Temui Menko Polhukam, MRP Menyatakan Mayoritas Masyarakat Papua Menolak Pemekaran Wilayah
Usulan pembentukan tiga provinsi baru di Papua dinilai terburu-buru. Kepada Menko Polhukam Mahfud MD, MRP menyampaikan bahwa mayoritas masyarakat Papua menolak pemekaran wilayah tersebut.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Rakyat Papua meminta pembentukan tiga provinsi baru di Papua ditunda. MRP menyatakan aspirasi mayoritas masyarakat Papua menolak pemekaran wilayah tersebut. Hal ini disampaikan pimpinan Majelis Rakyat Papua saat bertemu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di kantor Kementerian Koordinator Bidang Polhukam, Jakarta, Jumat (15/4/2022).
Dalam pertemuan tersebut, hadir Ketua MRP Timotius Murib, Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait, Staf Khusus Ketua MRP Onias Wenda, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Yoel mengatakan, MRP telah menerima aspirasi masyarakat Orang Asli Papua. ”Sebagian besar menolak pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru (DOB) karena dilakukan dengan pendekatan sentralistik yang mengacu pada ketentuan yang baru, yaitu Pasal 76 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua,” katanya.
Karena itu, MRP menyayangkan langkah Komisi II DPR yang terburu-buru mendorong pemekaran wilayah Papua.
Sebelumnya, Badan Legislasi DPR menyetujui tiga rancangan undang-undang pembentukan daerah otonom baru di wilayah Papua pada 6 April. Kurang dari sepekan, pada 12 April, Rapat Paripurna DPR menyetujuinya sebagai inisiatif DPR. Ketiga RUU tersebut adalah RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
Tidak hanya terburu-buru, pengusulan pemekaran wilayah tersebut dinilai tidak partisipatif. Oleh karena itu, lanjut Yoel, MRP meminta semua pelaksanaan revisi kedua UU Otsus, terutama rencana pemekaran dan pembentukan DOB di Tanah Papua ditunda sampai ada keputusan final dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Saat ini, MRP tengah mengajukan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua ke MK. UU itu adalah hasil revisi atas UU No 21 Tahun 2001. Dalam UU No 2/2021, kewenangan MRP untuk memberikan persetujuan pemekaran wilayah dihapus. Selain itu, di aturan perundangan tersebut, pemekaran di wilayah Papua bisa dilakukan sepihak oleh pemerintah dan DPR. Tak hanya itu, pemekaran wilayah di Papua tidak perlu melalui tahapan persiapan daerah dan memenuhi persyaratan seperti diatur dalam UU Pemerintahan Daerah.
MRP, lanjut Timotius, adalah lembaga yang memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, terutama terkait Orang Asli Papua. Hal itu sesuai dengan Pasal 76 Ayat 1 UU No 2/2021 bahwa pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR Papua setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.
”Karena itu, MRP memiliki peran terkait dengan pembentukan daerah otonomi baru, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Oleh karena itu, kami meminta pemekaran tidak dilakukan saat ini,” ucap Timotius.
MRP memiliki peran terkait dengan pembentukan daerah otonomi baru, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Oleh karena itu, kami meminta pemekaran tidak dilakukan saat ini. (Timotius Murib)
Selain menyampaikan aspirasi mayoritas masyarakat Papua, MRP juga menyerahkan surat aspirasi kepada Presiden Joko Widodo melalui Mahfud MD. MRP, lanjut Timotius, berharap kebijaksaan dari Presiden Jokowi. Pembentukan DOB perlu ditunda sampai ada putusan final dari Mahkamah Konstitusi yang sedang memeriksa uji materi UU Otsus Papua hasil amendemen kedua.
Mahfud dalam akun media sosialnya menyebutkan, pemerintah mendengarkan aspirasi yang disampaikan oleh MRP. Dalam hal ini, MRP menyampaikan banyak hal, antara lain persoalan penambangan baru di Wabu pascaperpanjangan kontrak Freeport.
”Saya menyampaikan bahwa penambangan baru dilakukan oleh BUMD dan BUMN dengan tetap memperhatikan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat luas dan masyarakat adat. Hingga saat ini belum ada izin usaha pertambangan (IUP),” tulis Mahfud dalam akun Instagram resminya @mohmahfudmd.
Usman mengapresiasi penjelasan Mahfud yang mengatakan, pemerintah akan memperhatikan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat adat sebelum benar-benar melakukan penambangan emas. ”Banyak orang Papua yang khawatir jika pembentukan DOB akan diikuti oleh penambahan gelar pasukan dan satuan-satuan teritorial maupun pembentukan polda-polda di provinsi-provinsi baru tersebut,” ujar Usman.