Realitas Pawang, antara ”Klenik” dan Doa yang Menenangkan Perasaan
Para pawang hujan menyebut diri sebagai perantara doa kepada Sang Khalik. Awetnya tradisi penggunaan jasa pawang hujan bisa dilihat sebagai bentuk usaha menenangkan diri yang memiliki sisi ilmiah.
Kebiasaan memakai jasa pawang hujan sudah menjadi tradisi turun-temurun di kalangan warga, terutama di Pulau Jawa. Namun, mereka enggan disebut melakukan praktik klenik. Mereka adalah orang-orang yang terbiasa laku prihatin dengan berpuasa. Doa mereka pun dipanjatkan ke Sang Pencipta.
Agus Sumadyo, Imam Mahadi, dan Ki Semar Bodronoyo, tiga pawang hujan di wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mengaku tidak ada pendidikan khusus untuk menjadi seorang pawang hujan. Mereka lebih banyak belajar dan mengasah kepekaan secara mandiri.
Proses pembelajaran itu diperdalam dari masukan, dampingan orang-orang di sekitar, termasuk keluarga sendiri. Imam, misalnya, banyak mendapat pembelajaran dari kakeknya, sedangkan Ki Semar sedari kecil juga sudah dididik secara spiritual oleh ayahnya yang juga seorang paranormal.
Tradisi, pembelajaran berdasar nilai-nilai tradisional Jawa seperti melakuan laku prihatin dengan berpantang, puasa, dan meditasi, menjadi acuan dasar pembelajaran. Kendati ritual yang dijalankan sering memakai sesaji dan kerap dianggap berbau mistis, ketiganya menolak anggapan bahwa yang mereka lakukan bersifat mistis, gaib, atau yang dalam bahasa Jawa disebut klenik.
Baca juga : Pawang Hujan, Keadilan Epistemik, dan Dekolonisasi
Bahkan, mereka sebenarnya juga menolak disebut sebagai pawang hujan. ”Saya ini cuma membantu mencegah hujan turun melalui kekuatan doa. Saya sebenarnya hanya seorang pendoa,” ujar Ki Semar, Kamis (28/3/2022).
Sekalipun banyak melantunkan doa berbahasa Jawa, mereka juga mengaku tidak pernah meninggalkan doa sesuai agama masing-masing.
Imam dan Agus yang berkeyakinan Nasrani selalu merapalkan doa-doa seperti Bapa Kami dan Salam Maria. Adapun Ki Semar yang merupakan seorang Muslim mengatakan tidak pernah lupa menyebutkan doa-doa dan ayat suci.
Dilandasi keinginan membantu pihak lain tersebut, Imam, Agus, dan Ki Semar sama sekali tidak pernah menyebutkan tarif untuk jasa mereka. Pada akhirnya pihak pemesan jasa membayar sesuai gambaran standar yang ditetapkan sendiri.
Bayaran itu memang diterima. Namun, setidaknya Ki Semar mengaku, jika kebetulan pemesan jasa adalah warga di lingkungan rumah mereka, dia tetap akan menolak honor yang diberikan.
”Kalau, toh, tetangga saya, misalnya, tetap memaksa, bayaran tersebut biasanya langsung saya masukkan ke kotak amal, atau kotak sumbangan untuk pembangunan masjid dan semacamnya,” ujarnya.
Saat menjalani tugas, tentu saja mereka bertanggung jawab untuk mencegah turunnya hujan. Namun, sekalipun manusia bisa berencana dan berusaha, tetap saja kehendak Tuhan yang menentukan semuanya. Ki Semar mengakui, upayanya memang tidak selalu berhasil. Namun, setidaknya, dia tetap bisa berusaha agar hujan tidak terlalu deras atau sebatas gerimis saja.
Baca juga : Pawang Hujan Rara, Pawang Politik...?
Ubarampe
Bagi pengguna jasa, keberadaan pawang hujan benar-benar diyakini sebagai elemen penting untuk melancarkan suatu acara, terutama di musim hujan. Aryan Subekti, pengelola Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Ngargogondo di Kecamatan Borobudur, menuturkan, pawang hujan kerap dipakai oleh para tamu yang menyewa halaman Balkondes Ngargogondo untuk acara pernikahan ataupun pertemuan.
Terkadang, beberapa tamu menyembunyikannya, tetapi sebagian mengakui dan menceritakannya kepada Aryan. ”Untuk satu acara saja, seorang tamu pernah mengaku memakai jasa dua pawang sekaligus,” ujarnya.
Bagi tamu yang merahasiakannya, jejak penggunaan jasa pawang hujan bisa dilihat dari sesaji atau ubarampe yang ditinggalkan di lokasi balkondes. ”Setelah acara selesai dan semua ruang dibersihkan, saya menemukan beragam sesaji dan ubarampe. Selain dupa dan bunga, saya juga pernah menemukan susunan cabai dan bawang merah yang ditusukkan ke lidi dan pernah pula menemukan celana dalam di atas genteng,” ujarnya disusul tawa.
