Usut Subsidi Minyak Goreng Kemasan
Para penegak hukum diminta mengusut penyaluran subsidi minyak goreng kemasan sederhana dan premium. Dana yang dialokasikan dinilai besar, tetapi tidak berdampak pada harga minyak goreng di pasaran.

Rak untuk menyimpan minyak goreng kemasan tampak kosong di salah satu toko swalayan di Jakarta, Kamis (17/3/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Serikat Petani Kelapa Sawit meminta Kejaksaan Agung menguak mafia industri sawit dari hulu ke hilir. Tak cukup hanya kasus gratifikasi izin ekspor, Kejaksaan Agung juga perlu mengusut penyaluran subsidi minyak goreng kemasan sederhana dan premium yang pernah digulirkan pemerintah pada awal tahun ini.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuestus Darto mengatakan, petani sawit mengapresiasi dan mendukung langkah Kejaksaan Agung menuntaskan kasus dugaan gratifikasi izin ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya. Petani sawit yang mengelola sekitar 6,7 juta hektar turut dirugikan lantaran ikut merasakan kenaikan harga minyak goreng.
”Ironis. Petani yang menghasilkan sawit bagi Indonesia turut terimbas tingginya harga minyak goreng,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (21/4/2022).
Mansuestus berharap, Kejaksaan Agung tidak berhenti pada kasus dugaan gratifikasi itu. Kejaksaan juga perlu menyelidiki program subsidi minyak goreng kemasan sederhana dan premium yang dananya berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Dana yang dialokasikan itu sangat besar. Semula pemerintah menetapkan dana subsidi itu Rp 3,6 triliun, kemudian menambahnya menjadi Rp 7,2 triliun.
”Penyaluran subsidi tersebut patut diduga telah menimbulkan kerugian negara. Kejaksaan perlu memeriksa dan menyelidiki pemangku kepentingan yang terkait, seperti perusahaan-perusahaan yang menjalankan program itu, BPDPKS, Komite Pengarah, dan Kementerian Perdagangan,” katanya.
Penyaluran subsidi tersebut patut diduga telah menimbulkan kerugian negara. Kejaksaan perlu memeriksa dan menyelidiki pemangku kepentingan yang terkait, seperti perusahaan-perusahaan yang menjalankan program itu, BPDPKS, Komite Pengarah, dan Kementerian Perdagangan.
Baca juga: Kongkalikong Izin Ekspor CPO Diungkap

Pemerintah pertama kali mencetuskan program minyak goreng kemasan sederhana bersubsidi pada 5 Januari 2022. Pendistribusian minyak goreng sebanyak 1,2 miliar liter dan seharga Rp 14.000 per liter itu akan menyasar pasar-pasar tradisional. Dana yang disediakan sebesar Rp 3,6 triliun. Program itu melibatkan 70 industri minyak goreng dan 225 industri pengemasan minyak goreng.
Kemudian, pada 18 Januari 2022, pemerintah mengganti program itu dengan kebijakan minyak goreng satu harga. Seluruh minyak goreng, baik kemasan sederhana maupun premium, dijual seharga Rp 14.000 per liter. Jumlah minyak goreng yang disubsidi juga bertambah dari semula 1,2 miliar liter menjadi 1,5 miliar. Dana subsidi juga membengkak menjadi Rp 7,6 triliun.
Selang tak lama atau pada 27 Januari 2022, pemerintah mencabut kebijakan minyak goreng satu harga. Kebijakan itu diganti dengan kebijakan kewajiban pemenuhan kebutuhan pasar domestik (DMO) CPO dan olein serta harga eceran tertinggi (HET) baru bagi aneka jenis minyak goreng sawit.
Baca juga: Dua "Jurus" Baru Atasi Problem Minyak Goreng

Petani sawit sedang memindahkan sawit di lahan perkebunan sawit di Desa Sukarami, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (14/2/2019). Saat ini harga kelapa sawit sedang naik, tetapi petani masih terkendala masalah infrastruktur.
Benahi tata niaga
Head of Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov berpendapat, setiap kebijakan yang digulirkan pemerintah selalu memiliki celah munculnya kejahatan ekonomi dan risiko moral (moral hazard). Kasus dugaan gratifikasi izin ekspor CPO dan produk turunannya menunjukkan masih ada kejahatan kerah putih yang menjadi momok bagi perekonomian nasional.
”Terungkapnya permufakatan atau kongkalikong pengusaha dengan pemerintah itu perlu menjadi momentum pembersihan besar-besaran di dalam tubuh pemerintah dan tata niaga industri sawit dari hulu hingga hilir,” kata Abra.
Terungkapnya permufakatan atau kongkalikong pengusaha dengan pemerintah itu perlu menjadi momentum pembersihan besar-besaran di dalam tubuh pemerintah dan tata niaga industri sawit dari hulu hingga hilir.
Baca juga: Penyidikan Kasus Izin Ekspor CPO Diperluas ke Perusahaan Lain
Dengan terkuaknya kasus dugaan izin ekspor itu, lanjut Abra, kredibilitas Kementerian Perdagangan yang menerbitkan izin ekspor akan turun. Tata perizinan inilah yang perlu dibenahi agar bisa lebih transparan. Salah satunya adalah dengan menerapkan teknologi informasi yang dapat dipantau oleh lembaga-lembaga penegak hukum terkait.
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) juga menekankan pentingnya membenahi tata niaga, terutama dalam pendistribusian bahan baku minyak goreng dan minyak goreng di dalam negeri. Selama ini belum ada sistem yang memadai untuk memantau pendistribusian produk-produk sawit itu.
Baca juga: Meski Produksi Berlimpah, Distribusi Minyak Goreng Bersubsidi Masih Terkendala

