Larangan Ekspor Minyak Goreng Harus Diikuti Tumbuhnya Industri Hilir Sawit
Pemerintah jangan berhenti pada larangan ekspor sementara bahan minyak goreng. Agar dibuka insentif sebesar-besarnya untuk bertumbuhnya industri hilir, khususnya industri hilir yang hi-tech dari bahan sawit.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Keputusan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng jangan sampai berdampak oversupply minyak sawit di dalam negeri. Larangan itu harus diiringi tumbuhnya industri hilir minyak goreng lokal.
Penasihat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Provinsi Jambi, Usman Ermulan, mengatakan, keputusan Presiden melarang ekspor bahan minyak goreng dan minyak goreng tak hanya berdampak pada pulihnya pasokan minyak dalam negeri, melainkan juga dikhawatirkan terjadi bahan baku berlebih.
”Jika oversupply terjadi, harga buah sawit di tingkat petani akan jatuh. Itu akan membuat petani kembali terpuruk,” ujarnya, Sabtu (23/4/2022).
Menurut Usman, setelah mendengar keputusan larangan ekspor itu, sejumlah eksportir di Sumatera Utara menyetop permintaan bahan minyak goreng dari provinsi tetangganya di Sumatera, termasuk dari Jambi.
Jika oversupply terjadi, harga buah sawit di tingkat petani akan jatuh. Itu akan membuat petani kembali terpuruk.
Pada Sabtu, harga buah sawit di tingkat petani dikabarkan mulai turun. Dari sebelumnya Rp 3.500 per kilogram menjadi Rp 3.400. Penurunan itu, lanjutnya, jangan sampai terus berlanjut pada hari-hari ke depan sebagai akibat tren permintaan yang melemah.
Petani di wilayah Maro Sebo, Ardi, mengatakan, harga buah sawit turun Rp 100 per kilogram. Ia berharap penurunan harga sawit jangan terus berlanjut mengingat para petani membutuhkan hasil pendapatan untuk menyambut Idul Fitri.
Di Jambi, luas perkebunan sawit mencapai 1,1 juta hektar. Dari luasan itu, baru ada dua pabrik yang mengolah buah sawit menjadi minyak goreng. Sebanyak 79 pabrik lainnya mengolah buah sawit menjadi minyak sawit mentah untuk diekspor melalui Medan dan Batam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, nilai ekspor minyak sawit asal Jambi pada Februari 2022 mencapai Rp 17,6 miliar.
Sebagaimana diketahui, pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis, 28 April 2022, hingga batas waktu yang akan ditentukan kemudian. Presiden Joko Widodo mengatakan akan terus memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau.
Peneliti Teknologi Hasil Pertanian dari Universitas Jambi, Sahrial, menilai, karakter pelaku usaha di Jambi bukan industrialis melainkan pedagang. ”Pedagang instingnya mencari untung, bukan membangun,” ujarnya.
Puluhan pabrik kelapa sawit yang ada beroperasi di Jambi dinilainya tak masuk bagian industri berbasis sawit. Pabrik kelapa sawit dibangun lebih karena para pelaku usaha tidak dapat menjualnya langsung dalam bentuk tandan buah segar. Karakter pedagang yang berorientasi marjin besar akan menyulitkan tumbuhnya industri hilir.
Ketika terjadi disparitas harga yang besar antara harga di dalam negeri dengan harga ekspor, lanjut Sahrial, para pelaku pasar memilih ekspor. Mereka cenderung mengabaikan kewajiban untuk memenuhi ketersediaan minyak goreng di dalam negeri.
Karena itu, tambahnya, larangan ekspor harus menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk menstimulus terbangunnya industri hilir lokal. Jangan berhenti pada larangan ekspor sementara sampai tercapai keseimbangan suplai dan permintaan minyak goreng dalam negeri dengan indikator kembalinya harga ekonomis. Yang lebih penting lagi adalah membuka insentif sebesar-besarnya untuk bertumbuhnya industri hilir. ”Terutama industri hilir yang hi-tech, seperti industri oleokimia dari bahan sawit,” ujarnya.