Setelah acara selesai dan semua ruang dibersihkan, saya menemukan beragam sesaji dan ubarampe. Selain dupa dan bunga, saya juga pernah menemukan susunan cabai dan bawang merah yang ditusukkan ke lidi dan pernah pula menemukan celana dalam di atas genteng. (Aryan Subekti)
Benda-benda yang ditemukan Aryan itu ada yang meyakini menjadi syarat bagi pawang hujan. Dia memahami kebiasaan masyarakat memakai pawang hujan untuk acara di luar ruangan masih sangat kental. Oleh tamu yang menginap, Aryan juga sering diminta mencarikan pawang hujan. Namun, permintaan itu selalu ditolaknya.
”Saya khawatir pawang hujan yang saya carikan ternyata tidak cukup ahli dan mantranya kurang mujarab untuk mencegah hujan,” ujarnya.
Wati, salah seorang warga Kecamatan Magelang Utara, mengatakan, ia dan rekan-rekannya pernah menggelar acara di Alun-alun Magelang pada 2014. Ketika itu, acara digelar sehari sebelum Imlek. Oleh karena menggelar kegiatan di bulan Februari saat masih musim hujan, mereka sepakat memakai jasa pawang hujan. Selama acara berlangsung, dari siang hingga menjelang sore, cuaca cerah. Namun, tak berapa lama, hujan turun sangat deras.
Beberapa hari setelah itu, Wati dan rekan-rekan baru tahu bahwa hujan deras terjadi karena warga Tionghoa dan pawang yang mereka gunakan saat itu sebenarnya berdoa agar hari itu turun hujan. Menjelang pergantian tahun China, warga Tionghoa memang selalu mengharapkan datangnya hujan yang berarti melambangkan datangnya rezeki.
”Kami menduga, saat itu, dari siang hingga sore terjadi semacam adu kekuatan antarpawang,” ujar Wati.
Baca juga : MotoGP dan Realitas Pawang Hujan
Bentuk antisipasi
Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Prof Dr Heddy Shri Ahmisa Putra, MA M Phil, mengungkapkan, usaha warga melibatkan pawang untuk keberhasilan acara di tengah musim hujan adalah salah satu bentuk persiapan. ”Sama seperti kita wajib menyediakan payung sebelum hujan,” ujarnya.
Keberadaan pawang hujan masih dipercaya dan dianggap efektif untuk mencegah turunnya hujan. Hal ini yang kemudian hingga kini diyakini banyak orang. Tidak hanya warga umum, tetapi juga kalangan terpelajar, pejabat, dan akademisi.
”Rekan-rekan saya, sesama dosen UGM saja, sampai sekarang juga masih sering memakai jasa pawang hujan,” ungkap Heddy.
Heddy menilai, dengan melihat ritual yang dijalankan, orang yang memakai jasa pawang hujan biasa disebut memanfaatkan kekuatan magis, mistis, atau klenik. Padahal, tanpa disadari, para pemakai jasa tersebut sebenarnya justru melakukan aktivitas ilmiah, bermain statistik, dan melihat probabilitas.
Baca juga : Menerka Fisika Sang Pawang Hujan
”Saat memakai pawang hujan, seseorang sebenarnya sedang mencoba-coba, bermain probabilitas apakah nanti turun hujan atau tidak,” ujarnya. Kondisi ini serupa seperti ketika sedang melakukan penelitian dan uji coba pada sejumlah sampel, di mana peluang untuk gagal tetap saja ada.
Keberhasilan seorang pawang hujan akan membuat peminta jasanya merasa cocok dan meminta jasanya berulang kali. Hal ini wajar, sama seperti kebiasaan seseorang yang biasa mengonsumsi jenis obat tertentu karena pernah terbukti manjur mengobati sakit yang dideritanya.
Sekalipun masih ada peluang untuk gagal, banyak orang tetap memilih memakai pawang hujan karena hal itu dilakukan sebagai bagian dari upaya menenangkan diri sendiri.
Sekalipun masih ada peluang untuk gagal, banyak orang tetap memilih memakai pawang hujan karena hal itu dilakukan sebagai bagian dari upaya menenangkan diri sendiri. Saat tidak memakai pawang hujan, orang tersebut akan terus cemas sepanjang acara. Sementara saat memakai pawang, dia akan merasa lebih tenang sehingga bisa mengurus banyak hal lain.
”Saat memakai jasa pawang hujan, seseorang akan merasa jauh lebih tenang. Sebab, saat gagal dan tetap turun hujan, setidaknya dia masih memiliki orang lain yang bisa disalahkan,” ujar Heddy diimbuhi tawa.
Dan, pawang hujan memang akan selalu ada di Nusantara. Keberadaannya adalah bentuk kearifan lokal yang, suka atau tidak, masih dibutuhkan warga atau kelompok untuk menenangkan hujan dan ternyata juga perasaan....