Pola distribusi perdagangan minyak goreng di Indonesia tahun 2020
Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menuturkan, saat ini produsen-produsen minyak goreng anggota GIMNI dilibatkan menggulirkan program minyak goreng curah bersubsidi. GIMNI tidak hanya bertanggung jawab memproduksi minyak goreng curah, tetapi juga diminta mengawasi pendistribusiannya hingga ke pengecer.
Padahal, selama ini GIMNI hanya mendistribusikannya hanya sampai pada distributor pertama. Namun, dengan penugasan itu, GIMNI menjadi tahu kalau banyak persoalan yang perlu dibenahi dalam pendistribusian minyak goreng sawit.
Menurut Sahat, masih banyak distributor kedua, bahkan ketiga, yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Pendistribusian yang selama ini dilakukan juga tidak terpetakan dengan baik.
Oleh karena itu, penggunaan teknologi untuk mendata dan memantau distribusi minyak goreng sangat diperlukan karena bisa menjadi salah satu solusi. Dalam program penyaluran minyak goreng curah bersubsidi, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menggunakan teknologi, yaitu Sistem Industri Nasional (SIINas) dan Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (Simirah).
”Para pelaku usaha yang terlibat, mulai dari produsen, distributor, hingga agen penjualan, harus terdaftar dalam sistem itu. Pemetaan pendistribusian beserta pencatatannya terdata dengan baik. Jika berjalan sukses, sistem ini dapat diterapkan ke depan untuk mencatat dan memantau pasokan bahan baku dan minyak goreng dari hulu hingga hilir,” kata Sahat.
Baca juga: Kasus Dugaan Gratifikasi Bikin Khawatir Pengusaha CPO dan Minyak Goreng

Warga berdesakan saat antre membeli minyak goreng di salah satu penyalur di Kecamatan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, Senin (21/3/2022). Pembelian minyak goreng seharga Rp 15.500 per kilogram di tempat itu dibatasi 16 kilogram per orang. Menurut warga, minyak goreng dengan harga murah terus diburu karena semakin susah diperoleh. Harga minyak goreng di pasaran setempat saat ini berkisar Rp 25.000 per kilogram.
Pembayaran klaim subsidi
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menjamin pemenuhan hak bagi industri minyak goreng sawit yang berpartisipasi dalam program minyak goreng curah. Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 8 Tahun 2022.
”Kami pastikan pembayaran klaim subsidi minyak goreng curah kepada produsen dapat dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku, dengan akuntabel dan berhati-hati,” katanya.
Juru bicara Kemenperin, Febri Hendri, menambahkan, pembayaran subsidi akan diupayakan dalam waktu dekat demi menjaga rasa percaya dari industri serta menjamin keberlanjutan program minyak goreng curah bersubsidi. Berdasarkan Permenperin No 8/2022, tahapan pembayaran klaim subsidi dilakukan melalui verifikasi bertahap oleh Direktur Jenderal Agro Kemenperin serta oleh BPDPKS melalui jasa verifikator independen hasil lelang terbuka.
Kemenperin hanya akan menangani pembayaran klaim subsidi untuk program minyak goreng curah bersubsidi yang dimulai sejak 16 Maret 2022. ”Kami akan berusaha mempercepat pembayaran subsidi untuk beberapa perusahaan yang sudah menyalurkan minyak goreng curahnya sejak awal mula program ini,” ujar Febri.
Pembayaran subsidi akan diupayakan dalam waktu dekat demi menjaga rasa percaya dari industri serta menjamin keberlanjutan program minyak goreng curah bersubsidi.
Sebelumnya, Sahat menyebutkan, ada 42 perusahaan yang belum mendapatkan reimburse pembayaran subsidi penyaluran minyak goreng curah dengan total nilai Rp 354,3 miliar. Mereka sudah menyalurkan 64.600 ton minyak goreng curah bersubsidi pada periode 16-31 Maret 2022 dengan besaran subsidi Rp 5.478 per kilogram per perusahaan.
Ia berharap pemerintah dan BPDPKS segera mencari solusi untuk mempercepat proses verifikasi klaim supaya kelanjutan program minyak goreng curah tidak terganggu. Pasalnya, jika sampai minggu ketiga bulan ini pembayaran belum dilakukan, pengusaha bisa kehabisan modal kerja dan kesulitan menyuplai minyak goreng curah untuk penyaluran tahap berikutnya.
”Ini harus cepat diselesaikan supaya industri percaya dan mau ikut dengan sistem,” kata Sahat.
Baca juga: Produsen Minyak Goreng Curah Belum Terima Bayaran Subsidi