Sabang-Merauke seiring anjloknya harga TBS. Untuk jelasnya, kita tunggu diumumkan pemerintah. Semoga lebih cepat karena situasi sudah gawat darurat. Petani sudah tidak kuat,” ujar Gulat.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Masyhuri menilai, larangan ekspor itu perlu dibatalkan karena saat ini para petani sawit justru menjadi korbannya. Kebijakan larangan ekspor itu tidak masuk akal karena harga TBS pasti jatuh. Pendapatan devisa sekitar Rp 510 triliun, uang pungutan BPDPKS sekitar Rp 17 triliun, dan pajak ekspor Rp 85 triliun juga terancam hilang.
”Yang akan untung negara eksportir sawit lain, termasuk Malaysia. Juga eksportir minyak dari bunga matahari dan kedelai. Korbannya petani sawit kita. Para importir sawit pasti juga akan protes di WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Jadi, harus dicari kebijakan yang menguntungkan semua pihak, misalnya penghapusan atau pengurangan B30, Juga kebijakan DMO (domestic market obligation). Satgas harus bekerja,” kata Masyhuri.
Potensi gejolak
Peneliti Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, mengatakan, pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng bakal menekan TBS petani. Terlebih, jika ada jenis atau turunan CPO yang dilarang ekspor dan ada yang boleh. Hal itu akan menimbulkan kecemburuan atau gejolak di kalangan para petani sawit sendiri.
Jika berkepanjangan, hal itu juga tak akan baik untuk industri sawit nasional. ”Apalagi, kebijakan ini diambil di tengah kondisi banyaknya kebun rakyat yang perlu diremajakan. Jika petani tertekan dan memilih menanam komoditas lain, akan berdampak untuk 5-10 tahun mendatang,” ujarnya.
Pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng bakal menekan TBS petani.
Di samping tekanan pada harga TBS petani, kata Rusli, pelarangan bahan baku minyak goreng juga dapat berdampak pada berkurangnya cadangan devisa, memunculkan pasar gelap (blackmarket) yang menyelundupkan di pelabuhan. Selain itu, berpotensi adanya gugatan dari WTO.
Ia pun menilai kebijakan yang diambil pemerintah kerap tidak matang dan tidak kompak satu sama lain. Seharusnya ada ketegasan dan fokus dalam mengambil kebijakan. ”Daripada berspekulasi, pemerintah lebi baik fokus dalam menyubsidi minyak goreng curah dengan kebijakan pendamping, yakni bantuan langsung tunai,” kata Rusli.
Ia pun menilai pemerintah sebenarnya sudah memiliki ”senjata” untuk meningkatkan pendapatan bagi BPDPKS di tengah tingginya harga CPO dunia. Itu adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/PMK.05/2022 tentang Perubahan Ketiga atas PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Peraturan itu mulai berlaku 18 Maret 2022.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, Senin, mengatakan, dalam beberapa bulan terakhir ini, Presiden sangat berhati-hati sebelum membuat keputusan melarang ekspor bahan baku minyak goreng. Kebijakan yang pekan lalu diumumkan itu pun disebutnya sebagai opsi terbaik dari yang terburuk. Larangan itu seharusnya tidak perlu keluar kalau saja pengusaha mau tertib dan ikut menjaga harga minyak goreng domestik sesuai harga eceran tertinggi (HET).
”Faktanya, aturan DMO dimain-mainin, harga juga tidak ada kesadaran. Namanya pengusaha ingin mencari untung besar karena harga dunia memang lagi tinggi. Presiden memang memikirkan dunia usaha, tetapi jauh lebih besar, dia juga harus memikirkan rakyatnya,” kata Bahlil.
Larangan itu seharusnya tidak perlu keluar kalau saja pengusaha mau tertib dan ikut menjaga harga minyak goreng domestik sesuai HET.
Menurut Bahlil, saat dicek, persoalan ketersediaan minyak goreng salah satunya disebabkan oleh keterbatasan bahan baku. Ada beberapa perusahaan sawit yang mengekspor CPO melebihi jatah yang seharusnya dan mengakibatkan kekurangan bahan baku untuk perusahaan minyak goreng dalam negeri. Hal itu pada akhirnya ikut membuat harga minyak goreng menjadi tinggi di pasaran.
Ia berharap, keputusan larangan ekspor bahan baku minyak goreng itu dapat mendorong pemenuhan kebutuhan bahan baku CPO dalam negeri. ”Tidak benar bahwa ada yang beranggapan urusan larangan ekspor sawit ini karena ada kepentingan tertentu. Presiden tidak diatur oleh siapa pun,” ujar Bahlil.