Seorang politisi senior curhat tentang kondisi negeri. ”Ini siapa pawang politiknya. Kalau pawang hujan Rara bisa mengalihkan hujan, apakah pawang politik ini bisa menunda pemilu dengan menabrak konstitusi,” ujarnya.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Perhelatan MotoGP Mandalika menyisakan cerita sampingan. Pawang hujan Rara Isti Wulandari. Cerita Rara tersebar ke seantero dunia, menjadi pernak-pernik MotoGP Mandalika. Rara diminta membantu panitia mengatasi hujan di Sirkuit Mandalika. Dan, aksinya terbilang berhasil meskipun tentunya bukan faktor tunggal. Pro dan kontra terjadi. Hal biasa di era demokrasi. Semuanya bebas berpendapat.
Kisah Rara meredup. Kini, wacana publik ramai lagi dengan isu politik masa jabatan presiden tiga periode. Dalam acara Silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintahan Desa (Apdesi) di Istora Senayan, Ketua Umum Apdesi Surta Wijaya memberikan keterangan kepada pers, akan membuat deklarasi masa jabatan presiden tiga periode setelah Lebaran.
Silatnas Apdesi, Selasa, 29 Maret 2022. Sehari sebelumnya, 28 Maret 2022, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat keterangan terdaftarnya Apdesi sebagai ormas. Surat keterangan terdaftar itu ditandatangani pejabat Kementerian Dalam Negeri. Silatnas dihadiri Presiden Joko Widodo, Mendagri Tito Karnavian, Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar, dan Menko Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan. Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD tidak kelihatan hadir.
Langkah Apdesi ini cukup berani secara politik. Pada 2 Desember 2019, Presiden Jokowi berbicara di depan pemimpin redaksi media massa. ”Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu ada tiga (maknanya) menurut saya. Satu, ingin menampar muka saya; yang kedua, ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka; yang ketiga, ingin menjerumuskan,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam kesempatan berikutnya, nada pernyataan Presiden berubah menjadi taat dan hormat konstitusi. Penyampaian aspirasi itu bagian dari demokrasi.
Dalam wawancara dengan jurnalis Kompas TV, Frisca Clarissa, Surta Wijaya, Kepala Desa Babakan Asem, Kecamatan Teluknaga, Tangerang, Banten, mengatakan, wacana tiga periode itu spontan saja. Ia melanjutkan, ”Itu ibarat anak sama orangtua. Ketika permohonannya dikabulkan, anaknya teriak masing-masing. Saya pikir bukan hanya Pak Jokowi saja. Siapa pun yang jadi pemimpin, jangankan tiga periode, seumur hidup pun enggak apa-apa, sepanjang baik memimpinnya.” Inilah dalam bahasa saya doltinuku (jual beli). Dikejar Frisca bahwa usulan tiga periode itu bertentangan dengan konstitusi, Surta menjawab, ”Kalau di desa tidak seperti itu. Itu urusan DPR dan MPR.”
Keesokannya, klaim Surta dibantah pengurus Apdesi yang lain, yang dipimpin Arifin Abdul Madjid Suryadilaga. Ia memegang SK Kementerian Hukum dan HAM, 20 September 2021. Apdesi tidak pernah melakukan deklarasi mendukung masa jabatan Presiden Jokowi tiga periode.
Apdesi terbelah. Apdesi Surta dicatat Kementerian Dalam Negeri dan Apdesi Arifin yang memegang surat Kementerian Hukum dan HAM yang namanya merasa dicatut oleh Apdesi Surta.
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden telah membelah publik. Partai politik terbelah. PKB, Golkar, PAN melalui ketua umumnya akan memperjuangkan penundaan pemilu. PDI-P, Gerindra, Nasdem, Demokrat, PKS, dan PPP berada di jalur pemilu sesuai jadwal. Itu posisi sekarang, entah minggu depan karena ”operasi” berjalan.
Entah ormas atau lembaga mana lagi yang terbelah atau dibelah untuk kepentingan kekuasaan. Seorang politisi senior curhat tentang kondisi negeri yang terbelah atau dibelah. Isu gorden DPR hanyalah isu pinggiran untuk mencuri perhatian, sementara operasi politik di balik gorden berjalan.
”Ini siapa pawang politiknya. Kalau pawang hujan Rara bisa mengalihkan hujan, apakah pawang politik ini bisa menunda pemilu dengan menabrak konstitusi,” ujarnya.
Mantan duta besar bercerita, sejarah sedang berulang. Gaya dan pola ”kebulatan tekad” seperti Orde Baru sedang terjadi dan bisa saja terus terjadi. Saya mencoba menelisik pola ”kebulatan tekad” di Pusat Informasi Kompas dan bisa didapatkan berita soal kebulatan tekad pada 1990. Pada 15 Mei 1990 ada berita, ”Gubernur Boleh Menyampaikan Pernyataan Kebulatan Tekad”. ”Mendagri Rudini menanggapi Kebulatan Tekad 22 Kyai untuk Presiden Soeharto”.
Kemudian, berita 5 Juni 1990 berjudul, ”Pernyataan Kebulatan Tekad 100 Ulama di Jatim”. Hari Jumat, 1 Mei 1992, ada berita berjudul, ”Halalbihalal Meningkatkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”. Acara dilangsungkan di Gedung Granada yang isinya ”doa politik” agar Presiden Soeharto dipilih kembali. Acara itu diprakarsasi Menko Kesra Alamsyah Ratu Prawiranegara. Ada 37 ormas yang mendukung doa politik itu. Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Tjahjo Kumolo pada 28 April 1992 mengeluarkan pernyataan tidak mendukung doa bersama untuk Presiden Soeharto. ”Sikap kami menolak cara yang berkecenderungan memolitisir sejumlah aktivitas dengan tujuan tertentu yang tidak mendidik,” kata Tjahjo dikutip dari Kompas, 1 Mei 1992.
Membaca serial berita Kompas, rasanya panggung depan sedang berulang. Ada kebulatan tekad, ada doa politik, ada pembelahan sosial. Situasi ini sebenarnya mencemaskan. Teringat pada tulisan wartawan senior Kompas, P Swantoro (2007), yang menulis masa lalu selalu aktual. Sejarah itu selalu memberi pelajaran kepada kita semua (historia docet). Lihatlah pada sejarah Orde Baru dan Soeharto. Kekuasaan itu memabukkan dan membuat orang bekerja keras untuk mempertahankan kenikmatannya selama mungkin. Nicole Machiavelli (1469-1527) dalam buku Il Principle—kitab suci pemburu kekuasaan—menulis bagaimana kekuasaan didapat dan kemudian dipertahankan.
Saya teringat kepada kata-kata Pak Jakob Oetama (1931-2020), pendiri harian Kompas yang saya kagumi itu dalam beberapa kesempatan pertemuan selalu menyampaikan pesan, ”Hati-hati, Mas, nek mrucut...?”